IX
IX. Sapaan Sahabat Lama
Tak pernah lagi Aura menginjakkan kaki di Kejora Café and Eatery. Tak pernah lagi ia berkeliaran di area fakultas hukum, atau melewati jalan kompleks tempat rumah kos yang dahulu dihuni Aidan. Foto-foto dan segala bukti kebersamaan mereka kini tersimpan rapi di sudut lemari dalam kaleng biskuit setengah penyok yang tertutup selimut butut.
Pelan tapi pasti, gadis itu berusaha merelakan kepergian Aidan. Namun, kenyataan tak pernah semudah rencana. Seringkali ia masih melihat sosok pemuda itu berkelebat di sudut matanya. Ia mendengar tawa Aidan setiap kali ia mencium aroma sate ayam yang sedang dipanggang. Ia mencium wangi parfum pemuda itu setiap kali lagu-lagu kesukaan mereka diputar di pusat perbelanjaan. Tak jarang ia berlari pulang lantaran gagal menahan kesedihan.
Maka, sepanjang sisa semester, Aura pun berusaha menyibukkan diri. Berbagai kepanitiaan ia ikuti. Ia mendaftar sebagai volunteer dalam proyek penelitian dosen. Banyak orang baru ia temui. Beberapa pemuda mulai berani mendekatinya. Namun, tiada yang mampu menggeser posisi Aidan dari hatinya. Sekeras apa pun Aura berusaha membuka hati, sebanyak apa pun tawaran kencan yang ia terima, tiada yang berujung pada kencan kedua. Pada akhirnya, Aura selalu pergi lebih dahulu. Ia menutup diri rapat-rapat sebelum ada yang dapat masuk dan menyakitinya lagi.
Suatu malam yang panas, Aura mendapati dirinya berjalan tak tentu arah. Rapat panitia bakti sosial fakultas baru saja selesai. Tubuhnya sudah berteriak minta diistirahatkan. Namun, pikirannya hampa. Kamar kos terlalu menyesakkan baginya. Dalam diam ia nikmati udara malam. Aroma martabak, sate, selokan, dan tahi kucing bercampur jadi satu. Jangkrik mengerik dari dalam semak-semak. Pasangan muda-mudi tertawa riang di warung-warung. Ibu-ibu yang mengendarai motor tanpa lampu meneriaki mahasiswa yang hampir ia serempet.
Sungguh sebuah malam yang biasa saja.
Aura menengadah ke langit. Seperti biasa, tidak ada bintang. Langit Surabaya terlalu penuh polusi asap dan cahaya untuk menampakkan bintang-bintang. Bulan purnama bersinar terang. Bosan, gadis itu menendang-nendang kerikil di trotoar. Begitu banyak wajah berlalu, tetapi tak satu pun wajah ia kenali. Ia terus berjalan, hingga tak terasa ia pun menjauh dari keramaian.
"Halo? Aura Callista?"
Langkah Aura berhenti. Seseorang baru saja memanggil nama lengkapnya, tetapi siapa? Jelas seorang pemuda, walau Aura tak ingat suaranya. Rasa penasaran mendorongnya berbalik. Tepat di belakangnya, berdiri seorang pemuda berambut ikal yang mengenakan jaket biru muda berlambang fakultas kedokteran. Wajah oval, bibir tipis, dan hidung mancung pemuda itu mengingatkan Aura pada seseorang yang sudah tak pernah ia jumpai sejak keduanya menanggalkan seragam putih merah. Bibir sang gadis bergerak-gerak ragu, tak yakin ingat akan nama insan di hadapannya.
"Um, kamu, Lukas ya? Dari SD Permata Bangsa?" Aura menelengkan kepala, heran. "Yang rumahnya di seberang toko bangunan itu, kan?"
"Iya, Ra, aku Lukas. Wah, nggak nyangka kita ternyata satu kampus! Kamu nggak banyak berubah, lho!" Seketika, wajah pemuda itu berseri. Giginya kecil dan putih bagai untaian mutiara. Kulitnya kuning langsat. Aura ingat dahulu kulit Lukas sedikit lebih gelap, tetapi ia juga sadar bahwa mungkin sudah bertahun-tahun lewat semenjak pemuda itu terakhir kali bermain sepak bola sambil telanjang dada di lapangan becek bersama anak-anak lain pada sore hari sepulang sekolah. Lukas juga sudah tumbuh tinggi. Jauh lebih tinggi dari Aura, malah. Gadis itu mengenang masa-masa ketika ia meledek Lukas lantaran tak kunjung bertambah tinggi meski sudah duduk di kelas enam SD.
"Jadi, kamu lagi ngapain, nih? Kok malam-malam begini masih keluyuran?" tanya Lukas.
"Habis rapat. Kamu sendiri ngapain?" balas Aura.
"Ah, cuma cari jajanan. Sekalian mau numpang wifi di kafe, soalnya kuotaku sekarat." Lukas terkekeh. "Kalau kamu nggak sibuk, mau ikut? Sudah lama kita nggak ngobrol."
"Boleh." Aura mengangguk. Pertanyaan-pertanyaan lain berdesakan dalam kepala Aura, tak sabar menunggu giliran ditanyakan. Apa orang tua Lukas masih membuka depot mi ayam di dekat alun-alun? Adiknya yang cengeng itu sekarang seharusnya sudah SMA, bukan? Apa pohon mangga di halaman belakang rumahnya masih berbuah manis?
Satu yang penting, untuk pertama kalinya setelah berbulan-bulan, aroma sate tak lagi membuat Aura menangis. Pemandangan para sejoli tak lagi membuat Aura melihat sosok dirinya dan Aidan. Ia menganggap diri sedang senang karena bersua teman lama, tidak kurang dan tidak lebih.
Namun, kemajuan tetaplah kemajuan.
* * . ° • * . ☆ .° . ° •* ° • * . ☆ .° . ° •*
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top