19 Kisah
ATHAYA
Gue pikir gue udah mati saat buka mata dan mendapati sosok yang beberapa minggu belakangan gue rindukan, tertidur dengan posisi duduk dan tangan yang menggenggam tangan gue. Gue gak berani bergerak, takut ngebangunin dan cuma bisa tersenyum memperhatikan wajah tertidur Lathea Putri Arundana. Cantik banget, sih. Gue gak kebayang, seberapa bahagianya gue kalau tiap bangun tidur, wajah cantiknya Lathea yang bakal jadi hal pertama yang gue lihat. What a good thing to start a day.
Namun sesaat kemudian, gue baru sadar apa yang terjadi. Sial. Kemarin gue niat banget ke rumah Lathea, berharap bisa ngobrol banyak sama dia dan memperjelas semuanya, tapi begitu sampai, hujan turun. Gue naik kereta dan naik Gojek ke rumah Lathea. Gue gak ingat lagi setelah hujan turun.
Gue gak pernah bisa berteman baik dengan hujan. Kayak musuhan. Tiap ketemu hujan, pikiran gue gak akan ada di tempat seharusnya dan gue bahkan gak ingat kenapa gue bisa ada di kamar ini. Gue gak tahu kamar siapa, tapi mengingat ada Lathea di sini, gue bisa menyimpulkan gue ada di salah satu kamar rumah Lathea. Duh, malu banget. Jangan bilang, gue pingsan, deh!
Mungkin ada sekitar lima belas menit sejak gue bangun, mengamati dan mengabadikan tiap lekuk wajah Lathea yang tertidur dalam ingatan gue sampai pintu kamar tiba-tiba terbuka. Gue menahan napas dan yang bikin tambah kaget adalah saat Lathea terbangun, mengangkat kepalanya dari tepi ranjang.
"Lathea, Mama cariin kamu di sini. Ayo, bangun! Sarapan! Kasihan itu Nak Athaya gak bisa bergerak karena kamu!"
Napas gue tertahan saat perlahan namun pasti, mata gue bertemu dengan mata Lathea, setelah sekian lama. Matanya masih indah, tapi ada yang berbeda dan gue benci melihat perbedaan itu. Lathea memutus kontak mata dengan gue secepat mungkin sebelum bangkit berdiri.
"Ma, aku mandi dan siap-siap dulu, ya?"
Lathea melangkah berlalu begitu saja, meninggalkan gue di kamar ini dengan Ibunya yang menatap kepergian sang anak dengan gelengan kepala. Ibu Lathea itu beralih menatap gue dan tersenyum lembut, sekarang gue tahu dari mana Lathea punya senyuman semanis itu. Jelas dari Ibunya.
Gue berusaha untuk duduk di tepi ranjang, menjatuhkan kaki gue di lantai. Gue memerhatikan pakaian yang gue pakai, jelas banget ini bukan pakaian yang terakhir gue pakai. Gila, sih. Gue malah ngerepotin gini.
"Tante, maaf banget. Kayaknya saya ngerepotin banget sejak kemarin, bahkan sampai menginap seperti ini." Gue berujar seraya menundukkan kepala, sungguh penuh penyesalan. Ini pertama kalinya gue ketemu orangtua Lathea dan gue udah memberikan kesan gak baik.
Tanpa disangka, Ibu Lathea itu beralih duduk di samping gue dan mengelus lengan gue. "Gak apa-apa, Nak Athaya. Gimana kondisi kamu? Udah baikan? Kemarin kamu pucat banget, demam."
Gue tersenyum ragu-ragu, gak berani menatap matanya yang teduh. "Saya gak apa-apa, Tante. Sekali lagi, saya mohon maaf malah merepotkan. Saya gak bermaksud sama sekali."
Ibu Lathea itu mengelus pundak gue dan entah kenapa, wajah Mama kebayang di wajah Ibu Lathea. Ya, Tuhan. Gue kangen Mama.
"Enggak, sama sekali gak ngerepotin. Namanya juga keadaan darurat. Malah, kami yang ngerasa gak enak karena kamu jauh-jauh datang dan sampai sakit cuma buat nemuin Lathea."
Gue menahan napas mendengar ucapan lembut itu. Lidah gue kelu untuk berucap, mata gue akhirnya, bertabrakan dengan mata Ibu Lathea. Benar-benar teduh kayak mata Lathea.
"Lathea di sini semalaman, jagain kamu sampai ketiduran." Ibu Lathea tersenyum tipis, menghela napas, "Saya baru kali ini lihat Lathea sepeduli itu sama yang namanya cowok. Emang, beberapa teman Lathea sering berkunjung, apalagi akhir-akhir ini Nak Levi yang datang. Tapi saya gak yakin, apa Lathea akan menunjukkan rasa pedulinya ke mereka seperti rasa pedulinya ke kamu."
