15 Permainan Takdir
LATHEA
Hari ini, gue memutuskan untuk gak masuk ke kantor. Gue bilang ke Nyokap-Bokap kalau gue gak enak badan, begitu pun alasan yang gue sampaikan ke Bu Maria. Sebenarnya, gue gak bohong-bohong amat. Gue emang gak enak badan. Kayaknya, gue demam. Ditambah, mata gue sembab banget. Gue coba kompres pakai air es sejak satu jam lalu dan masih belum hilang.
Semalam, tangis gue semakin menjadi-jadi setelah teleponan sama Athaya. Ada rasa senang waktu dia bilang dia punya rasa sama gue, tapi di lain sisi, dengan keadaan kayak gini, gue sedih setengah mati membayangkan gimana kelanjutan hubungan gue dan dia yang gak kunjung jelas.
Gue sayang Athaya, sayang banget. Bahkan, gue pengin dia ada di tiap langkah hidup gue, untuk sekarang dan di masa yang akan datang. Selamanya, kalau bisa. Tapi gue udah kalah duluan begini sebelum memulai semuanya. Bodoh banget, sih.
Sekarang, gue takut untuk ketemu dengan Athaya. Gue takut berpapasan sama dia dan mata gue bakal berkaca-kaca, lalu akhirnya tumpah dan gue terlihat bodoh di depannya. Semua orang bakal ngelihat gue dan menghina gue cewek murahan yang mencoba menggoda sang manajer idaman. Intinya, gue hanya akan mempermalukan diri sendiri saat berhadapan dengan Athaya nanti.
Gue gak siap ketemu Athaya, tapi gue gak bisa begini terus. Gue dan dia satu tempat kerja. Emang salah, sih, melibatkan perasaan gini sampai gue bertingkah gak profesional. Seharusnya, gue lebih bisa menahan diri.
"Thea, Mama sama Papa ke rumah Om Ridwan, ya. Pulang malam. Di meja makan ada sayur lodeh sama ayam goreng. Jangan lupa minum obat."
Suara Nyokap terdengar dari luar kamar dan gue menghela napas sebelum menjawab keras, "Iya, Ma, Pa. Hati-hati!" Om Ridwan itu adik Nyokap gue yang sekarang lagi sakit stroke. Makanya, Nyokap-Bokap sering jenguk mengingat yang ngurus Om Ridwan cuma istrinya sendiri.
Gak lama kemudian, gue dengar suara pintu pagar yang terbuka dan suara mobil Bokap yang menandakan jika mereka telah berangkat. Gue bangkit dari ranjang tempat gue berdiam diri dari semalam. Gue melangkah menuju ke cermin di pintu lemari gue dan menatap pantulan bayangan setengah tubuh gue.
Hancur parah. Jelek. Buruk rupa. Yang kayak gini masih berharap bisa berdampingan dengan seorang pangeran kayak Athaya Rasi Gaputra? Mimpi lo ketinggian, The.
Kaki gue baru hendak melangkah ke dapur buat ambil minum−kerongkongan gue berasa kering, jangan sampailah gue radang−saat HP gue berdering. Sebenarnya, HP gue udah berdering sejak tadi, tapi gue terlalu malas buat pegang HP dan lihat siapa yang ngehubungin gue.
Akhirnya, gue melangkah menuju ke nakas tempat HP gue diletakkan semalaman. Gue meraih HP dan mendapati banyak pemberitahuan di sana. Terlebih lagi grup kantor dan grup divisi gue. Gue hanya membaca sekilas pesan terakhir di grup itu sebelum membuka pesan-pesan personal lain yang masuk. Salah satunya dari Levi, tepat dikirimkan satu jam lalu.
Thea, lo sakit? Cepat sembuh, ya! Gue mau jenguk nanti sore, boleh?
Gue terkekeh membaca pesan konyol dari Levi tersebut sebelum membalas dengan cepat, Gak usah, Lev. Lo istirahat aja biar gak ikut-ikutan sakit.
Mata gue mengerjap beberapa kali setelah selang beberapa detik pesan gue terkirim, status WhatsApp Levi tergantikan dengan online dan dalam waktu cepat, dia sudah membalas pesan gue.
Tapi kan, kemarin gue yang terakhir ketemu lo. Pengin memastikan lo baik-baik aja, gitu, The.
