16 Kenapa?
ATHAYA
Hari ini adalah hari kedua gue menunggu Lathea di Stasiun Juanda, dengan tangan memegang plastik berisikan aqua 150 ml dan sari roti sandwich isi keju, kesukaan dia. Gue menunggu dari pukul tujuh pagi dan harapan gue bertemu Lathea perlahan pupus saat gue sadar, udah dua jam berlalu sejak kedatangan gue. Lathea hampir gak pernah terlambat sampai kantor--kecuali ada gangguan di commuter line--dan gue udah tanya ke petugas stasiun. Hari ini, kereta beroperasi normal, gak ada gangguan sama sekali.
Apa Lathea masih sakit? Belum masuk kantor? Pertanyaan itu terngiang di pikiran gue dan gue frustasi setengah mati sejak kemarin. Lathea benar-benar blokir nomor gue dan gue gak tahu gimana harus ngehubungin cewek itu lagi.
Gue menghela napas dan berbalik badan buat kembali ke mobil, berangkat ke kantor meskipun gak ada semangat sedikit pun buat balik ke kantor sampai sebuah tangan menepuk pundak gue. Gue menoleh cepat dan si kupret Levi yang ternyata menepuk bahu gue.
"Lo naik kereta juga, Tha?" tanyanya, sok akrab.
Gue menepis tangannya dari bahu gue. "Bukan urusan lo."
"Nunggu Lathea, ya?" Shit. Ini orang kenapa, sih?
Mata gue memicing. "Bukan urusan lo."
Levi mengedikkan bahu. "Oke, lah. Gak perlu, lah, ya gue berbagi info tentang Lathea? Kemarin, gue jenguk ke rumahnya."
"Lo? Ke rumah Lathea?" Kayak kena hantaman jarum di hati dengar si bajingan satu ini selangkah di depan gue.
Levi mengangguk. "Iya. Kalau mau info terbaru tentang Lathea, cukup nebengin gue sampai kantor, terus bantuin gue izin ke Divisi Personalia kalau pagi ini, gue terlambat karena menemani Bapak Manajer Perencanaan yang terhormat ini meeting dengan klien di luar."
Mata gue memicing. "Gak usah alasan. Profesional. Terlambat, ya, terlambat."
"Lo pikir gue gak tahu lo sering terlambat cuma karena ketemuan sama Lathea di sini? Terus datang ke kantor dengan alasan ketemu klien. Halah, basi."
Sial. Gue gak nyangka si bajingan satu ini bisa tahu banyak tentang hubungan gue dan Lathea, termasuk pertemuan rahasia gue dan Lathea.
Gue tersenyum sinis. "Kenapa emang? Toh, gak ada yang larang gue buat terlambat. Sedangkan lo? Lo masih staf. Perbaikin disiplin lo kalau lo berminat ikut promosi. Inget, suara gue juga jadi salah satu pertimbangan lo buat naik."
Levi tersenyum santai, mengedikkan bahu. "Gak gila jabatan, sih, gue. Mending jadi staf, tapi bebas ngelakuin apa pun, daripada jadi manajer kayak lo, tapi ruang gerak terbatas. Mirip emang lo sama boneka Ken. Bo-ne-ka."
Setelah itu, Levi berlalu begitu saja meninggalkan gue yang masih mematung, membeku atas apa yang dia ucapkan tentang gue tadi.
Boneka.
Gue tersenyum pahit dan menyadari, semua ucapan Levi sangat benar. Gue terlalu cepat naik, ketika seharusnya gue menikmati hidup santai gue sebagai seorang staf. Staf yang gak memiliki jadwal serta tanggungjawab sebesar apa yang gue pikul sekarang. Jadi manajer gak semanis yang mereka lihat. Iya, pendapatan emang lumayan, tapi buat apa banyak pendapatan saat lo sendiri aja terlalu sibuk sampai jarang ada waktu buat diri lo sendiri? Gerak-gerik lo diawasin, salah sikap dikit jadi omongan. Apa pun keputusan yang lo buat, punya risiko tinggi buat masa depan.
Iya juga, ya? Kalau gue masih ada di posisi Levi sekarang ini, mungkin gue akan memperbanyak waktu buat cari pasangan, jadi saat gue udah punya jabatan, gue punya seseorang buat jadi sandaran dan tempat gue berkeluh kesah tentang pekerjaan.
Duh, Lathea. Gue kangen. Berat.
💧
LEVI
"Lo itu, ya! Udah dapat Surat Peringatan pertama, bukannya lebih disiplin malah lebih bobrok! Capek banget gue lihatin rekap absen lo yang benar-benar kayak sampah yang mengotori indahnya absen pegawai divisi lo yang lain!"