Jujur, gue tertegun mendengar cerita Ibu Lathea ini.
"Akhir-akhir ini, Lathea murung. Menghindari tatap mata sama siapa pun. Kelihatan jelas banyak masalah, tapi gak pernah cerita apa pun, sampai akhirnya, kami tahu alasan di balik kemurungannya." Ibu Lathea tersenyum tipis dan beralih mengelus puncak kepala gue, persis seperti yang akan dilakukan seorang Ibu ke putranya, "Terima kasih udah memberi warna di hidup Lathea, ya, Nak Athaya."
Gue menggigit bibir bawah gue dan menundukkan kepala. "Saya nyakitin dia. Saya buat dia kecewa. Saya buat dia khawatir. Saya buat dia sedih. Gak seharusnya Ibu berterima kasih atas apa yang udah saya lakukan ke dia."
"Iya, mungkin saat ini kamu jadi alasan terbesar kesedihannya. Saya yakin, kamu pernah membuat dia bahagia, membuat dia tersenyum, membuat dia tertawa. Saya akan tetap berterima kasih kepada kamu."
Gue diam sejenak, ucapan Ibu Lathea udah kayak pedang tajam yang menghunus jantung gue. Sesak rasanya dan saat gue membuka mata perlahan, gue tahu, gue cengeng. Iya, gue menangis dan sebisa mungkin mencoba menutupinya. Tapi sial, suara gue malah terdengar jelas bergetar.
"Saya udah sering nyakitin Lathea, Tante, buat dia sedih dan kecewa. Saya terlalu pengecut untuk buat dia bahagia. Saya gak tahu lagi harus bagaimana untuk memperbaiki semuanya," Suara gue benar-benar bergetar dan dengan satu helaan napas, gue mengucapkan sesuatu yang berasal dari lubuk hati terdalam, "Tapi saya bersumpah, saya benar-benar sayang sama putri Tante. Saya benar-benar sangat ingin membahagiakan Lathea. Saya benar-benar...saya ingin selalu ada di dekatnya. Perasaan saya ke Lathea, mutlak dan bukan main-main."
Ibunda Lathea memeluk gue erat, mengelus punggung gue dan gue cuma bisa menangis di dekapnya.
💧💧💧
LATHEA
Gue gugup bukan main saat Mama ke luar dari kamar yang tadi Athaya tempati dan menatap gue yang membantu merapihkan meja makan dengan lekat. Mama tersenyum tipis sebelum menghampiri gue dan berujar pelan, "Athaya lagi siap-siap sebentar. Kita sarapan bareng, ya? Papa udah berangkat dari Subuh."
Gue menggigit bibir bawah gue. "Ma, kenapa gak bangunin aku? Aku jadi gak ngantor hari ini."
"Mana Mama tahu? Kamu aja tidur di kamar Athaya tanpa bilang Mama atau Papa." Mama membantu mengelap piring yang udah gue siapkan di atas meja, "Mama juga gak yakin kamu mau kerja dan pasti lebih pilih jagain Athaya sampai dia bangun."
"Mama...gak ngomong apa-apa, kan, sama Athaya tadi? Kenapa lama banget di dalam?"
Mama mengangkat satu alisnya. "Kenapa? Takut Mama ngomongin yang buruk-buruk tentang kamu ke dia?"
Bibir gue mengerucut. "Ngomong yang jelek-jelek juga gak apa-apa. Lagian, gak bakal berpengaruh apa pun sama hidupku."
Mama hanya diam dan gue mulai membantu merapihkan meja, menghidangkan nasi uduk yang memang sudah dibeli Mama dari tadi pagi di piring yang sudah di lap. Gue berhenti mengelap saat tiba-tiba Mama menanyakan satu hal.
"Kamu sayang banget, ya, The, sama dia?"
Gue gak tahu harus jawab apa, bingung. Mau bilang iya, tapi malah ngenes. Mau bilang enggak, udah pasti bakal ditepis sama Mama.
Gue menundukkan kepala dan melanjutkan pekerjaan gue, berkata, "Supirnya Athaya udah datang dari tiga puluh menit lalu. Katanya semalam bawa obat Athaya, muter-muter tapi gak nemu."
Mama mengangguk. "Iya, Athaya bisa pulang setelah sarapan bareng, ya?"
"Aku sarapan di kamar aja, Ma."
"Yakin? Gak mau sarapan bareng? Gak kangen?"
