02 Senyuman

ATHAYA

Senin. Hari kesukaan gue, meski pun banyak yang gak suka hari ini. Menurut gue, Senin itu hari baik. Awal dari semua hari, selama seminggu. Hari gue mulai memperbaiki kekurangan-kekurangan yang gue lakukan di seminggu sebelumnya. Hari gue mulai berubah menjadi pribadi yang jauh lebih baik dari sebelumnya. Hari di mana semangat gue sedang berada di puncaknya.

Tapi bohong.

Haha. Enggak, deh. Gue gak sesuka itu sama Senin. Menurut gue, Senin gak ada bedanya dengan hari-hari berikut, hari penuh kerjaan dan penuh beban pikiran. Menguras tenaga, pikiran dan juga emosi, tapi gak apa-apa. Seenggaknya, di sela-sela padatnya hari gue, ada yang bisa gue jadikan energi buat gue tetap semangat.

Cringe parah, tapi yang buat gue suka Senin adalah: karena Senin akan menjadi hari awal gue bisa lihat dia lagi, setelah Sabtu dan Minggu gue hibernasi. Iya, dia. Seseorang yang selama tiga bulan belakangan gue tetapkan sebagai salah satu yang harus gue prioritaskan. Seseorang yang selama tiga bulan belakangan gue tetapkan sebagai motivasi gue untuk tetap bertahan. Seseorang yang jadi mood booster sekaligus mood breaker gue. Seseorang yang selalu bikin gue auto senyum, padahal cuma lihat dia dari jauh.

Gila, sih. Sesuka itu gue sama seorang Lathea Putri Arundana.

Dia staf Akuntansi di perusahaan tempat gue bekerja. Polos dan lugu. Jutek banget, sih, waktu awal pertemu, tapi ah, gue bingung ngasih tahunya gimana. Pengin rasanya gue bilangin ke dia buat gak pernah sembarangan senyum ke cowok. Dia jarang senyum, tapi sekalinya senyum bikin hati gue lemah. Sumpah. Semanis itu senyumnya.

Lathea Putri Arundana.

Gue inget banget waktu dia awal masuk kerja. Kayak anak SMA. Badannya kurus, tapi dia lumayan tinggi untuk ukuran cewek. Gaya-nya lucu. Dia pakai kemeja putih dan celana bahan hitam, dandanannya sederhana banget. Kayaknya, dia cuma pakai bedak dan liptint. Inget banget gue, dia papasan sama gue setelah ke luar dari ruangan Divisi Personalia. Dia nunduk, terus berlalu begitu aja. Wanginya kayak bayi alias bau minyak telon.

Bu Diah ngelilingin dia untuk diperkenalkan ke semua Divisi. Masih melekat diingatan gue. Pas dia diantar ke ruangan gue, gue kasih dia tatapan sinis dari bawah ke atas, tapi wajahnya sedatar itu. Benar-benar datar tanpa ekspresi dan sukses buat gue terkejut. Sumpah, jarang banget ada cewek yang gak keganjenan sama gue. Lah, cewek satu ini? Sekilas mengingatkan gue pada Kak Disa dulu. Bedanya, Kak Disa jutek, nah, cewek ini cuek.

"Siang, saya Lathea."

Suara gugupnya waktu ngulurin tangan ke gue, masih terbayang jelas. Namanya lucu. Lathea. Mengingatkan gue pada minuman kesukaan gue di Starbucks alias coffee latte. Waktu gue jabat tangannya, dingin banget dan akhirnya, karena gak tega, gue mutusin buat cairin suasana dengan senyum sambil perkenalin diri. Nama lengkap, beserta jabatan. "Athaya Rasi Gaputra. Manajer Perencanaan."

Setelahnya, mata gue mengikuti saat Bu Diah mengajak Lathea pergi untuk dikenalkan ke yang lain. Tanpa sadar gue senyum dan masih terlalu dini, sih, tapi gue ambil keputusan buat suka sama Lathea Putri Arundana. Bodo amatlah.

"Mas Athaya, briefing buat besok jangan lupa. Jam 2 siang di tunggu Pak Jefri di ruangannya."

