17 Sudah Seminggu

LATHEA

"Pagi, Mbak Thea. Jangan lupa dihabiskan roti sama minumannya."

Gue tersenyum ke Pak Imam yang baru datang membawakan kantung plastik Alfamart kecil yang isinya gak berubah sejak lama. Sari roti sandwich rasa keju dan juga aqua 150 ml. Gue menerima kantung plastik itu dari Pak Imam, "Makasih banyak, ya, Pak."

Seperti biasa, Pak Imam hanya tersenyum penuh arti dan berlalu pergi meninggalkan ruangan Divisi Keuangan yang masih juga sepi. Padahal, lima belas menit lagi kantor akan memulai pekerjaannya, tapi Divisi Keuangan baru gue dan dua staf lain yang datang. Yang lain belum. Biasanya mepet-mepet atau bahkan terlambat. Kebiasaan buruk.

"The, yang laporan proyek Jakarta Barat, semuanya kamu rekap, ya? Terus kirim email ke Pak Pram. Katanya, dia butuh untuk meeting dengan klien malam ini." Bu Maria baru aja sampai dan tanpa ada basa-basi mengucapkan kalimat panjang itu ke gue yang baru membuka plastik dan bersiap sarapan.

Gue tersenyum tipis dan menganggukkan kepala, tanpa mengucapkan apa pun, tapi gue tahu Bu Maria tahu gue bakal ngerjain apa yang dia perintahkan. Mata Bu Maria menatap tajam gue, membuat gue heran seketika.

"Lagi ada masalah, The?"

Gue mengerjap, menggelengkan kepala. Malas berkata-kata lagi.

Bu Maria menghela napas. "Tumben kamu sampai lebih awal, terus selalu pulang on time. Di kantor juga gak banyak omong. Saya pikir, kamu lagi ada masalah."

"Enggak, Bu."

Bu Maria melangkah menuju ke mejanya, namun dia sempat menoleh lagi ke gue sebelum akhirnya berkata, "Oh, ya. Selain ke Pak Pram, jangan lupa CC-in Pak Athaya. Saya yakin, ujung-ujungnya pasti Pak Athaya yang bawa laporan itu."

Satu nama dan bikin mood gue drop seketika.

Emang benar, ya? Gak seharusnya ada hubungan lebih dari rekan kerja di kantor. Susah buat profesional.

Apa gue ngajuin pengunduran diri dan ngelamar kerja di tempat lain? Tapi gue pesimis gue bakal dapat kerja. Sebelum diterima kerja di perusahaan ini, gue ditolak ratusan perusahaan tempat gue ngelamar. Sampai gue putus asa sendiri dan untunglah, perusahaan ini hubungin gue dan bawa secercah cahaya dalam hidup gue.

Meskipun sekarang, kerja di sini kayak nambah beban hidup gue. Ah, bukan pekerjaannya.

Tapi perasaan yang terlibat di dalamnya.

Sudah seminggu gue gak lihat Athaya dan seperti isi pesannya di panggilan terakhir hari itu. Dia bakal pergi dua minggu dan berharap tahu apa yang harus dia lakuin selanjutnya.

Di saat gue memilih untuk menyerah dan pasrah pada keadaan.

Tapi masih aja. Gue kangen Athaya. Gue kangen Athaya Rasi Gaputra yang belum sepenuhnya memenuhi asa gue.

💧

Sejak seminggu lalu, gue jadi sering menghabiskan waktu bersama Tami dan Levi. Ya, seperti biasa, keduanya sibuk mengadu argumen satu sama lain, tapi mungkin mereka lelah sendiri jadi, selama dua hari belakangan mereka memilih bungkam dan menjaga ego masing-masing. Hanya sekedar buat nemanin gue makan siang.

"The, minggu ini nonton bioskop, yuk? Ada film bagus. Gue bayarin nontonnya, deh."

"Heh, mana bisa! Thea udah janji mau girl's time di rumah gue! Gak bisa diganggu gugat!"

Gue menghela napas. Baru aja bilang kalau keduanya saling jaga ego biar bisa nemani gue. Tapi sekarang, gue malah lihat keduanya saling natap satu sama lain dengan mata berapi-api. Kayak harimau yang lapar dan mau mencengkram mangsanya.

"Gue gak pernah menghabiskan akhir pekan sama Lathea! Gantian, lah, jangan egois!"

"Eh, gue udah jarang akhir pekanan sama Lathea! Pasti jalan abis pulang kerja mulu!"

"Sama, gue juga gitu!"

"Ya, udah, gue duluan yang ngajak!"

Kalau dipikir-pikir, iya juga, ya? Gue jarang banget menghabiskan waktu sama orang lain di akhir pekan. Gue gak punya begitu banyak teman buat diajak bersenang di akhir pekan. Eh, bukan gak punya. Punya dan mereka sering ajak gue jalan, tapi gue-nya aja yang menghindar. Gak tahu kenapa. Menurut gue, akhir pekan...ya, waktunya istirahat. Gue gak terlalu suka bersenang-senang di luar rumah, kecuali sama...

