20 Terlambat

LATHEA

Beberapa hari lalu terasa kayak hari terberat dalam hidup gue. Setelah mengambil izin dua hari gak masuk kantor, hari ini gue masuk kantor dan disambut dengan pertanyaan 'udah sembuh, The?' dari beberapa rekan kerja gue. Gue cuma bisa mengangguk dan berusaha fokus mengerjakan tugas-tugas gue yang menumpuk.

Sekarang, gue seakan mengerti kenapa banyak perusahaan yang membuat peraturan di mana karyawannya gak diperbolehkan punya hubungan di luar profesionalisme kerja dengan karyawan lain, terlebih jika satu divisi. Gue yang beda divisi aja dan bahkan gak punya hubungan jelas sampai sejauh ini. Apa lagi mereka yang satu divisi dan punya hubungan jelas? Udah pasti gak akan profesional.

Hari ini, gue udah diam aja. Gue meminta semuanya buat gak ganggu gue menyelesaikan pekerjaan. Gue nolak ajakan Tami dan Levi buat makan siang bareng karena gue sengaja bawa bekal. Niatnya, gue mau bertahan di ruangan sampai waktu pulang tiba dan gue bisa pulang tanpa bertemu dengan meminimalisir kemungkinan gue bertemu dengan banyak orang. Gak tahu, kepercayaan diri gue lagi anjlok banget. Gue gak siap ketemu banyak orang di saat lagi down begini.

Gue juga beruntung. Hari ini, Bu Maria rapat bersama jajaran pejabat sejak pagi. Sampai sekarang, rapat belum juga selesai.

"Siang, Lathea!"

Gue mengerjap, suara itu membuat lamunan sekilas gue beralih dan Levi melangkah mendekati meja gue sambil membawa sebuah berkas. Cowok berkulit tanned itu tersenyum lebar dan menyodorkan berkas itu ke gue, "Ini titipan dari Pak Yadi. Mohon bantuan untuk cek transaksinya, ya?"

Levi menarik kursi asal dan duduk di hadapan gue. Gue meraih berkas itu dengan alis terangkat. "Berkas apaan, Lev?"

"Transaksi proyek baru kita di Bali. Kontrak kerjasama 5 tahun, katanya. Proyek besar."

Gue mengernyitkan dahi. "Gue baru tahu, deh."

Levi mangut-mangut. "Ini proyek baru banget, The. Makanya, mohon bantuan buat cek. Gue dan tim ada rencana kunjungan kerja ke sana buat cek fisik, tapi katanya belum bisa kalau belum dicek transaksi-transaksi keuangan proyek itu."

"Butuh cepat atau apa, Lev? Sori banget, lagi banyak kerjaan."

Levi nyengir. "Tenang. Lo bisa selesaiin pekerjaan lo dulu, itu prioritas. Untuk cek transaksi, masih dikasih waktu seminggu, sih, sebelum keberangkatan. Jadi kalau bisa, sebelum hari Jumat udah selesai, The."

Gue mengangguk. "Siap. Gue pastikan sebelum Jumat udah selesai dan bisa gue laporin ke lo."

"The?"

"Ya?"

"Balik bareng gue, ya, nanti?" Tanya Levi, tiba-tiba.

Mata gue memicing. "Gak usah, Lev. Lagi mau naik kereta."

"Ya, udah. Bareng naik keretanya."

"Rumah lo aja di mana, Lev. Masa lo mau bareng naik kereta?"

"Gak apa-apa, sih. Siapa tahu lo butuh teman, kan?"

Gue hanya menggeleng-gelengkan kepala, mencoba fokus pada layar monitor saat Levi kembali memanggil nama gue.

"The,"

"Apa, sih, Lev?"

"Gue dapat promosi."

Gue menahan napas, menghelanya perlahan sebelum tersenyum menatap Levi. "Wow. Selamat, ya." Gue tulus, kok, ngucapin selamat.

Levi tersenyum tipis dan menganggukkan kepala, "Makasih banyak, The," sesaat kemudian, senyuman itu lenyap dan dia menundukkan kepala sekilas, sebelum matanya bertemu dengan mata gue lagi, "Lo gak mau nanya gue dapat promosi apa?"

"Eh, iya. Lo jadi apa? Asisten manajer? Atau langsung manajer pembangunan? Terus Pak Yadi gimana?" Gue bertanya banyak, duh, serius penasaran. Promosi di kantor ini bisa dibilang teramat sulit, hanya orang-orang terdekat Pak Pram saja yang bisa mendapat promosi. Nepotisme, bukan suatu hal yang langka, kan?