Gue baru melangkah memasuki ruangan Divisi gue setelah menghabiskan dua batang rokok di balkon ketika salah satu Asisten Manajer gue berujar demikian. Gue tersenyum simpul dan mengangguk, "Oke, Mbak Jo. Tolong ingatin saya, ya, nanti."

"Mau makan apa, Mas? Biar saya titip OB nanti."

Gue melirik jam yang tergantung di dinding. Jam satu siang. Hari ini, gak banyak kerjaan yang harus gue lakuin, siap-siap buat besok pergi ke Singapura. Jadi, gue memutuskan untuk menghabiskan waktu makan siang gue di balkon lantai empat, ngehabisin dua batang rokok. Menghilangkan stress.

"Gak usah, Mbak. Saya makan di luar nanti."

Mbak Jo atau lengkapnya Johana mengangguk patuh, lalu kembali fokus pada layar monitornya ketika gue melangkah memasuki ruangan kerja. Gue duduk di kursi singgasana gue, menyandarkan punggung gue pada sandaran kursi, sesekali menggoyangkan ke kanan dan kiri. Mata gue melirik tumpukan dokumen yang belum sentuh sejak Jum'at lalu. Males rasanya, tapi hari ini semua kerjaan gue harus kelar. Biar bisa santai dikitlah di Singapura nanti.

Omong-omong tentang Singapura, sejujurnya gue males. Sengaja banget emang Direksi kirim gue ke sana karena mereka tahu, cuma gue yang bisa diandalin. Bukannya sombong atau apa, tapi emang begitu adanya. Sejak gue jadi seorang manajer, bukan berarti hidup gue lebih baik. Gue jadi manajer kesayangan Direktur Utama yang harus nurutin semua kemauan dia. Sumpah, deh. Pak Pram itu gak paham koordinasi atau apa, ya? Hampir semua kerjaan yang berhubungan dengan Direktorat Pengembangan, dikasih ke gue. Padahal, harusnya dia ngasih ke Pak Jefri selaku Direktur Pengembangan. Kalau kayak gini, gimana gue gak mabok? Enek, lama-lama.

Setelah bengong selama beberapa saat, akhirnya gue mulai duduk tegak dan melihat satu per satu berkas yang ada di meja kerja sampai akhirnya, ada satu berkas di map merah marun alias warna khas Divisi Akuntansi yang buat gue senyum seketika. Iya, di kantor ini, setiap Divisi punya ciri warna khas tersendiri. Contohnya: Divisi Akuntansi dengan warna merah marun dan Divisi gue atau Divisi Perencanaan yang khas dengan warna biru tua.

Tangan gue meraih map merah marun itu dan membuka isinya. Ada beberapa lembar kertas hasil print ikhtisar laporan keuangan yang gue minta tadi pagi dan juga post it dengan tulisan tangan bagus yang gue kenali sebagai tulisan tangan Lathea.

Soft file-nya sudah saya email ke Bapak. Mohon dapat dicek dan koreksi. Terima kasih.

Oke. Gue gila beneran, ini. Segala sesuatu yang berhubungan dengan Lathea, bikin gue senyum-senyum sendiri.

Gue mengabaikan isi pesan yang Lathea tulis di post it dan malah melepas post it, gue simpan di laci paling atas meja gue. Menimpa post it lain yang pernah Lathea kasih ke gue. Gue kumpulin semuanya. Gue simpan sebaik mungkin.

Bukan mengecek email dari Lathea, jari tangan gue bermain di layar HP dan buka aplikasi WhatsApp. Gue scrolling sampai ketemu kontak Lathea. Gue buka percakapan gue dan Lathea. Terakhir gue chatting sama dia, lima hari lalu. Dia balas chat gue yang adalah emoji sedih karena gak ketemu dia di stasiun hanya dengan kata 'hahaha' dan gue gak balas chat itu. Lupa, kayaknya, terus pas mau balas, udah terlanjur kadaluarsa.

Jemari gue mulai mengetikkan pesan ke Lathea, dengan bibir yang gue tahu gak bisa berhenti senyum.

Lathe, gue belum makan siang masa :(

Terkesan manja, sih, tapi gak apa-apa. Gue cuma menunjukkan sisi manja gue ke beberapa orang yang bisa gue percaya, Lathea salah satunya dan kayaknya, dia udah sangat paham dengan sisi manja gue.