Senyum gue merekah dan tak lama kemudian memudar. Demi apa pun, Levi memberikan semua perhatian yang selalu gue harap Athaya berikan ke gue. Sedih, sih, kalau menyadari hal ini. Levi cepat tanggap akan perasaan gue. Dia gak pernah buat gue nunggu lama. Dia berani memperlihatkan ke siapa pun akan kedekatan kita, tanpa takut akan omongan orang lain.
Sedangkan Athaya? Kebalikannya.
Gue baru mengetik balasan untuk Levi saat pesan lain muncul dalam pop up di layar ponsel gue dan gak sengaja, gue langsung membuka pesan tersebut. Mata gue terpejam sekilas, gue menghela napas.
Pesan dari Athaya.
Maafin gue, Lathe.
Tanpa pikir panjang, gue mengabaikan pesan itu dan memutuskan untuk memblokir nomor Athaya, menghapus riwayat pesan gue dan dia selama ini.
Gue harus sadar diri, kan, di mana posisi gue?
💧
ATHAYA
"Permisi. Mas Atha, tadi pesan kopi pahit?"
Mata gue sontak terbuka mendengar suara itu dan gue tersenyum tipis kepada Pak Imam yang membawakan kopi pesanan gue. "Iya, Pak. Taruh di meja makan aja, ya? Terima kasih."
Pak Imam mengangguk dan meletakkan secangkir kopi pesanan gue di atas meja makan kaca yang memang ada di setiap ruangan manajer. Pak Imam beralih menatap gue, mendekap nampan di dadanya. "Mas, maaf. Tadi aqua sama Sari Rotinya udah di taruh di meja Mbak Lathea, tapi katanya, Mbak Lathea gak masuk. Sakit."
"Oh, iya, ya?"
Lagi, Pak Imam mengangguk. "Iya. Katanya begitu."
Gue tersenyum tipis dan mengangguk. "Oke, Pak. Terima kasih banyak, ya, informasinya. Nanti saya coba hubungin dia. Sekali lagi terima kasih banyak, Pak."
"Saya permisi, Mas Atha."
Pak Imam pergi meninggalkan gue sendirian lagi di ruangan. Pak Imam, mungkin salah satu orang yang gue bisa percaya ngejaga rahasia hubungan gue dan Lathea. Ah, hubungan? Hubungan apa emangnya? Gue gak ada hubungan apa pun sama Lathea. Cuma sekedar dekat, saling nyaman sebelum akhirnya, sehancur sekarang karena bodohnya gue.
She blocked my number, my WhatsApp and now, I am scared she will block me from her life.
The, andai lo tahu, bukan cuma lo yang terluka atas semua ini. Gue juga, The. Sangat terluka dan gue gak tahu harus berbuat apa.
Gue gak bisa tidur semalam, pikiran gue gak bisa berhenti memikirkan Lathea. Gue tunggu dia pagi ini di stasiun, tapi dia gak kunjung muncul. Gue telepon dan kirim banyak pesan, gak ada yang dibalas sebelum akhirnya, dia blokir gue. Gue bahkan beralasan pekerjaan biar bisa ketemu, tapi yang gue dapati malah kabar kalau dia gak masuk kantor. The, lo nyiksa gue, tahu?
Pikiran gue masih belum sepenuhnya bisa dikendalikan saat ketukan pintu terdengar. Pintu ruangan gue terbuka dan seorang Januar Pahlevi memasuki ruangan gue dengan gontainya, membawa sebuah buku besar seukuran A3 yang bisa gue pastikan adalah sebuah masterplan project.
"Sori, kalau mau ngomongin proyek, lo bisa ke asisten manajer gue. Gue lagi gak bisa diganggu hari ini."
Levi memutar bola matanya dan emang dasarnya dia kurang ajar, dia menaruh kasar masterplan itu di atas meja kerja gue dan menarik kursi di hadapan gue. "Enggak, lah. Ngapain gue ngomongin proyek sama lo. Ini alibi doang biar gue bisa ketemu lo. Habis, staf lo pada rese bilang lo gak bisa diganggu."
Gue menghela napas. "Lo mau ngomongin apa?"
Senyuman miring muncul di bibirnya. "Tentang kemarin."
Gue bungkam, Levi melipat tangan di depan dada dengan kaki yang juga terlipat seakan dia lupa kalau gue tetap seorang atasan di sini. Ah, udahlah. Gue juga udah gak peduli dengan jabatan gue sekarang. Jabatan yang bikin hidup dan pikiran gue kacau dengan banyaknya beban.