Terlambat dan ketemu seorang Utami Dwitasari jelas bukan ide bagus. Bahkan bisa dibilang kayak kiamat sugro. Seriusan. Ini cewek mulutnya gak bisa direm kalau udah berhubungan sama gue. Bawaannya ngegas mulu. Padahal, gue udah sekalem ini dan minta maaf berulang kali ke dia.
"Motor gue mogok. Terpaksa gue tinggal di parkir stasiun terdekat. Kalau gak percaya, nanti sore ikut, deh, sama gue naik kereta. Turun di Stasiun Klender. Lihat motor gue masih di sana." Gue berusaha menormalkan suara gue, jangan sampai ikut meninggi karena cewek ini.
Tami mendengus. "Heh! Rumah gue di Pasar Minggu, ngapain gue ikut lo ke Klender!"
Gue ikut mendengus. "Ya, abis lo gak percayaan banget sama gue. Gue jujur seratus persen. Dikira gak jujur mulu kalau terlambat."
"Ya, cuma orang bodoh kayak lo ini yang terlambat gak ngotak! Tiga hari berturut-turut terlambat dengan alasan motor mogok! Udah tahu motor lo butut, ya bangun pagi ke stasiun! Jangan maksain! Bodoh banget lo, sumpah."
Apes banget, dah. Gue terpaksa nyengir dan gak bisa lagi berargumentasi dengan pikiran Tami yang luar biasa kompleks, tapi beranalisa dengan tepat. Gue menghela napas.
"Oke, Ibu Utami Dwitasari. Saya mengakui ketidak disiplinan saya yang menyebabkan saya terlambat. Saya mohon maaf yang sebesar-besarnya. Jika memang saya harus dapat Surat Peringatan kedua, saya terima dengan lapang dada."
"Ya, iyalah! Mana bisa lo nolak kalau udah dapat SP 2!"
Ini si Tami padahal sahabatan sama Lathea, tapi gak bisa ketularan tutur kata lembut nan santun Lathea apa? Bingung gue.
Mungkin gue akan terus berargumentasi dengan Tami dan menjadi tontonan Divisi Personalia, jika saja Disa gak muncul dan berkata jika Pak Pram memanggil gue ke ruangannya. Penyelamat banget, lah, si Disa ini, jadi gue bisa kabur dari Tami.
"Mbak, titip tas, ya?" Gue melepas tas ransel yang masih gue pakai, meletakkan di bawah meja Disa yang mengernyitkan dahi.
"Lo baru dateng, Lev?"
Gue nyengir dan angguk-angguk dan melangkah menuju ke ruangan Pak Pram, mengetuk pintunya yang setengah terbuka dengan perlahan sebelum membuka sepenuhnya.
"Pagi, Levi. Silahkan duduk,"
Napas gue tertahan melihat siapa yang duduk berhadapan dengan Pak Pram sekarang.
Aurora Joanna. Lagi menyeringai sinis ke gue.
Buset, deh. Ini bocah serius jadi klien baru kantor?
"Aurora cerita, katanya dia sempat kenal dengan kamu dan Athaya. Kalian satu kampus. Benar?" Pak Pram langsung mempertanyakan hal itu, tanpa basa-basi.
Gue pasrah, mengangguk.
Pak Pram lanjut berkata dengan Aurora yang masih mempertahankan senyumannya. "Gini, Lev. Aurora ini akan jadi klien kita dalam desain interior proyek Kebayoran. Saya udah hubungin Athaya untuk ikut berdiskusi, tapi sepertinya dia masih di jalan. Intinya, saya mau kalian bertiga menjadi tim untuk proyek ini. Aurora akan koordinasi dengan Athaya dan tim untuk desain menyeluruh dan Aurora juga akan koordinasi dengan kamu terkait pembangunan."
"Maaf, Pak. Apa gak sebaiknya langsung ke manajer aja? Kenapa langsung ke saya, ya?" Oke, gue tahu ini lancang, tapi satu tim dengan Athaya dan Aurora jelas bukan ide baik.
"Biar lebih mudah, lah, Lev. Kan, kita saling kenal." Aurora yang menjawab, dengan lugasnya.
Pak Pram mengangguk. "Iya. Lagian, saya mengakui kemampuan kamu setara dengan manajer kamu. Cuma etika dan emosional kamu aja yang harus sedikit dilatih. Jadi, saya percayakan tugas ini ke kamu."