Lima belas menit berlalu dan gue menghela napas. Lathea gak juga balas pesan gue, sebisa mungkin gue berpikiran positif. Kayaknya gue ganggu Lathea. Ini, kan, masih jam kerja.

Gue menghela napas pasrah. Ya, udahlah. Gue tunggu sampai dia balas, kalau enggak dibalas juga, mungkin belum rejeki. Eh, enggak bakal gak dibalas, sih. Seorang Lathea pasti bakal balas pesan gue.

💧💧💧

LATHEA

Lathe, gue belum makan siang masa :(

Oke. Pesan itu masuk di HP gue sejak setengah jam lalu dan sampai sekarang gue masih memikirkan harus balas apa. Gue emang selalu berpikir keras buat balas tiap pesan masuk seorang Athaya Rasi Gaputra. Itu cowok gak jelas. Ada kalanya dia spam gue dengan pesan-pesan gak penting. Ada kalanya dia cuma read pesan gue dan baru balas seminggu kemudian. Gak jelas banget, kan?

Sekarang, sengaja gak gue balas cepat. Biar tahu rasa. Pesan terakhir gue lima hari lalu, gak dia balas sama sekali. Padahal, dia yang cerita tentang Mbak Atun yang baru melahirkan, giliran gue tanya anaknya Mbak Atun cewek atau cowok, gak dibalas sama sekali. Kesel.

Eh, tapi gue sadar diri, sih. Athaya itu manajer tersibuk di kantor. Dia tangan kanan langsung Direktur Utama dan jarang banget bertahan di kantor dari absen datang sampai absen pulang. Dia ada di mana-mana. Dia beredar ke manapun. Tugas Athaya cukup berat. Dia harus meyakinkan semua berkas yang sampai di Direksi udah dia koreksi dengan baik, makanya untuk sekedar minta tandatangan atau paraf seorang Manajer Perencanaan, staf aja gak cukup. Harus benar-benar pejabat yang menguasai.

Athaya itu...sangat misterius menurut gue. Dia punya banyak sisi yang bikin gue terkejut bukan main, gak nyangka kalau dia kayak gitu. Nah, isi pesan tadi salah satunya.

Setelah tiga puluh menit lebih gue mengabaikan pesan itu, gue memutuskan untuk membuka aplikasi Gojek di HP gue dan memesan makanan via Gofood. Gue pesanin nasi goreng kambing Kebun Sirih yang katanya enak banget. Gue gak suka kambing, jadi gue gak bisa komentar, tapi si Athaya suka banget nasi goreng itu. Beberapa kali lembur malam, gue suka ketemu staf-nya yang lagi ambil pesanan di lobi pas gue mau pulang. Menunya itu lagi, itu lagi.

Gue menunggu hampir satu jam berikutnya sampai Gojek ngehubungin gue. Gue ke luar ruangan buat ambil pesanan gue itu di lobi. Setelahnya, gue ke pantry di lantai 1 dan minta salah satu OB kepercayaan gue alias Pak Iman. Gue masih menunggu Pak Iman naruh nasi goreng itu di piring buat dihidangkan ke Athaya, saat pintu pantry tiba-tiba terbuka.

Januar Pahlevi masuk ke pantry dengan wajah yang terlihat suntuk bukan main. Padahal, pagi ini gue papasan sama dia, dia kelihatan baik-baik aja. Sekarang, rambutnya berantakan. Mukanya datar. Kemejanya udah lecek gak beraturan. Cowok berkulit tanned itu melangkah menuju ke kursi meja makan dan duduk di sana. Dia melipat tangan di atas meja dan menyembunyikan sisi kanan wajahnya di lipatan meja tersebut. Matanya beredar sebelum berhenti di gue yang masih mematung dekat Pak Iman.

"Ngapain, The?"

Gue nyengir ragu. "Mau bikin teh." Refleks bohong, deh, gue.

"Mau dong, sekalian. Kalau boleh, sih."

Gue mangut-mangut. "Ya, bolehlah. Tunggu." Gue berbalik dan menuju ke lemari berisikan teh dan kopi sambil ngasih isyarat ke Pak Iman buat segera antar nasi goreng itu ke Athaya. Terpaksa, gue benar-benar buat dua cangkir, satu buat gue dan satu buat Levi. Padahal, gue gak begitu suka teh.