Bibir gue mengerucut dan gue baru mau melemparkan candaan ke Mama saat sosok bertubuh tinggi nan tegap itu menghampiri ke ruang makan, membuat gue membeku di tempat. Mama menyadari hal itu dan menoleh, tersenyum manis kepada Athaya yang tersenyum dengan...mata memerah. Entah kenapa. Gue buru-buru mengalihkan pandangan darinya.
"Athaya, sini gabung. Maaf, ya, cuma bisa nyiapin sarapan nasi uduk. Gak apa-apa, kan?"
Athaya menahan napas. "Gak apa-apa, Tante."
Athaya bergabung di meja makan dan gue benar-benar dibuat salah tingkah. Athaya duduk persis di samping gue, membuat gue benar-benar mati gaya sementara, Mama sesekali menatap gue tanpa ada niat membantu sama sekali. Akhirnya, gue, Athaya dan Mama sarapan bertiga di meja makan.
"Kamu satu kantor sama Lathea, ya, Tha? Berarti satu kantor juga dengan Levi?"
Sial. Mama kenapa malah buka percakapan gini?
Athaya berhenti makan dan mengangguk. "Iya, kebetulan kami satu kantor."
"Kamu Divisi Keuangan juga? Sama kayak Lathea?" Mama bertanya lagi.
Athaya menggeleng cepat. "Saya Divisi Perencanaan, Tante."
Mama mangut-mangut, seakan mengerti apa itu Divisi Perencanaan dan gue pikir, ya, udahlah gak apa-apa makan dengan penuh kecanggungan, tapi Mama malah lanjut mengajukan pertanyaan lain.
"Kamu tinggal di mana, Tha?"
"Di Mangga Besar, Tante."
"Masih sama orangtua?"
Athaya menggeleng. "Sendiri. Orangtua saya tinggal di luar kota."
"Kamu anak perantauan kalau begitu?"
Athaya diam, berpikir sejenak sebelum menjawab santai, "Bisa dibilang begitu."
Gue larut dalam lamunan. Orangtua, ya? Athaya gak pernah cerita rinci tentang orangtuanya. Informasi yang gue dapat, orangtuanya emang gak tinggal di apartemen dia dan tinggal di luar kota. Gue gak pernah tahu latar belakang keluarga Athaya. Athaya...tertutup soal itu dan duh, ngapain juga gue kecewa dia gak cerita? Emang gue siapanya?
Gue terlalu sibuk dalam pikiran gue dan baru tersadar serta kembali ke dunia nyata saat mendengar Athaya yang tiba-tiba bertanya kepada Mama, pertanyaan yang membuat gue memicingkan mata.
"Kalau boleh, saya izin ajak Lathea ke luar hari ini, Tante? Saya janji, Lathea kembali dalam keadaan utuh dan aman. Saya jagain dia."
Gue mengerjap, menahan napas dan serius, gue gak berani menatap Athaya yang kini bertatapan dengan Mama. Mama melirik gue sekilas, lalu menjawab tenang, "Kamu gak perlu izin untuk ajak Lathea ke luar. Lathea udah cukup dewasa untuk menentukan pilihan, tanpa harus campur tangan orangtua."
Badan gue lemas seketika saat Athaya beralih menatap gue, tatapannya sendu dan entah kenapa, gue seakan terhipnotis oleh tatapan yang...anjirlah. Udah berapa lama gue gak ketemu Athaya? Kangen banget!
"Mau, kan, The? Gue janji, gak lama dan gak bertele-tele. Kalau lo gak nyaman, lo bisa bilang dan gue antar lo pulang."
Gue menggigit bibir bawah, lagi. Gugup ditatap begini sama Athaya. Gue pengin nolak, tapi rasanya berat. Gak tahu kenapa, gue kayak...gak pengin melepaskan kesempatan ini. Mungkin emang saatnya gue bicara empat mata sama Athaya...memperbaiki semuanya?
"Mau ke mana?"
"Ke mana pun yang lo mau, gue ikut."
Gue diam sejenak, beralih menatap ke Mama yang mengangguk penuh keyakinan. Gue menarik napas dan menghelanya perlahan sebelum memberanikan diri kembali menatap Athaya. Gue mengangguk.
"Oke."
Gak butuh waktu lama buat gue bersiap, supirnya Athaya juga udah datang buat nganterin mobil dan dia pulang dengan taksi. Athaya masih pakai kaus dan celana Papa yang kebetulan pas di tubuhnya. Wajahnya masih pucat, tapi gak sepucat semalam dan sejujurnya, gue gak setuju dengan ide dia nyetir sendiri.
"Mau ke mana, The? Gue kurang tahu daerah sini, lo tunjukin aja jalannya."
Gue menghela napas, tiap sama Athaya, rasanya canggung banget. Padahal, dulu gue berasa selalu manja-manjaan sama dia. Eh, enggak juga, deng. Dia yang manja sama gue, keseringan dan gue yang belagak cuek padahal senang dia manja-manja sama gue.