Terlambat. Diomelin Tami. Sekarang apa lagi, hah?
Sial banget, deh, gue hari ini.
💧
DISA
Pak Pram perintahin gue buat panggil Levi dan Athaya ke ruangan, sesaat setelah dia datang dengan seorang cewek cantik yang memperkenalkan diri sebagai Aurora Joanna. Levi udah bergabung di dalam sejak lima belas menit lalu dan belum juga ke luar sampai sekarang, sedangkan Athaya masih entah ada di mana.
Gue udah coba hubungin Athaya secara pribadi, tapi gak kunjung ada respon. Gue telepon ke ruanganny, gak ada yang angkat. Gue telepon ke anak buahnya di Divisi Perencanaan, pada gak tahu ke mana bos mereka itu. Jam udah menunjukkan pukul sepuluh lewat lima menit. Gak biasanya Athaya seterlambat ini. Kalau pun terlambat, dia pasti bakal ngabarin.
Eh, ngabarin? Gue baru sadar. Gue belum ketemu langsung sama Athaya selama tiga hari belakangan. Cowok itu juga gak ngehubungin gue. Chat terakhir gue dan Athaya sekitar seminggu lalu saat dia nanyain Pak Pram. Setelahnya, gue dan dia hilang kontak gitu aja. Apalagi sejak gue tahu hubungan dia dan Lathea.
Enggak, gue gak pernah menanyakan hal itu kepada Athaya. Gue takut, dia malah terbebani atau ngerasa gak enak. Gue gak mau dijauhin Athaya atau jadi orang yang dia takuti.
Tapi gue mempertanyakan hubungan mereka ke Lathea dan gue menyesal setelahnya. Raut Lathea waktu dengar pertanyaan gue benar-benar...sulit diungkapkan. Dia kelihatan ketakutan, tertekan. Meskipun, gue coba yakinin ke dia kalau, ya, gak apa-apa. Gue gak bakal ember ke siapa pun.
Sakit banget, sih, tapi ini hati. Berasa ditaburin garam ke luka yang terbuka nganga. Sakit pake banget bangetan.
Lamunan gue buyar saat mendengar suara derap langkah yang cukup gue kenali sebelum sosok tinggi muncul di depan meja gue. Napasnya terengah-engah, rambutnya berantakan gak seperti biasa. Wajahnya juga datar, pucat dengan kantung mata yang cukup kentara.
"Tha, lo ken--,"
"Gue dipanggil ke dalam, ya? Sori, baru baca WhatsApp."
Gue bungkam dan menganggukkan kepala. Athaya berpaling dan melangkah gontai memasuki ruangan Pak Pram dan mata gue gak teralihkan dari cowok itu hingga pintu tertutup dan sosoknya menghilang.
Athaya, lo kenapa? Gak pernah gue lihat lo tampak seburuk ini.
💧
LATHEA
Hari ini hari kedua gue gak masuk kantor dan gue gak tahu kapan gue akan berhenti menjadi pengecut yang memilih menghindar daripada menghadapi masalah gue. Masih dengan alasan yang sama, gue bilang gue masih gak enak badan ke orangtua dan rekan kantor gue. Padahal, badan gue sih, emang masih lemas. Gue masih menangis semalaman dan gue gak ada semangat sedikit pun buat beranjak dari ranjang.
Semalam, Levi telepon gue hampir satu jam dan gue gak tahu kenapa, rasanya lancar gue bicara sama Levi tentang masalah yang gue hadapi, tanpa ada rasa takut sedikit pun. Iya, gue cerita tentang hubungan gue dan Athaya ke Levi dan Levi memang pendengar yang baik. Dia bahkan yang nyaranin agar gue istirahat dulu, kalau siap baru masuk kantor.
Kemarin, setengah mati gue menahan diri buat gak ngebuka blokir kontak Athaya. Gue gak balas permintaan maafnya kemarin dan sekarang, gue menahan diri untuk gak membalas. Mau sampai kapan kayak gini? Perasaan gue terlalu mendominasi dan bahkan gak bisa gue kendaliin dengan baik. Ini gak normal. Gak harusnya kayak gini.
Bokap-Nyokap gue nginap di rumah Om Ridwan setelah gue bilang, gue udah mendingan. Semalam, hujan turun cukup deras dan mereka terpaksa menginap. Ini juga. Dari pagi Depok hujan, padahal Levi bilang, di kantor cuacanya cuma mendung, belum sampai hujan.