Levi menegakkan duduknya saat gue meletakkan cangkir teh di hadapannya. Dia tersenyum dan menyeruput perlahan the tersebut sebelum akhirnya berkata, "Makasih banyak, Lathea."

Tangan gue menarik kursi yang berhadapan dengannya. "Sama-sama."

Sekali lagi, Levi menyeruput teh itu dan meletakkan cangkirnya di atas meja. "Capek banget gue. Habis debat sama kontraktor. Bikin emosi."

Gue mengerjapkan mata. "Sabar, ya." Jelas-jelas gue bukan penasihat yang baik.

Levi mengangguk. "Iya, gue udah sabar banget, malahan. Tapi tetap aja dia ngajak ribut. Bahkan sampai Pak Robi turun tangan buat misahin gue dan orang itu." Robi adalah nama asisten manajer di Divisi Pembangunan. Levi kembali melipat tangan di atas meja dan menyandarkan dagunya di lipatan tangan tersebut, tapi matanya menatap lekat ke gue. "Lo lagi bete di ruangan, ya? Makanya ke sini?"

Gue nyengir. "Ya, begitulah," Gue menyeruput teh gue, sambil mengalihkan pandangan dari Levi yang masih natap gue lekat. Gila, sih. Levi, kan, terkenal dengan senyuman dan tatapan maut. Emang gak bisa dipungkiri, tatapannya dia itu tajam, tapi bikin betah buat dipandang lama-lama. Semua orang pasti ngalamin hal yang sama tiap tatap-tatapan sama dia. Deg-degan.

"Pulang bareng, yuk, The? Naik kereta. Ajarin gue jadi anak kereta." Levi nyengir, memperlihatkan deretan gigi-gigi putih bersihnya.

"Hah?"

Levi terkekeh. "Beberapa hari belakangan, gue datang terlambat terus, The. Lagi ada perbaikan jalan dan parah banget macetnya. Padahal, gue jalan pagi banget. Jadi, kayaknya, gue mau mutusin jadi anak kereta aja biar gak usah berhadapan dengan macet."

"Rumah lo dekat stasiun mana emang?"

Levi diam sejenak sebelum menggaruk tengkuk lehernya sambil nyengir gak jelas. "Gak dekat stasiun mana pun, sih. Paling dekat terminal busway. Kan, gue tinggal di Jati Waringin."

Gue memutar bola mata dan mendengus. "Ya, itu lo tahu sendiri. Mau maksain naik kereta?"

"Kan, biar bisa bareng lo, The."

Jawabannya buat gue tercengang seketika. Otak gue seakan lumpuh dan gak bisa mencerna maksud kata-katanya sampai dia lanjut bilang, "Gue selalu bingung kalau mau ajak ngomong lo, The. Cari topic susah banget, ya? Tapi pengin ajak lo ngobrol."

Gue terkekeh geli dan di saat bersamaan, ponsel gue bergetar. Nama yang tertera di sana buat gue panik seketika. Panggilan masuk. Dari Athaya.

Gue harap, Levi gak lihat layar ponsel gue pas gue refleks ambil HP tadi. Gue menolak panggilan dari Athaya dan mutusin buat bangkit berdiri. "Lev, gue duluan, ya."

Levi merespon dengan senyuman dan anggukan kepala. Setelahnya, gue berbalik dan buru-buru melangkah menuju ke elevator yang akan bawa gue ke ruangan Divisi Akuntansi. Sumpah, setakut itu gue jika ada orang kantor yang tahu kedekatan gue sama Athaya―meskipun, gue dan Athaya murni gak ada hubungan apa-apa.

Kayaknya, Athaya ngerti kalau gue gak bisa angkat panggilan masuk dia karena setelahnya dia gak ngehubungin gue lagi. Dia ngirimin gue foto nasi goreng kambing yang udah habis di WhatsApp, disertai pesan lain yang buat gue senyum.

Baik banget, sih, lo. Kesel gue jadinya. Padahal gue mau diet. Malah dikasih nasi goreng kambing.

Masih dengan senyuman di bibir yang gue gak tahu kapan akan lenyap, akhirnya gue ngetik dan ngirim balasan buat cowok berkulit putih pucat tersebut.

Iya, sama-sama.