"Ada restoran Jepang setelah pertigaan. Sebelah kiri."
"Oke."
Gak butuh waktu lama, mobil Athaya terparkir di halaman parkir restoran Jepang yang gue maksud. Gue dan Athaya ke luar mobil bersamaan, meskipun biasanya Athaya yang membukakan pintu mobil buat gue. Tapi di kondisi yang kayak gini, gue gak bisa se-PD itu. Hati gue masih dag-dig-dug-ser. Bingung akan kelanjutan hari ini.
Gue dan Athaya mendapat kursi nomor 13, duduk menghadap ke jalan. Gue dan Athaya langsung pesan makanan sebelum akhirny, kecanggungan kembali muncul menghantui dan gue tahu, sih, bukan gue yang bakal memecah kecanggungan ini.
"Lo apa kabar, The?"
"Baik." Gue menjawab singkat, masih dengan tatapan mengarah ke jalan. Gue gak berani natap Athaya. Gue memberanikan diri melirik Athaya yang menundukkan kepala, terlihat sama gugupnya dengan gue. Gue menggigit bibir bawah gue, "Lo sendiri...apa kabar?"
Senyuman tipis muncul di bibir Athaya, tapi dia masih menundukkan kepala saat menjawab, "Secara fisik, gue sehat. Tapi mental dan perasaan gue enggak, The."
Athaya memejamkan mata sekilas, menghela napas sebelum mengangkat wajah. Matanya bertabrakan dengan mata gue dan...bisa dipastikan. Dia emang gak sedang baik-baik aja.
"Gue gak tahu harus mulai dari mana. Sebelumnya, gue minta maaf kalau ngerepotin lo dan keluarga lo semalam. Gue gak tahu kenapa gue selemah itu, malu-maluin, sih," dia terkekeh kecil
Gue tersenyum dan mengangguk. "Dimaklumi."
Athaya menggigit bibir bawahnya dan memejamkan mata sekilas, lagi. "I got big problem with rain."
Gue mengangguk. "Iya, tahu."
"Dari Levi? Lo kencan sama Levi, ya, kemarin? Sori, jadi ganggu waktu kencan lo."
Gue menahan napas dan Athaya kembali menundukkan kepala, entah kenapa. "Gue gak kencan sama Levi, cuma hang out biasa."
Athaya tersenyum tipis. "Dia cowok baik, kok, The. Latar belakangnya baik. Dia setia. Ya, kurangnya cuma di kontrol emosi, tapi lo pasti tahu dia gak bakal emosi ke lo. Dia bisa jaga lo dengan baik." Athaya menghela napas lagi, "Kalian cocok, serasi."
Gue terdiam sebentar mendengar ucapan Athaya tersebut sampai akhirnya, mata gue seakan perih. Duh, cengeng banget. Ini gue kayak mau nangis beneran dengar Athaya bilang gue dan Levi serasi.
Gue...gue maunya lo bilang gue dan lo yang serasi, Tha, bukan gue dan Levi!
"The," Gue mengerjapkan mata dan bertatapan dengan Athaya yang kali ini tersenyum, "Gue mau lo bahagia. Sori, kalau gue cuma bisa bikin lo sedih." Tatapan Athaya beralih, menatap ke jalan sebelum dia menghela napas, "Hujan lagi, ya?"
Pandang gue mengikuti arah pandangnya dan benar saja, di luar sana mulai turun hujan dan gue beralih menatap Athaya yang menatap hujan itu dengan hampa. Tak berapa lama, pelayan datang membawakan pesanan gue dan Athaya, sedikit mengalihkan lamunan Athaya akan hujan tersebut.
Gue dan Athaya makan dalam sunyi, sesekali gue mencuri pandang ke Athaya. Gue bingung harus gimana, tapi dari tatapannya yang hampa, gue bisa tahu seberapa besar pengaruh hujan dalam hidupnya. Athaya punya banyak beban pikiran, yang mungkin gak bisa dia bagikan dengan gue.
"Everything's gonna be okay."
Athaya berhenti makan dan menoleh ke gue yang baru saja mengucapkan kalimat tersebut. Dia tersenyum simpul. "Thanks, Lathe."
Sejujurnya, gue gak akan pernah tahu jika selanjutnya gak ada percakapan penting yang seharusnya menjawab semua pertanyaan-pertanyaan yang selama ini berkutat dalam pikiran gue.
Kisah gue bahkan belum dimulai, saat semua terasa sudah berakhir begitu saja. Miris.
---
Terima kasih berkenan untuk membaca :)
17 April 2020
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top