06 Kencan Pertama
LATHEA
Seumur-umur, gue belum pernah segugup ini saat mau ketemu seseorang. Umur gue emang udah dua puluh empat tahun, tapi pengalaman percintaan gue sangat minim. Gue belum pernah jalan berdua sama cowok yang gue suka. Maksudnya, benar-benar berdua. Cuma gue dan dia. Biasanya, tiap gue suka cowok, pasti cowok itu naksir teman gue dan pada ujungnya, gue bakal patah hati. Kali ini, gue berusaha memberanikan diri berkutat dengan rasa minder gue buat maju melangkah bersama orang yang gue suka.
Gue buat pengakuan. Iya, gue suka Athaya dan semua sikap manisnya ke gue, selama ini. Gue berusaha nahan rasa suka gue, tapi mana bisa? Emang, ya. Cowok kayak Athaya itu...hard to resist.
"Mau ke mana, The?"
Shit. Gue nyaris lompat saat dengar suara itu, ketika gue baru keluar dan hendak nutup pintu kamar. Gue memejamkan mata sekilas dan berbalik, mendapati Nyokap yang berdiri dengan daster bunga-bunga kesayangannya, natap gue dengan penuh kecurigaan.
"Mau main, Ma."
"Main sama siapa?" Seperti biasa, Nyokap pasti akan menanyakan hal itu, meskipun dia tahu gue gak punya banyak teman.
"Teman, Ma."
Nyokap anggukin kepala dan gue meraih tangannya, mengecup punggung tangannya bersamaan dengan dia yang bilang, "Hati-hati. Jangan balik larut malam."
Gue mengangguk paham. "Iya, Ma. Besok, kan, kerja." Gue tersenyum tipis, "Thea pergi, ya, Ma."
Setelah berpamitan, gue melangkah ke luar dari rumah, menuju ke depan warung yang jadi titik jemput gue tiap pesan Go-jek. Rumah gue emang gak kelacak di Google Maps, gak ada lokasi yang spesifik kecuali warung klontong satu ini. Namanya Warung Pak Slamet. Gojek pesanan gue datang setelah lima menit gue nunggu, Gojek yang akan bawa gue ke Stasiun Depok, tempat biasa gue naik kereta. Nantinya, gue hanya melewati dua stasiun dan berhenti di Stasiun Pondok Cina, yang terdekat ke Margocity Depok.
Jarak dari rumah gue ke Stasiun Depok dengan Gojek hanya sekitar sepuluh menit dan sesampainya di Stasiun Depok, gue segera melangkah ke peron arah Jakarta-Kota atau Angke. Commuter line belum datang dan gue terus menarik napas, menghelanya perlahan. Seriusan, deg-degan banget gue. Sesekali gue ngaca di layar HP, berusaha memastikan penampilan gue. Duh, ini gue berlebihan atau kurang, ya? Gue gak pernah percaya diri sama penampilan gue sendiri.
Semalaman gue mikir mau pakai baju apa buat ketemu Athaya dan akhirnya, pilihan gue jatuh pada sweatshirt hitam gue yang dipadupadakan dengan jeans warna biru dongker. Gue pakai sepatu hitam dan ngebiarin rambut panjang yang gue cat kecokelatan terurai begitu aja. Hari ini, gue pakai bedak dan lipstick warna merah muda. Gue malu-maluin gak, sih? Gimana kalau Athaya ilfeel lihat penampilan casual gue?
Kecemasan gue sedikit buyar saat mendapat pesan masuk baru dari Athaya. Well, cowok itu gak berhenti kirimin gue pesan dari pagi tadi, cuma sekadar mengingatkan kalau gue ada janji sama dia. Bawel, tapi ngegemesin. Bikin gue salah tingkah.
Udah di mana, Lathe? Gue udah di Stasiun Pondok Cina.
Di saat gue hendak mengirim balasan, speaker di stasiun mengumumkan kedatangan kereta yang akan gue tumpangi. Gue tersenyum tipis, bersamaan dengan kaki gue yang melangkah memasuki kereta, gue mengirimkan balasan ke Athaya.
Tunggu, ya. Gue baru naik kereta.
Status online di bawah nama kontak Athaya, tergantikan cepat dengan is writing. Dalam waktu kurang lebih satu menit dari pesan gue, Athaya mengirimkan balasan yang buat gue sebisa mungkin nahan tawa.
Gue yang paling kinclong, ya. Tinggi sekitar 184 cm dan pakai kaos polo, Pokoknya paling ganteng.