Singkat banget, ya? Ah, bodo amatlah. Gue gak terlalu mengharapkan balasan juga. Yang penting, itu cowok makan siang dan gak sakit. Udah.

💧💧💧

LEVI

Baru hari Senin, gue udah memulai hari pertama dalam seminggu dengan tarik urat. Itu salah satu orang kontraktor benar-benar bikin gue emosi karena perdebatan tentang tiang pancang. Gila, ya? Batu banget dikasih masukan, padahal pemberi kerjanya perusahaan tempat gue kerja. Bahkan sampai Pak Robi turun tangan. Udah kacau banget, lah urusannya. Pas balik ke kantor, Pak Selamet alias Manajer Pembangunan atau bos gue manggil gue dan ceramahin gue habis-habisan. Katanya, masalah bisa diselesaiin dengan kepala dingin, gak usah ngegas. Hell. Siapa yang ngegas? Gue gak ngegas. Gue ngerasa biasa aja.

Emosi gue sedikit mereda saat gue pergi ke pantry dan ketemu dengan seorang Lathea Putri Arundana yang lagi ngobrol sama Pak Iman yang entah lagi nyiapin makanan siapa. Lathea buatin gue kopi dan dengar sedikit keluh kesah gue sebelum pergi kembali ke ruangannya. Gak lama banget, sih, momen gue dan dia, tapi hehe...

Berawal dari cie-ciean dari teman-teman waktu gue dan Lathea pernah datang ke kantor barengan―padahal, ketemu di lift, gue gak tahu, sih, apa yang ada di pikiran Lathea, tapi gue mulai penasaran sama sosok cewek itu. Awalnya, gue lihat Lathea itu kalem dan jarang banget senyum. Pas udah kenal, ternyata orangnya cukup asyik dan punya tutur kata yang bagus. Terus sekalinya senyum, berasa melayang gue. Manis banget, Bro. Bingung mau komentar apa lagi. Manis banget bangetan!

Nyatanya, bukan cuma gue yang bilang senyuman Lathea itu manis banget. Banyak pegawai cowok yang berkomentar sama, tapi mereka takut buat kenal lebih dekat Lathea. Mereka gak senekat gue buat dekatin Lathea.

Meskipun, hasilnya masih nihil.

Lathea picky banget dan gue suka gak paham dia maunya apa. Kalau sesama rekan kantor, dia ramah, tapi untuk jadi teman, dia kayak nutup akses itu. Dari sekian banyak karyawan, yang gue tahu cuma Utami Dwitasari dari Divisi Personalia yang cukup dekat sama Lathea. Katanya, karena mereka seumuran dan mereka diterima bersamaan di kantor.

Gue mau cari tahu tentang Lathea ke Tami, gak bisa. Gue pernah buat masalah di Divisi Personalia. Masalah absen dan gara-gara itu, Tami ngomel panjang lebar ke gue dan berakhir dengan perang dingin sampai sekarang. Gue udah minta maaf, tapi dikacangin.

Lagi asyik santai di pantry, tiba-tiba HP di kantong celana gue bunyi dan buru-buru gue ambil. Nama Pak Robi tertera di sana. Segera gue angkat panggilan masuk itu.

"Iya, Pak?" Gue langsung berkata.

"Di mana, Lev?"

Gue menghela napas. "Di pantry, Pak. Ini udah mau ke ruangan lagi."

"Oke. Saya cuma mau ngingatin, jangan lupa bahan buat dibawa Tim yang besok ke Singapura. Pak Jefri minta kamu segera koordinasi dengan Athaya untuk bahannya."

Gue memejamkan mata sekilas. "Oke, siap saya laksanakan, Pak. Saya langsung ke Pak Athaya."

"Makasih, ya, Lev."

"Sama-sama, Pak."

Panggilan diakhiri dan gue menghela napas, memasukkan HP kembali ke dalam saku celana. Mata gue menerawang langit-langit pantry dengan punggung yang nyentuh sandaran kursi. Bibir gue melengkung, sinis.

Athaya Rasi Gaputra.

Kenapa lo selalu jauh lebih beruntung, sih, Tha?

💧💧💧

Semoga gak gaje. Aamiin.
Terima kasih yg masih berkenan membaca :)

20 Oktober 2019

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top