Levi menatap gue lekat dan selanjutnya, gue gak pernah menyangka dan menduga atas jawaban Levi.

"Manajer perencanaan."

Itu jabatan...Athaya, bukan?

💧💧💧

DISA

Mereka bilang, pikiran cewek itu terlalu rumit, padahal nyatanya, pikiran cowok yang rumit. Gue gak pernah mengerti pikiran cowok, alasan di balik tiap tindakan yang mereka lakukan, alasan di balik tiap keputusan yang mereka ambil dan saat ini, itu yang muncul dalam pikiran gue tiap melihat sosok tampan bertubuh tegap yang duduk di kursi rapat, dengan nametag Manajer Perencanaan tersebut.

Hari ini, sejak pagi Pak Pram sudah mengumpulkan banyak pejabat untuk melakukan rapat pembahasan proyek baru perusahaan, lokasinya di Bali dan konon akan menjadi mega proyek perusahaan yang menghasilkan lebih banyak keuntungan. Awal rapat, Pak Pram mengucap banyak terima kasih kepada tim yang berhasil mendatangkan proyek ini, tim yang di dalamnya ada seorang Athaya Rasi Gaputra.

Gue kehabisan kata-kata, sumpah, saat Pak Pram membahas tentang struktur organisasi proyek tersebut, Athaya mengangkat tangan dan mengajukan diri sebagai Pimpinan Proyek tersebut. Dia seorang Manajer dan mengajukan diri sebagai Pimpinan Proyek. Dalam aturan perusahaan, gak boleh ada rangkap jabatan seperti itu. Salah satu jabatan, harus dikorbankan dan gue gak paham apa yang ada di otak Athaya saat dia bilang memilih menjadi Pimpinan Proyek daripada Manajer Perencanaan. Pimpinan Proyek yang berarti dia bertanggungjawab penuh atas proyek, dari proses awal hingga proyek selesai.

"Athaya, saya bertanya sekali lagi, kamu serius ingin mundur dari jabatan Manajer Perencanaan dan menjadi Pimpinan Proyek baru kita ini?" Pak Pram kembali bertanya, untuk kesekian kali di forum rapat yang mulai hening ini.

Athaya mengangguk dan tersenyum tipis, sangat sebentar. "Sangat serius. Saya sangat siap menjadi Pimpinan Proyek dan bertanggungjawab penuh atas keberlangsungan proyek."

"Itu berarti, kamu akan tinggal di sana selama proyek berlangsung, sampai proyek selesai." Pak Pram kembali berujar dan gue memejamkan mata. Damn. Proyek ini pasti gak selesai dalam setahun-dua tahun, sesuai paparan yang disajikan tadi.

Athaya mengangguk lagi. "Sangat siap, Pak. Saya siap berada dua puluh empat jam dekat dengan proyek, sampai proyek selesai."

"Kamu sudah melihat perjanjian kerjasama proyek, kan? Jangka waktu kerjasama adalah 6 tahun. Itu berarti kamu akan bertahan di Bali selama 6 tahun. Kamu siap?"

Lagi-lagi, Athaya mengangguk. "Saya siap, Pak."

Pak Pram terlihat kebingungan sendiri dengan kesiapan Athaya tersebut. Wajar saja, selama ini, tangan kanan Pak Pram adalah Athaya. Jika Athaya pindah ke Bali, siapa orang yang akan menggantikan Athaya menjadi tangan kanan Pak Pram.

Seakan menjawab kebingungan itu, Athaya berujar, "Saya merekomendasikan Saudara Januar Pahlevi sebagai pengganti saya, Pak. Saya beberapa kali bekerja sama dengan Saudara Levi dan saya bisa memastikan, dia punya daya serap bagus dan orang yang sangat dapat dipercaya. Saya dapat memastikan, Saudara Levi sangat layak untuk posisi tersebut."

Ini lebih bikin jantung gak karuan, saat Athaya yang gue tahu gak punya hubungan baik dengan Levi, tiba-tiba merekomendasikan Levi sebagai penggantinya. Gue gak paham jalan pikiran Athaya, beneran.

Gue terlalu sibuk fokus pada pertanyaan di pikiran gue saat tiba-tiba Pak Pram berujar memanggil nama gue.

"Disa, kamu sudah catat semuanya? Keputusan saya, Athaya menjadi Pimpinan Proyek di Bali dan untuk pengangkatan Saudara Levi sebagai Manajer Perencanaan, agar dapat dibicarakan di tim kepegawaian."

Gue mengangguk kecil. "Baik, Pak."

Setelah menulis hasil keputusan rapat, gue menghela napas dan begitu gue mendongakkan kepala, mata gue bertabrakan dengan Athaya. Dia tersenyum sebelum melangkah meninggalkan ruangan.