Gue gak balas pesan dari Athaya dan memilih untuk mencoba menormalkan kondisi hati gue yang ambyar. Gue mandangin pemandangan di luar kaca sana hingga akhirnya, kereta berhenti di Stasiun Pondok Cina. Debaran jantung gue semakin gak terkendali begitu gue melangkah turun dari kereta. Gue mejamin mata sebelum berbalik, menunggu kereta berangkat. Setelah kereta berangkat, barulah gue menahan napas dan mulai mencari sosok tinggi yang mengaku paling ganteng itu. Haha, emang iya, sih. Selama gue naik kereta, Athaya adalah penumpang terganteng yang pernah gue temui.
Benar-benar gak sulit menemukan Athaya. Nyatanya, cowok itu memang paling menonjol di antara penumpang yang lain. Dia berdiri persis di seberang peron gue dengan kepala tertunduk dan mata yang tertuju pada HP-nya. Dia tinggi dengan rambut hitam legam yang sangat kontras dengan warna kulit. Ditambah, dia pakai kaus polo putih dan jam tangan yang udah pasti gak murah. Dia pakai jeans dan ini pertama kalinya gue lihat dia pakai jeans. He looks fine as hell. Gila, sesederhana itu, terlihat jelas cowok berkelas.
Udah berapa lama gue mandangin Athaya, tanpa ada niat sedikit pun buat nyamperin sampai ponsel gue bergetar. Athaya ngehubungin gue dan mata gue gak teralihkan dari sosok tinggi di seberang gue. Bersamaan dengan gue yang angkat panggilan darinya, mata Athaya berhasil bertemu dengan mata gue. Cowok itu melambai dan dari sambungan telepon, gue bisa dengar suaranya berkata, "Akhirnya, ketemu."
Panggilan gue akhiri dan gue kasih isyarat Athaya buat ngikutin gue. Gue dan dia sama-sama melangkah ke pintu ke luar stasiun dari arah peron tempat gue turun dan setelah tap out, barulah gue dan dia saling menatap satu sama lain sebelum refleks saling tersenyum. Lemes gue, sumpah.
"Oleh-oleh buat lo," Athaya memecah keheningan, menyodorkan sebuah paper bag. Gue ambil paper bag itu dan baru hendak membuka isinya, namun suara Athaya membuat gue menoleh kembali ke cowok tinggi itu yang kini menggaruk tengkuk lehernya, "Buka di rumah aja. Jangan di hadapan gue."
"Lo ngajak gue ke sini buat ngasih oleh-oleh, kan? Terus udahan?"
Athaya terkekeh dan tangannya bergerak mengelus puncak kepala gue. Kegiatan rutin yang beberapa hari belakangan gak gue dapati. "Enggaklah. Kan, gue udah bilang ke lo. Gue mau naik tahap."
Gue gak mau terlalu percaya diri, tapi maksudnya dia naik tahap itu...ah, udahlah.
"Ayo! Kita ke Margocity lewat mana?" Athaya terlihat sedikit bersemangat, atau mengalihkan pembicaraan karena dia lihat gue yang kebingungan.
Gue ketawa kecil. "Jalan kaki mau? Sekitar tiga ratus meter ada."
"Tiga ratus meter doang? Ya, udah. Ayo! Lo yang jalan di depan, tunjukin jalannya. Gue gak tahu."
Gue mangut-mangut nahan tawa, lalu mulai melangkah sedikit di depannya menuju ke Margocity yang sebenarnya berjarak lumayan dari Stasiun Pondok Cina, tapi sepanjang perjalanan, Athaya terus ajak gue ngobrol. Dia cerita tentang apa yang dia lalui di Singapura., selancar itu dia bercerita dan duh, gue senang dengar suaranya. Apalagi kalau dia ketawa. Ambyar.
"Kata lo dekat."
Napas Athaya sedikit terengah-engah saat langkah kaki gue dan dia akhirnya tiba di lobi Margocity. Gue ketawa. "Gue gak bilang dekat. Gue cuma bilang tiga ratus meter." Gue juga capek, sih. Sedikit. Nyatanya, gue cukup menikmati perjalanan gue dan Athaya ke Margocity, gak berasa dan tiba-tiba sampai.
"Keringetan, deh, nih gue. Lepek."
Lagi, gue ketawa kecil dengar keluhannya. Athaya mengibaskan kaos polo putihnya yang memang sedikit basah oleh keringat. Tapi dia masih kelihatan sempurna, masih wangi pula kayak habis mandi parfum semalaman. Suka heran. Kenapa parfum betah lama-lama bertahan di tubuh cowok, tapi enggak betah di tubuh cewek?
