VII
VII. Kala Memori Mulai Mengabur
"Aidan mengundurkan diri secara privat. Orang tuanya datang menjemput. Dia naik pesawat entah ke mana. Jas almamaternya ditinggal. Berarti, Aidan nggak berniat kembali lagi ke sini."
Bak seorang detektif ulung, Aura mondar-mandir di kamar kos sembari menggumam tanpa henti. Kartika terpaksa mendengarkan sambil terkantuk-kantuk. Tiga bungkus ksripik kentang sudah ludes dipakai bahan bakar merenung. Keduanya tak sempat berpikir untuk menghitung kalori dan natrium yang sudah mereka konsumsi. Semenjak memperoleh informasi dari mantan bapak kos Aidan, Aura tak lelah mencari penjelasan ke mana-mana. Namun, tiada titik terang yang terbit. Tiada petunjuk, tiada peristiwa yang menunjukkan bahwa manusia bernama Aidan Devandra pernah ada dalam dunia.
"Aura, sudahlah. Lupain dia. Belum tentu Aidan mau ditemukan sama kamu, Ra. Sudah dua minggu lebih kamu nyariin ke mana-mana. Kuliahmu mulai terbengkalai. Aku nggak mau kamu jadi terobsesi sama Aidan gini, Ra," bujuk Kartika putus asa. Ia menjadi saksi bagaimana Aura menghabiskan waktu dengan bepergian ke sana kemari mencari informasi, alih-alih mengerjakan tugas kuliah dan laporan praktikum. Makin hari, makin keras ia berusaha memperingatkan sahabatnya. Apa daya, Aura bukan tipe orang yang bisa diperingatkan.
"Sebentar lagi, Kar. Aku punya firasat baik kalau sebentar lagi aku bakal dapat titik terang. Aku cuma perlu mencari di tempat yang tepat." Aura berkeras. Lama-lama dongkol juga hatinya terhadap sang sahabat. Ia yakin, andai Kartika mau membantu alih-alih terus menyuruhnya berhenti, barangkali ia akan memperoleh banyak kemajuan sekarang. Gadis itu tak sadar betapa Kartika menatapnya begitu sedih dan putus asa. Ia tak sadar betapa konsep cinta yang ia kejar makin hari makin mengabur dan sirna. Ia hanya yakin sang sahabat bersikap kelewat pesimis.
"Please, jangan begini, Ra. Aku takut kamu bakal berakhir nyakitin diri sendiri. Barangkali Aidan sudah dijodohin sama cewek pilihan orang tuanya. Barangkali dia sebenarnya nggak pernah serius sama kamu, tapi enggan bilang terus terang. Aku nggak mau maksa kamu buat move on ke lain hati sekarang, tapi setidaknya tolong ingatlah kalau ada kehidupan lain di luar hubunganmu dan Aidan."
Oh, diamlah sekarang juga! Tangan Aura mengepal. Tak tahan lagi ia mendengarkan ocehan sahabatnya barang sedetik pun. Sebelum ia dapat berpikir jernih, mulutnya sudah keburu terbuka. Murka berapi-api di ujung lidahnya, sedang sang sahabat hanya bisa memandang ternganga.
"Maksudmu apaan, Kar? Sejak beberapa hari yang lalu, cuma hal-hal jelek yang kamu tuduhkan ke Aidan. Sebenarnya kamu ini beneran mau support aku atau nggak, sih? Kalau sudah capek nemenin aku, pulang saja sana! Nggak usah sok menasihatiku!"
"Ra, maksudku— Ya sudah, terserah kamu saja!" Sejenak Kartika seolah hendak membantah. Namun, akhirnya gadis itu hanya balas berteriak, lalu tertunduk lemas. Dalam diam ia membereskan tas, lalu pamit pulang ke kosnya. Aura tak mengantarnya ke pagar. Ia terlalu marah untuk peduli. Lama berselang, setelah hampir seluruh penghuni kos terlelap, barulah penyesalan muncul dalam hatinya.
Sekarang aku benar-benar sendirian, demikian Aura membatin sembari melangkah keluar kamar. Lampu ruang tengah lantai dua sudah dipadamkan, kecuali satu supaya ruangan tidak gelap gulita. Sayup-sayup terdengar suara-suara dari dua orang mahasiswi DKV yang masih sibuk mengerjakan tugas di lantai satu. Aura melangkah ke pantry. Ia ambil segelas air, lalu ia tambahkan beberapa butir es batu. Air dingin itu membasahi kerongkongannya, sekaligus menyegarkan penat di tubuh dan otaknya.
Dengan gelas di tangan, Aura kembali ke kamar. Foto-foto polaroid dari kotak Aidan kini tertempel rapi di dinding kamar. Ia telah memandangi foto-foto itu begitu sering hingga wajah-wajah di sana mulai mengabur di matanya. Ingatan demi ingatan melebur jadi satu, sampai tak jelas lagi mana yang nyata dan mana yang mimpi. Benarkah ia dan Aidan pernah tersenyum lebar di depan pohon Natal saat pesta Natal universitas? Benarkah mereka pernah berjalan-jalan mengikuti walking tour keliling bangunan bersejarah Surabaya, lalu berfoto di depan Hotel Majapahit? Benarkah Aidan benar-benar pernah ada dalam hidupnya? Jika benar, mengapa semua kini terasa jauh dan buram?
"Nggak. Aku nggak boleh ngelupain Aidan sebegini gampang." Aura menggeleng keras. "Semua ini nyata. Semua ini nyata. Semua ini nyata. Semua ini nyata. Oh, demi apa pun yang pernah hidup di dunia ini, semuanya nyata!"
Prang!
Aura menangis tersedu-sedu di depan cermin meja rias yang hancur berserakan. Kaleng biskuit yang ia temukan di kos Aidan tergeletak di lantai. Satu sisinya penyok. Dalam usahanya menenggelamkan frustrasi, Aura telah melemparkan kaleng itu ke cermin. Pecahan-pecahan kaca menggores telapak tangan Aura, tetapi gadis itu sama sekali tidak merasakan sakit. Di sanalah juga akhirnya gadis itu meringkuk tidur, di atas keramik putih yang dingin, berteman pecahan cermin dan bercak darah dari tubuhnya sendiri.
* * . ° • * . ☆ .° . ° •* ° • * . ☆ .° . ° •*
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top