"Ya, udah. Gue nonton dulu siangnya sama Levi, terus pulangnya gue ke rumah lo dan nginap. Gimana?"

Gue gak paham apa yang ada di otak gue sampai gue berani ngomong kayak gitu, menghentikan perdebatan Tami dan Levi. Keduanya saling tatap sebelum mengangguk tanpa berucap apa pun. Gue lega, seenggaknya gue gak harus banyak omong lagi.

"Ya, oke, deh. Gue jemput jam satu, ya, The?" Levi bertanya dan gue mengangguk.

Tami menatap Levi tajam. "Eh, pokoknya maksimal sebelum maghrib, lo udah antar Lathea ke rumah gue!"

Levi balas menatapnya tajam. "Enggaklah! Masa sebelum maghrib? Kayak bocah! Jam sepuluh maksimal gue antar Lathea ke rumah lo!"

"Enggak! Kemalaman! Gue udah tidur jam segitu!"

"Ya, udah. Jam sembilan!"

"Apaan jam sembilan? Kemalaman!"

"Apaan, sih, lo? Masa kemalaman mulu?!"

Gue cuma bisa geleng-geleng dengar perdebatan gue, lalu bertopang dagu dan larut dalam pikiran yang enggak seharusnya datang ke otak gue.

Athaya...lagi ngapain, ya? Udah seminggu dan ternyata benar kata Dilan. Kangen itu berat.

💧

ATHAYA

Baru seminggu, ya?

Kenapa berat? Kerasa udah bertahun-tahun gue gak ketemu sama Lathea. Gue gak bisa baca pesan dari dia. Gue gak bisa dengar suaranya. Gue gak bisa lihat wajahnya. Gue gak bisa lihat senyumnya. Gue gak bisa lihat dan dengar tawanya. Gue gak nyangka bakal seberat ini dan ini baru awal dari segalanya.

"Lo ngerokok, Tha?"

Suara itu membuat gue menoleh dan Aurora melangkah ke arah gue, dengan puntung rokok yang terselip di sela-sela jarinya. Sesaat sebelum diselipkan ke bibirnya yang dipoles lipstick berwarna merah. Lucu rasanya. Gue pernah sentuh bibir itu dengan bibir gue, cuma karena mau nunjukin ke Kayla kalau gue udah move on dari dia. Rasanya...lembut dan gue penasaran...apa bibir semua cewek begitu? Hm...kalau Lathea? Aduh, gue berasa gila beneran.

"Gue gak nyangka seorang Athaya Rasi Gaputra yang terkenal baik-baik, malah ada di atap gedung dan ngerokok." Aurora duduk di samping gue, di atas bangku kayu panjang yang gue juga gak paham sejak kapan ada di atap hotel tempat gue dan tim menginap. Aurora salah satu anggota tim.

Gue tersenyum simpul. "Dan lo masih ngerokok, bahkan sampai sekarang?"

Aurora berdecak. "Enggak, sih. Pas stress aja gue ngerokok."

Gue meletakkan rokok di sela-sela bibir, menghirupnya dalam sebelum menghembuskan asapnya perlahan. "Oh, ya? Stress kenapa lo? Bisa stress?"

Aurora terkekeh. "Gue juga manusia, Tha. Emang dari luar kelihatannya cuek, tapi ya gue juga punya masalah."

Emang benar, sih. Dulu, di mata gue, seorang Aurora Joanne adalah cewek tercuek dan termasa bodo yang pernah gue kenal. Dia kasar dan gak peduli akan perasaan orang, tapi dibalik semua itu, dia juga punya sisi rapuh yang bahkan bikin gue meringis mengingatnya. Duh, dulu gue pernah nemanin dia nangisin anjing peliharaannya yang meninggal, semalaman gue ditahan di kamarnya. Lucu, sih, kalau diingat-ingat.

"Tha, lo gak jawab pertanyaan gue, loh. Lo ngerokok? Sejak kapan?"

Gue tersenyum tipis mendengar pertanyaan Aurora. "Udah lama, Ra. Bahkan pas kuliah pun gue udah ngerokok, tapi gak seaktif Levi."

Aurora mengerucutkan bibir, menghela napas, lalu menghirup rokoknya yang tertinggal setengah. "Gue kira lo cowok paling bersih yang gue kenal. Dulu, kan, lo pernah gue tawarin rokok dan sok suci nolak."

"Bukan nolak. Emang lagi gak niat aja ngerokok."

Aurora tersenyum miring, mengejek. "Terus kenapa lo ngerokok? Stress juga?"

"Menurut lo?"

Aurora tertawa kecil, lalu membiarkan angin malam menyapu rambut panjang lurus yang dibiarkan terurai. Kalau boleh jujur, Aurora adalah salah satu wanita tercantik dan terkuat yang pernah gue temui. Cuma aja, hati gue gak sreg sama dia, gak tahu kenapa. Dulu, gue dan Aurora mengakhiri acting dengan ucapan selamat tinggal dan pelukan hangat. Aurora melanjutkan S2 di luar negeri dan gue sendiri bingung kenapa dia ada di sini sekarang.