"Gue gak bawa tissue." Gue mencicit kecil, buat dia noleh dan menggeleng. Seriusan, itu keringat mengalir di dahinya, minta banget dielapin.
Setelah merasa lebih baik, Athaya menegakkan tubuh dan tersenyum kepada gue. "Gak apa-apalah. Nanti main di dalam mall juga hilang kena AC. Ayo, masuk. Sini, samping gue. Jangan jauh-jauh." Kali ini, gue dan dia melangkah berdampingan memasuki salah satu mall besar di kota Depok tersebut.
"Eh, kita mau ke mana dulu?" Langkah gue dan Athaya berhenti persis di depan pintu masuk Starbucks. Athaya menggeleng-gelengkan kepala. "Gue bingung, nih. Lo kalau ditanya terserah mulu jawabannya. Gue baru pertama kali ke sini. Jadi, kita mau ngapain ke sini?"
Gue menghela napas. "Gue gak tahu. Kan, lo yang maksa gue buat ke sini mau ngasih oleh-oleh. Harusnya tadi di stasiun aja, terus balik."
Bibir Athaya mengerucut. "Mana bisa gitu? Ya, kali, gue rela-relain naik kereta dari rumah gue di Mangga Besar ke Depok cuma buat antar oleh-oleh? Ada Gosend padahal."
"Ya, terus gimana? Lo, kan, yang ngajakin. Gue ngikut aja."
"Niatnya, gue mau kencan sama lo hari ini. Yang pertama."
Sial. Nyesal gue nanya. Sekarang, jawabannya bikin jantung gue kembali deg-degan.
"Mau nonton bioskop gak? Terakhir gue nonton, itu waktu gue masih kuliah. Sekarang, udah gak pernah."
Satu alis gue terangkat. "Lo mau nonton apa?"
Athaya terkekeh. "Udah gue duga lo bakal balik nanya. Ya, udahlah. Nanti minta rekomendasiin Mbak-mbak penjual tiket aja kali, ya?"
Gue ikut terkekeh. "Boleh, lah."
Setelahnya, gue dan Athaya melangkah menuju ke eskalator yang bawa langkah kaki kita ke Cinema XXI. Athaya gak main-main waktu bilang dia mau nanya ke penjual tiket tentang film yang akan ditonton. Risih, sih, gue lihatnya. Seriusan. Gue penasaran. Cewek mana yang gak risih kalau cowok yang lagi ada di dekatnya terus-terusan dipandangin cewek lain dengan tatapan yang...pokoknya, kayak pengin gue colok itu matanya.
"Nih, katanya film ini seru banget."
Athaya menunjukkan dua tiket bioskop ke gue yang emang nunggu sambil sesekali natap sinis si Mbak-mbak petugas tiket. Film horor. Anabelle. Gak tahu yang keberapa, tapi gue nonton film-film sebelumnya dan gue yakin, ini antara lanjutan atau sekuel dari film itu.
"Horor?"
Athaya mangut-mangut. "Iya. Masih tiga puluh menit lagi, sih. Gak apa-apa, kan?" Haha, tangannya penuh megang pop corn ukuran besar dan dua minuman gelas.
Gue nahan tawa. Tangan gue ngambil pop corn dan salah satu minuman dari tangan Athaya yang terkekeh geli. "Kalau susah bawa, ya, bilang. Gak usah sok-sokan." Gue berujar ketus, tapi gue tahu, Athaya gak bakal tersinggung dengan semua ucapan sinis gue ke dia.
"Kan, biar kelihatan strong gitu. Masa minta dibawain cewek?"
"Sok."
"Biarin," Athaya menjulurkan lidahnya kepada gue sebelum melirik kanan kiri, mencari sofa tunggu yang kosong. Dia menunjuk ke salah satu sofa dengan dagu lancipnya, "Eh, tunggu di sana aja, ya? Pegel pasti tangan megang beginian."
Gue nurut dan kita berdua melangkah ke salah satu sofa yang kosong. Gue dan Athaya duduk berdampingan, masing-masing meletakkan bawaan di atas meja. Athaya cuma bawa paper bag yang tadi dia kasih ke gue, yang isinya oleh-oleh. Gue baru sadar. Dia gak bawa tas. Dompet dia taruh saku celana jeansnya dan HP di saku yang satunya lagi. Demi, ini orang sengaja jadi target copet atau apa?
"Lo gak bawa tas? Itu dompet sama HP ditenteng begitu doang?"
Athaya mengangguk. "Iya, ribet soalnya."