Gue akan merindukan senyuman itu, dalam waktu dekat.

💧💧💧

LATHEA

Sudah terhitung dua minggu sejak pengumuman Athaya yang menjadi Pimpinan Proyek perusahaan di Bali. Selama dua minggu belakangan, Levi pun mendapat amanat menjadi Pelaksana Tugas Manajer Perencanaan, menggantikan Athaya dan ya, Athaya yang mengajari Levi tiap harinya. Selama dua minggu ini, gue gak berpapasan dengan Athaya. Sekalinya ketemu, gue cuma bisa ngelihat punggungnya yang melangkah jauh.

Iya, benar-benar melangkah jauh seakan mengisyaratkan harapan yang gak akan tercapai.

"Gila, sih. Athaya tugasnya banyak banget, The. Gue bingung. Berasa Direktur gue pas dikasih tahu tugas-tugasnya."

Dua minggu belakangan, Levi mengeluh seperti ini dan gue cuma bisa memberi semangat supaya dia gak menyerah. Tapi emang seberat itu tugas Athaya, gue bukan meragukan kualitas Levi, tapi Athaya lebih berpengalaman. Gue gak tahu berapa banyak waktu yang akan Levi butuhkan untuk bisa mengambil alih tugas Athaya.

"Hari ini, hari terakhir Athaya ngajarin gue, The. Hari terakhir serah terima. Senin depan, dia udah pindah ke Bali dan punya tim baru di sana."

Gue menahan napas. Gue tahu tentang hal ini, tapi gue gak berani buka bicara. Kalau itu emang keputusan Athaya untuk pergi, ya udah. Gue bisa apa? Emangnya gue siapa? Gue gak bisa nahan dia.

"Dia nitipin lo ke gue. Tadi dia ngomong gitu."

Gue mengerjap mendengar ucapan Levi setelahnya. By the way, siang ini, gue makan siang berdua sama Levi di rumah makan Soto Kudus yang kebetulan baru buka tiga hari lalu.

"Gue gak tahu, sih, maksudnya apa. Tapi dia bilang, dia mau gue jagain lo. Dia mau gue bahagiain lo dan seriusan, selama masa transisi ini, dia sabar banget ngehadapin gue, The. Padahal, dia tahu gue banyak betingkah dan rada-rada lemot kalau diajarin."

Gue gak menjawab apa pun kata yang ke luar dari mulut Levi sedari tadi. Gue hanya bingung mau jawab apa, semua bukan kapasitas gue.

Sepertinya, Levi bisa membaca kondisi gue karena dia gak lanjut berbicara tentang Athaya. Gue dan dia makan dalam kesunyiaan dan setelah makan, langsung balik ke kantor.

Gue gak tahu apa yang terjadi hari ini, tapi begitu sampai di depan lift yang akan membawa gue ke lantai di mana gue bekerja, gue dan Levi bertemu dengan Athaya yang entah baru datang dari mana. Dia tersenyum tipis, tapi gue auto buang muka. Bingung harus gimana.

"Makan di mana, Lev?" Athaya bertanya kepada Levi, gue berharap pintu lift segera terbuka.

"Soto Kudus yang baru buka, di depan kantor."

"Enak?" Tanya Athaya lagi.

"Ya, gak buruk, sih. Tapi enakan soto Betawi yang waktu itu lo traktir gue, Tha. Yang di Kota, tuh."

"Itu mah terbaik. Duh, bakal kangen, deh, gue gak makan itu soto buat waktu yang lama."

Pintu lift terbuka, kita bertiga memasuki lift dan gue masih memilih diam. Bahkan selama di dalam lift, Athaya dan Levi mengobrol layaknya teman lama, gue sengaja mengasingkan diri, lalu akhirnya gue bisa pergi saat pintu lift terbuka di lantai tempat gue bekerja. Gue berpamitan ke Levi dan Athaya, canggung parah dan yang terakhir gue lihat hanya Athaya yang tersenyum tipis dan menganggukkan kepala singkat ke gue.

Mendadak sesak. Gue...bakal gak ketemu dia untuk waktu yang lama. Gue...bakal kehilangan dia.

Mata gue berair dan gue tahu gue akan menangis. Gue melangkah cepat menuju ke toilet, berharap gak ketemu siapa pun, namun sialnya gue bertemu dengan Disa yang tengah mencuci wajahnya. Disa tersenyum tipis ke gue yang berdiri di sampingnya sebelum berkata, "Mau nangis, The?"

Gue mengerjap. "Eh? Enggak, Mbak."