"Gue mau laporan. Lo bikin cewek nangis semalaman. Untung ada gue. Gue kasih pinjam punggung gue buat bersandar. Gue ajak dia jalan-jalan nenangin pikiran." Gue tersenyum tipis mendengar ucapan Levi. Seharusnya, gue yang ada di posisi itu, bukan lo, Lev.
Levi beralih menatap gue lekat, menghela napas. "Tha, gue mau ngajakin lo berdamai dengan masa lalu. Lupain semua. Tentang gue, tentang lo, bahkan tentang Kayla. Lupain semua itu dan bisa, gak, sih, kita bertingkah normal tanpa harus menghindar atau sinis ke satu sama lain?"
Senyuman sinis muncul di bibir gue. "Kayla... Gimana bisa gue lupa akan semua yang terjadi antara lo, gue dan Kayla, Lev?" Gue balas menatap Levi, lekat.
"Kayla udah bahagia di surga sana, Tha. Dia mau kita juga menikmati hidup di dunia dengan bahagia."
"Bukan tentang kebahagiaan Kayla di surga, Lev. Tapi apa penyebab kematian Kayla dan gue akan selalu dihantui rasa bersalah oleh itu dan selamanya, gue gak akan lupa bagaimana lo menutupi semuanya." Gue bicara cepat, dengan satu tarikan napas.
Levi memejamkan mata sekilas. "Dia cinta banget sama lo, Tha. Lo harus tahu, satu-satunya nama yang dipanggil sebelum dia menghembuskan napas untuk terakhir kalinya adalah nama lo. Bukan gue. Bukan siapa pun."
"Dia gak bakal meninggal jika bukan karena kecelakaan sialan itu dan gue adalah penyebabnya."
Kecelakaan sialan beberapa tahun lalu yang melibatkan gue dan Kayla. Gue yang nyetir mobil saat itu dan mobil yang gue kendarain hilang kendali sebelum nabrak sebuah ruko. Gue sempat koma selama seminggu sementara, Kayla dinyatakan luka ringan. Haha, itu kata orang-orang yang nyembunyiin kondisi Kayla yang sebenarnya. Ada kerusakan parah di otak Kayla dan gue baru tahu semua itu setelah cewek itu meninggal, dengan kondisi gue benci dia setelah dia membuat drama perselingkuhan dengan Levi yang gue tahu suka sama dia. Drama sialan.
Lebih sialan lagi saat gue seakan mengikuti alur drama itu dengan menjalin hubungan dengan Aurora yang jelas-jelas musuh bebuyutan Kayla. Bikin Kayla tambah down sebelum akhirnya...ninggalin gue untuk selama-lamanya.
"Lo terlalu mudah menyimpulkan sesuatu, Tha, tanpa pikir panjang." Levi tersenyum sinis, melipat tangan di depan dada kembali, "Tanpa mau cari kebenaran atas semuanya, tanpa mau nerima alasan yang sebenarnya. Lo gak bisa memaafkan. Bahkan diri lo sendiri dan nerima semuanya dengan ikhlas."
"Kalau lo ke sini cuma mau ngomongin masa lalu yang udah sebisa mungkin gue hiraukan, mending lo pergi dan kembali kerja."
Lagi, Levi memperlihatkan senyum tengilnya. "Enggak, sih. Bukan itu intinya. Gue yakin, lo cukup dewasa dan tahu bagaimana harus memutuskan." Levi bangkit berdiri, meraih masterplan yang tadi dia bawa sebelum lanjut berkata, "Kalau lo terus begini, jadi pengecut yang selalu dibayang-bayangin orang lain, jangan salahin gue kalau masa-masa di mana cewek yang lo suka berpaling ke gue akan datang. Bedanya, kalau dulu, Kayla berpaling ke gue karena mau jaga perasaan lo, sekarang, sih, enggak. Beda kasus. Harusnya, sih, berpaling beneran."
Gue menatap dia sinis, tajam dan dia masih dengan santainya mempertahankan senyum sialan itu.
"Levi dan Lathea. Cocok juga, ya? Double L."
Levi membentuk huruf L dengan ibu jari dan jari telunjuknya sebelum mengedipkan sebelah matanya kepada gue dan pergi begitu saja, meninggal gue sendirian di ruangan yang lagi-lagi tergugu dengan keadaan.
💧
LEVI
"Rokok mulu, Lev."
Gue tersentak mendengar suara itu, gue menarik rokok dari sela-sela bibir gue dan menoleh. Waw. Gila, sih. Ini gue mimpi atau apa?
"Rora?"