"Lo naik kereta, loh, Tha. Mau dicopet?"
Athaya mengedikkan bahu, terlihat sangat santai. "Ya, gak apa-apa, sih. Bisa beli baru."
Gue tercengang mendengar jawabannya. "Gila. Anak sultan." Gue menggeleng-geleng gak percaya.
Athaya tertawa lagi, entah untuk keberapa kali. "Gak apa-apa kehilangan barang kayak gini. Asal gak kehilangan momen bareng lo aja. Ini baru langka dan gak boleh sampai kelewat."
Duh, ini cowok satu emang paling bisa bikin gue salah tingkah. Jago banget ngalusnya, lancar kayak jalan tol dan straight to my heart. Gimana gue gak berharap lebih coba?
"Lo senang, ya, Tha, ngeribetin diri sendiri? Pakai bawain gue sarapan tiap pagi. Sekarang, antar oleh-oleh aja sampai harus begini."
Napas gue tertahan saat Athaya tersenyum lembut, seriusan, dah. Ini orang bahaya banget buat jantung, hati dan otak gue. Mendadak kayak gak berfungsi tiap di dekat dia.
"Gue mau ketemu lo. Secara langsung, tanpa ada pembatas."
Gue balas tersenyum simpul. Gue paham, pembatas apa yang dimaksud. Suasana kantor? Orang-orang kantor? Miris.
"Lo yang buat pembatas itu sendiri." Lancang gak, sih, gue jawab begini?
Senyum di bibir Athaya lenyap, pemuda itu tampak berpikir selama beberapa saat dan gue merasa bersalah. Buru-buru gue mengoreksi ucapan gue sendiri. "Eh, bukan begitu. Maaf, ya. Gue gak maksud apa-apa. Ya, emang harusnya begini, kan?"
Mata tajamnya kembali menatap gue, lebih lembut. Tangannya tiba-tiba bergerak, mengelus puncak kepala gue dan dia tersenyum. "Gue mau yang terbaik buat lo, tanpa harus ngehambat lo."
Maksudnya, peraturan sialan di kantor yang melarang karyawan punya perasaan ke satu sama lain? Maksudnya, ocehan sialan para pegawai yang dengan seenaknya ngejodohin gue sama ini dan lo sama itu? Maksudnya, pertemanan sialan di kantor yang bakal beralih jadi musuh saat gak lagi satu pemikiran?
Gue gak tahu, mana maksud yang benar dari ucapan Athaya, tapi gue paham. Gue dan dia hanya bisa bersembunyi, hingga salah satu dari kita menyerah. Iya, menyerah dan resign dari kantor atau menyerah dan pergi dari sisi salah satu.
Bahasa gue ketinggian, ya? Berasa gue sama Athaya ada apa-apa, padahal gak ada apa-apa.
"Eh, gue pesannya lemon tea. Lo suka, kan?" Athaya mengalihkan pembicaraan.
Gue mengangguk. "Suka."
"Habis nonton, kita makan, ya? Lo lagi mau makan apa?" tanya pemuda itu, membuka kotak pop corn yang berada di atas meja dan memakan pop corn itu. "Eh, gak jadi nanya, deh. Lo pasti jawab terserah."
Gue ketawa. "Itu lo tahu. Gue ngikut aja, deh."
"Gue lagi mau makan makanan Indonesia."
"Ya, udah. Setuju."
Athaya menatap gue lekat, selama beberapa saat sebelum tertawa dan membuat gue bingung sendiri atas tawanya. Gue melipat tangan di depan dada, menunggu dia berhenti dan dia tersenyum simpul natap gue, "Makan yang banyak nanti, oke? Lo itu kurus banget, Lathe. Harus banyak-banyak makan."
"Gue gak ngerasa kurus."
Mata sipitnya memicing. "Gak kurus? Duh. Sumpah, deh. Lo kurus banget, Lathe. Kayak tulang ditempel kulit doang."
Gue balas menyipit menatapnya. "Apa lo bilang?"
Entah untuk keberapa kali, tapi Athaya kembali tertawa dan gue senang untuk jadi alasan dari tawanya sedari tadi.
Gue bahagia, lihat dia bahagia.
💧💧💧
Happy Satnight, all.
Semoga kalian mendapat Satnight indah seperti Lathea dan Athaya😌
Buat yang Satnight gak ke mana-mana, mari bergandengan tangan😂
Semoga suka dan gak ngaco yaa part yg ini.
Btw, see you on #EXplOrationInJKT untuk yang Sabtu besok nonton🥰
Terima kasih masih berkenan membaca🥰
16 November 2019
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top