Disa menghela napas. "Hari ini, hari terakhir Athaya masuk kantor, kan? Gak sedih?"

Gue gak menjawab dan mulai menyalakan kran air, mencuci tangan gue di sana dan menundukkan kepala, beneran gue gak mau nangis sekarang.

"Athaya ngerasa ada hutang budi sama Pak Pram, karena Pak Pram bantu keluarga Athaya bangkit dari kebangkrutan. Makanya, Athaya cukup dekat dengan Pak Pram. Sering selisih paham, tapi hubungan mereka lebih dekat dari sekedar atasan dan bawahan." Gue gak mengerti maksud Disa bercerita seperti ini, tapi gue memilih diam saat dia lanjut berkata, "Karir lo bisa hancur, The, kalau ketahuan lo punya hubungan dekat sama Athaya. Athaya itu emasnya Pak Pram. Selain pintar, Athaya punya daya tarik untuk para calon investor dan Athaya punya kontrak sendiri dengan Pak Pram yang menyatakan dia gak boleh berada di sebuah hubungan percintaan selama Athaya menjabat di perusahaan ini."

Sial. Gue gak nyangka akan hal ini. Gue baru dengar ini.

"Keputusan Athaya buat mengajukan diri sebagai Pimpinan Proyek, itu ada baiknya juga, sih. Otomatis, dia akan buat kontrak ulang dengan Pak Pram dan selama di Bali, jauh dari pantauan Pak Pram. Dia bebas jadi Athaya yang dia mau." Disa memejamkan mata, menghela napas panjang, "Tapi selain itu, gue yakin, bukan hanya itu alasan Athaya pergi. Gue gak tahu sejauh mana hubungan kalian, The, tapi Athaya tipikal cowok yang susah jatuh cinta. Gue rada bingung dia bisa jatuh cinta sama lo, tapi ngelihat dari caranya memperlakukan lo, gue tahu, perasaannya udah sedalam itu sama lo. Jujur, gue kecewa sama lo, The, sekarang dan gue anggap, lo alasan utama Athaya pergi."

Gue menahan napas. "Aku gak ada hubungan apa pun sama Athaya."

Disa tersenyum miring. "Ya, iyalah, The. Mana bisa Athaya ngelabelin hubungan sama lo. Risikonya terlalu banyak dan...Athaya terlalu egois untuk ngorbanin semuanya sendiri. Lo bahkan selembek ini untuk menyerah, tanpa tahu kondisi dia yang sebenarnya."

"Dia gak pernah kasih tahu."

"Lo pun gak pernah mencoba untuk tahu."

Ucapan Disa seakan tamparan buat gue. Benar juga. Selama ini, Athaya mencoba cari tahu tentang gue dengan berbagai cara, ketika gue hanya diam di tempat. Punya rasa penasaran, tapi terlalu gengsi untuk menanyakan, terus ngerasa tersiksa saat mendengar kenyataan bukan dari orangnya langsung.

Gue ke luar dari toilet dan menuju ke ruangan Athaya, mendapati gak ada Athaya di ruangan. Badan gue sepenuhnya lemas saat staf Athaya bilang, Athaya baru aja pamitan dan udah berkemas sejak pagi. Gue hubungi Athaya, nomornya gak lagi aktif. Gue minta alamat Athaya lewat Tami, tapi alamat tinggalnya bukanlah alamat yang tertera di KTP.

Gue sefrustasi ini untuk bertemu Athaya, tapi gue gak mendapati cowok itu di mana pun sampai ponsel gue tiba-tiba bergetar. Sebuah pesan masuk, dari kontak Athaya yang sebelumnya gue hubungi, tapi gak aktif.

Lupain gue. Selamat tinggal.

Lutut gue lemas dan gue gak peduli jika seisi ruangan melihat gue dengan wajah panik. Mereka mengelilingi gue yang mulai menangis keras, gak bisa lagi menahan rasa sakit di hati gue. Bahkan, kerumunan orang tambah banyak dan gue masih aja menangis.

Gue terlambat...dan gue kehilangan...Athaya.

💧💧💧 TAMAT 💧💧💧

Terima kasih yang berkenan membaca selama ini.
Sejujurnya, ini cerita aku paksain ngetik ketika idenya mampet. Jadi mohon maaf kalau alurnya rada ngaco atau apapun itu. Aku ngerasa gak adil buat Lathea dan Athaya, tapi ya mau gimana. Aku gak mau ada utang cerita gantung😭

Afterglow pamit undur diri.
Sekarang bisa fokus ke Arasa.

Sekali lagi, terima kasih yang berkenan membaca! :)

28 April 2020

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top