Gue menyebut nama itu, membuat si pemilik nama tersenyum dan melangkah mendekati gue, duduk di samping gue tanpa takut akan asap rokok yang masih mengepul. Cewek cantik semampai yang dulu−lagi-lagi−pernah terlibat dalam drama gue, Kayla dan Athaya.
Aurora Joanna, dulu berperan sebagai cewek yang mengambil kesempatan dalam kesempitan. Dia yang dekat sama Athaya setelah Athaya putus dari Kayla−padahal, semua semata ide Kayla yang gak mau buat Athaya merasa bersalah atas apa yang dia derita. Gue gak tahu, deh, apa masih ada cewek dengan hati selembut Kayla di dunia ini.
"Long time no see, Lev."
Mata gue memicing. "Lo beneran Aurora?"
Aurora terkekeh dan memang dengan gaya elegan yang gak berubah sedikit pun, dia ngambil satu batang rokok gue, menyulut ujungnya dengan ujung rokok gue yang membara, lalu menyelipkan di sela-sela bibirnya. "Ya, ini gue, Lev. Lo pikir siapa?" Dia terkekeh.
"Ngapain lo di sini?"
Aurora mengerucutkan bibir. "Kenapa, sih, Lev? Kayak gak suka gitu. Kan, kita udah lama gak ketemu. Harusnya, lo kasih gue sambutan dengan pelukan hangat." Aurora tersenyum dibuat-buat, gue terkekeh geli.
"Gak, ah, males." Gue menyelipkan rokok di sela-sela bibir gue sebelum kembali bertanya, "Seriusan. Lo kenapa ada di sini?"
Aurora tersenyum lebar. "Mau CLBK sama Athaya."
Mata gue melotot. "Ngelawak?"
Aurora dengan santai menggelengkan kepala. "Enggak, sih. Emang beneran. Siapa tahu masih ada benih-benih cinta gue di Athaya jadi kita bisa balikan. Sumpah, deh, Athaya makin tua makin hot. Lo gini-gini aja, sih, Lev?"
Gue mendengus. "Sialan. Ya, beda, lah, gue sama dia. Gue gak berubah, kan? Awet muda."
"Enggak, lo masih dekil kayak dulu."
"Anjir."
Aurora terkekeh geli mendengar umpatan gue. Dia kembali menghirup asap rokoknya sebelum berkata, "Gue dikasih kerjaan gitu dan entah apa yang terjadi, sepertinya takdir mempertemukan gue dengan Athaya. Hari ini, gue mau kasih surprise ketemu sama dia, tapi kata staf-nya, dia lagi gak bisa ditemuin."
"Lagi patah hati dia."
Mata sipit Aurora melotot. "Hah? Iya? Anjir, siapa yang berani bikin Athaya sakit hati? Sini maju! Hadapin gue!"
"Heh, lo gak ada tandingan apa-apa sama cewek yang dia taksir, jadi mundur aja udah."
"Ih, kok, gitu?" Aurora mengerucutkan bibirnya, melipat tangan di depan dada.
Gue baru sadar, ada banyak hal yang gue lewatkan semenjak drama gue, Kayla dan Athaya. Termasuk dengan seseorang yang juga pernah hadir menyapa di hidup gue dan orang itu ada di dekat gue sekarang, masih dengan sikap yang sama persis, tanpa banyak perubahan.
Ini...takdir lagi permainin gue dan Athaya atau apa?
💧
Halo, gaes!
Awalnya, aku gak ada ide buat lanjut ini cerita, tapi selama masa karantina, bosen banget gak ngapa-ngapain jadi aku mutusin buat baca ulang dan coba lanjut sebisaku. Aku work from home sampai tanggal 5 April dan gak tahulah gimana lagi cara menghilangkan bosen di rumah selain kembali ke dunia wattpad :')
Sedih banget sama pandemik Covid-19 ini. Gimana keadaan kalian? Semoga kalian dan keluarga selalu berada dalam lindungan Tuhan dan dijauhin dari virus ini. Serius. This covid-19 need to stop asap. Gak kuat harus berlama-lama di rumah. Gak kuat liat mereka yang jadi saling curiga satu sama lain cuma karena batuk. Gak kuat liat mereka yang ketakutan. Gak kuat lihat mereka yang kehilangan. Semoga semua ini cepat berakhir. Aamiin ya Rabb.
Teman-teman, maaf, ya, kalo ini ngaco parah. Ngetik seadanya. Semoga sedikit bisa menghibur masa karantina kalian.
Terima kasih masih berkenan membaca :)
21 Maret 2020
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top