Duh, ini gue galau berasa banget. Duduk mandangin hujan dari jendela. Gue menahan diri buat gak nyetel musik sendu, biar gak tambah galau. Tapi mendadak, kebayang wajah cemas Athaya waktu gue dan dia pulang dari kencan pertama--dan mungkin terakhir--kita. Waktu itu hujan dan entah kenapa, gue merasa Athaya punya kecemasan sendiri akan hujan.
Emangnya, apa yang salah sama hujan? Gue selalu suka hujan dan gak akan pernah berubah.
Lamunan gue buyar saat dering HP gue terdengar. Gue beranjak dari tepi jendela dan meraih HP, mendapati nomor yang gak gue kenal sedang melakukan panggilan masuk. Gue hendak mengangkat, tapi sesaat kemudian, gue menahan diri dan memilih mengabaikan panggilan tersebut. Ya, seenggaknya sampai nomor itu terus melakukan panggilan hingga akhirnya, gue pasrah dan mengangkat panggilan.
"Halo?"
Gak ada balasan sama sekali. Gue menjauhkan HP dari telinga dan mendapati panggilan itu masih berlangsung. Mata gue memicing dan bertanya sekali lagi. "Halo? Maaf, ini siapa?"
Lagi, gak ada jawaban. Gue hilang kesabaran dan baru gue pengin ngomong untuk terakhir kali sebelum mengakhiri panggilan, suara dari jauh sana terdengar dan jantung gue berdegup gak karuan mendengarnya.
"Lathe..."
Gue bungkam. Lidah gue kelu untuk mengucap apa pun sampai gue mendengar suaranya lagi, terdengar sangat lirih.
"Gue gak tahu gimana bisa hubungin lo. Lo blokir semua akses gue. Jadi, gue beli nomor baru." Helaan napasnya terdengar sangat berat, "Gue tahu, gue amat sangat pengecut. Hubungan lo dan gue gak berprogress sama sekali karena sepengecut itu gue." Lagi, dia menghela napas, "Gue cuma mau dengar suara lo dan mastiin lo baik-baik aja. Gue dengar, lo sakit. Jangan lupa makan dan minum obat, Lathe. Lo suka lupa sarapan dan makan siang lo suka gak benar. Istirahat yang cukup. Jangan begadang. Kalau susah tidur, paksain biar tidur. Lo harus sehat. Jangan sakit."
Sial. Mata gue berat seketika mendengar suara itu, tapi lidah gue kelu seakan gak bisa membalas. Tubuh gue kaku. Ketika otak gue memerintah buat mengakhiri panggilan, hati gue menahan dan meminta buat bertahan. Seenggaknya, rindu gue sedikit terbalas karena mendengar suaranya.
"The, selama dua minggu ke depan, gue akan tugas ke luar kota. Semoga waktunya cukup untuk gue membuat keputusan yang tepat buat gue, buat lo dan buat kita." Ya Tuhan, kenapa mata gue kembali berair?!
"Gue sayang lo, The. Sayang banget dan gue gak tahu harus gimana ngungkapinnya. Gue pengecut. Gue terlalu takut membayangkan hal-hal buruk yang akan terjadi saat gue dan lo melebur jadi kita dan gak sembunyi-sembunyi lagi. Gue mau yang terbaik buat lo, The. Gue gak mau lihat lo menderita. Gue gak mau lihat lo sedih."
Gue menggigit bibir bawah, menengadah ke langit-langit berharap air mata gue mengering. Dada gue sesak dengar ucapan Athaya. Sakit dan harusnya gue paham. Emang, berhubungan dengan dia bukan hal yang baik. Terlalu banyak konsekuensi.
"Gue udah info Pak Imam buat selalu sediain sarapan di meja lo, semoga besok lo udah membaik dan bisa bekerja kayak biasa. Setelah ini, kalau lo mau blokir nomor ini juga gak apa-apa. Gue mau lo bahagia."
Sial. Sial. Gue nangis kejer. Athaya mengakhiri panggilan begitu saja dan bikin gue membanting HP ke ranjang dan menangis sejadi-jadinya.
Kenapa harus gini, sih, Tha? Kayaknya baru kemarin gue ngerasa jadi manusia paling bahagia. Kita bahkan belum memulai semuanya. Kenapa harus berakhir kayak gini? Kenapa, Tha? Apa seburuk itu saat gue dan lo bersama?
💧
Gaes, tiap selesai ngetik aku langsung post biar afdol wkwk jadi, maap kalo masih banyak typo atau gak jelas karena blm kuperiksa. Semoga dapat menghibur di masa karantina ini.
Terima kasih masih berkenan membaca :)
23 Maret 2020
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top