II

II. Hujan Datang Terlalu Cepat

Aura bertemu Aidan di masa orientasi bersama. Hari itu Senin pertama di bulan Agustus 2022. Universitas Angkasa mengadakan orientasi tatap muka kembali setelah dua tahun vakum lantaran pandemi. Keduanya sama-sama mahasiswa baru. Aura di jurusan biologi, Aidan jurusan hukum. Panitia orientasi mengadakan acara jelajah kampus. Dasar buta arah, Aura langsung tersasar dan terpisah dari kelompoknya setelah tujuan pertama. Gadis itu berjalan berputar-putar, berharap tidak ada seorang pun yang menyadari bahwa ia telah tersesat. Ia tak sadar sang pemuda telah memperhatikan sedari tadi, lalu akhirnya datang dan bertanya.

"Hai, maba hukum juga, ya? Lagi cari apa?"

Aduh! Mengapa pula pemuda ini tahu-tahu muncul? Malu sekali Aura mengaku bahwa ia tidak seharusnya berada di sana. Namun, bila ia berbohong, ia takut akan diseret ke kumpulan mahasiswa hukum. Maka sejenak ia diam bak tak paham Bahasa Indonesia. Si pemuda menelengkan kepala, heran mengapa sang dara tak kunjung bereaksi. Aura pun hanya mengerjap dungu. Mana bisa ia mengaku bahwa saat itu detak jantungnya berkejaran bagai adegan kartun Tom and Jerry yang acap ia tonton semasa kecil dahulu?

Ah, masa bodoh. Pemuda itu juga mahasiswa baru. Kelihatan dari jas almamater, kemeja putih, dasi hitam, dan celana panjang hitamnya. Alias, seragam mengerikan yang membuat Aura merasa menua sepuluh tahun dalam sekejap. Hancur reputasi di depan pemuda tampan pada hari pertama kuliah sungguh tidak ada dalam agenda kehidupan kampusnya. Apalagi penampilannya sedang kusut berhias keringat dan debu jalanan, ditambah bau matahari setelah dua jam dijemur di lapangan sembari mendengarkan penataran.

"Anu, bukan .... Tolong tanya, gedung FG di mana, ya?"

Aura menelan ludah dan menundukkan kepala, bersiap mendengar tawa membahana dari bibir sang taruna. Namun, dua tiga detik ia tunggu, tawa itu tak kunjung terdengar. Malahan, pemuda itu tersenyum hangat dan mengedikkan kepala, meminta Aura mengikutinya. Diam-diam, gadis itu melirik name tag yang dikalungkan di lehernya.

Aidan Devandra. Nama yang bagus.

"Sini, aku antar!" ajak Aidan.

Aura mengangguk. Berdua mereka berjalan. Bukan perjalanan singkat yang mereka tempuh. Kampus-kampus Universitas Angkasa tersebar di antara tanah kosong seluas puluhan hektar. Di sana sini pohon dan semak menjulang. Jam di pergelangan tangan Aura terus berdetik. Ia sudah sangat terlambat, tetapi gedung FG belum kelihatan. Dengan jauhnya jarak yang sudah mereka tempuh, ia yakin Aidan juga akan ikut terlambat kembali ke fakultas hukum bila terus mengantarnya sampai tujuan.

"Anu, Aidan, apa kamu nggak mau balik saja? Tunjukkan saja arahnya, aku bisa sendiri, kok. Daripada nanti kamu terlambat balik, terus dihukum sama kating." Dengan canggung Aura menarik ujung lengan jas almamater Aidan supaya pemuda itu berhenti. "Makasih banyak atas bantuannya, ya."

"Nggak papa, toh aku juga— Eh?" Tiba-tiba, Aidan menoleh ke atas sambil menengadahkan telapak tangan. Aura ikut-ikutan menengadah. Sedetik kemudian, keduanya berlarian sambil berteriak keras. Mendung yang sedari tadi tidak mereka perhatikan—karena hujan biasanya absen sepanjang bulan Agustus—akhirnya bosan diabaikan. Ia curahkan seluruh tirta yang ia kandung hingga membasahi sepasang muda-mudi itu.

Refleks, Aidan menari tangan Aura dan mengajaknya berlari ke arah utara. Plang nama gedung FG mengintip dari balik rimbunnya pohon tanjung. Derap langkah mereka berkecipak di tanah becek. Mereka sampai di tujuan, basah kuyup seperti sepasang tikus got, dihadiahi pelototan para mahasiswa anggota Menwa yang ketiban tanggung jawab menertibkan maba-maba yang bengal, dan tertawa begitu riang seolah mereka telah mencapai surga. Bertahun-tahun setelahnya, mereka masih merayakan dan mengenang kejadian itu sebagai penanda hari pertama mereka bertemu.

Suatu hari di pertengahan bulan Agustus 2022, hujan datang terlalu cepat. Kedatangannya membuat sepasang manusia berlawanan jenis terlambat mengikuti agenda orientasi, dan menumbangkan keduanya sekaligus karena masuk angin keesokan harinya. Namun, Aura tak pernah menyesali hari di mana ia masuk ke aula FMIPA bagaikan siluman air yang baru keluar dari danau. Ia tak pernah menyesali demam tinggi dan butiran-butiran obat pahit yang harus ia alami keesokan hari, apalagi setelah mendengar bahwa Aidan pun terpaksa bolos karena tak berhenti bersin!

Karena, apakah yang paling indah daripada sebuah pertemuan? Dan, apakah yang paling kelam daripada sebuah perpisahan?

* * . ° • * . ☆ .° . ° •* ° • * . ☆ .° . ° •*

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top