"Lo tertekan, ya, Tha, kerja di kantor? Semua tanggungjawab dikasih ke lo. Padahal, lo juga pengin kerja yang sesuai dengan tugas pokok dan fungsi lo."

Gue terdiam dan Aurora menepuk pundak gue, beberapa kali. "I know you, Tha, please, stop forcing yourself. It is too much to see you like this."

"Gue gak tahu, Ra."

Aurora menghela napas, lalu membuang puntung rokoknya. Tanpa diduga-duga, dia merentangkan tangan dan menarik gue ke dekapan hangatnya yang gue gak tahu bisa cukup menenangkan pikiran-pikiran liar gue.

"Gue kenal lo, Tha. Gue tahu kapasitas lo. Berhenti ngerasa bertanggungjawab atas banyak hal yang bukan tanggungjawab lo. Udah cukup lo menampung banyak beban di pundak. Lo pun butuh kebebasan." Aurora berkata, sedikit pelan di telinga gue.

Gue memejamkan mata dan balas memeluknya. "Gue gak tahu, Ra. Gue gak tahu harus apa."

"Tentuin apa yang lo butuhkan, Athaya. Ke luar dari zona nyaman. Berhenti nyalahin diri sendiri atas hal-hal buruk yang terjadi di sekitar lo. Semua bukan salah lo. Semua takdir Tuhan."

"Ra...,"

"Tha, lo berhak bahagia. Sangat berhak bahagia."

Bahagia. Gue lupa kapan terakhir kali gue bahagia.

Ah, ya. Itu seminggu lalu. Saat gue bisa dengar suara Lathea, meskipun mungkin untuk yang terakhir kalinya.

💧

LEVI

Woah. Kayak mimpi yang jadi kenyataan. Gue benar-benar berjalan berdampingan dengan Lathea di hari Sabtu, menuju malam Minggu ini. Bahagia banget gue, sangat amat bahagia sebelum akhirnya gue menoleh untuk mendapati wajah Lathea yang tidak sebahagia gue.

Film baru aja selesai dan penonton bioskop mulai meninggalkan studio. Gue baru mau buka suara, nanya Lathea mengenai film, tapi yang gue dapati, cewek itu duduk dengan tatapan hampa, menundukkan kepala. Gue rancu dia nonton film atau enggak. Kayaknya enggak.

"The, gimana filmnya? Bagus?"

Lathea seakan terkejut dengan suara gue yang membuyarkan pikirannya yang entah apa. Dia tersenyum, dipaksakan. "Bagus, Lev. Bagus banget. Makasih, ya, udah ajak gue nonton."

Gue balas tersenyum. "Paling suka adegan yang mana, The?" Gue cuma ngetes, sih.

Benar aja, rautnya berubah dan dia berpikir sejenak sebelum menjawab, "Suka semuanya, Lev. Saking bagus ya, jadi bingung milih. Eh, ke luar, yuk! Udah selesai, kan, filmnya?" Dia mengalihkan pembicaraan, meraih tas dan bangkit berdiri, melangkah meninggalkan kursi. Gue menghela napas dan mengikuti dari belakang, sebelum melangkah berdampingan dengannya.

Lathea hari ini pakai dress selutut warna kuning lembut. Cantik banget, tapi kayaknya bakal lebih cantik kalau raut wajahnya bahagia. Raut yang udah beberapa minggu belakangan gak gue dapati di wajahnya.

"Kita mau ke mana lagi, Lev? Masih ada 2 jam lagi sebelum lo anter gue ke rumah Tami, kan?"

"Lo lagi pengin ke mana, The? Gue ngikut aja."

Lathea menggeleng. "Enggak. Gue aja yang ngikut lo. Kan, lo yang ngajak." Lagi, dia tersenyum, tapi gak secerah biasanya.

"Kita ngobrol sambil makan Udon? Mau gak?" Gue menawarkan, duh, si Aurora dulu demen banget makanan Jepang satu ini. Kayla juga suka. Lathea pasti suka, kan?

Lathea mengangguk dan tersenyum tipis. "Yuk."

Dia melangkah di depan gue dan entah kenapa kaki gue membeku di tempat. Seakan ada yang menahan gue untuk berhenti menyusulnya. Untuk satu dan lain hal, gue baru sadar. Selama ini, gue yang terlalu berlari kencang menggapai Lathea yang membatu di tempat, tanpa ada niat sedikit pun untuk menyusul.

Athaya, gue kalah lagi sama lo.

💧

Siapa kangen Athaya-Lathea?
Duh, doakan teman-teman. Kayaknya bakal segera tamat cerita ini, daripada digantung panjang tapi malah kehabisan ide. Akhirnya, aku dapat wangsit buat namatin segera.
Untuk yang udah suka Athaya-Lathea dari chapter 00, terima kasih banyak❤️

Semoga menghibur untuk yang #dirumahaja!
Setelah pandemik ini selesai, let's have lots of fun and do what we want to do! ;)

05 April 2020

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top