I

I. Tidak Ada Selamat Pagi Hari Ini

Pagi ini, ponsel Aura tergeletak dalam sunyi. Untuk pertama kalinya dalam dua tahun terakhir, Aidan absen mengucapkan selamat pagi. Pesan terakhir dari Aura ditinggalkan bersama lambang centang satu, terabaikan bagai boneka di rumah tua yang tinggal menghitung hari menuju kehancuran.

Aura tidak mengerti mengapa Aidan menghilang tanpa meninggalkan sepatah kata pun. Bukankah pria itu pula yang mengatakan "Aku cinta padamu" tepat dua tahun silam? Yah, kata-katanya tidak persis seperti itu. Aidan tidak pernah menggunakan kata "cinta" secara murah. Lelaki itu lebih suka menyatakan cinta melalui tindakan-tindakan kecil yang menyatakan bahwa ia sungguh hadir dalam kehidupan Aura. Bahkan lenyapnya seutas ucapan selamat pagi yang selalu baru setiap hari, membuat gadis itu merasa ada yang kurang dalam hidupnya.

"Dia sudah pergi, bodoh." Aura menggumam sembari mempersiapkan sarapan. Ia menggumam sembari menonton berita pagi di televisi, sembari mandi di bawah guyuran air shower, dan sepanjang perjalanan ke kampus. Berulang-ulang ia ucapkan kalimat itu, hingga maknanya memudar dan nadanya terdengar seperti mantra. Hidup, termasuk kelas-kelas perkuliahan, takkan peduli bila penghuninya sedang bermuram durja. Ia akan terus berjalan, memaksa penghuninya ikut berjalan apabila tak mau terlindas roda-roda sang waktu.

"Halo, Aura!" Sapaan dari suara familier menghampiri relung telinganya. Dari Kartika, sosok yang senantiasa bersinar seterang namanya. Ialah teman pertama Aura tatkala gadis berusia dua puluh tahun itu pertama kali menginjakkan kaki di Surabaya. Hingga kini, ialah satu-satunya tempat Aura dapat menumpahkan segala gundah gulana. Saat ini pun ia segera menyadari bahwa sahabatnya sedang bermuram durja.

"He's really gone, Kar." Satu kalimat dari Aura sudah cukup untuk membuat Kartika mengerti. Gadis itu mengusap-usap punggung sang dara, sambil mengucap satu-satunya kalimat yang terlintas dalam benaknya.

"Mungkin kalian memang nggak jodoh, Ra."

Jodoh. Kata itu terngiang dalam benak Aura selagi raganya mengikuti perkuliahan. Ia percaya manusia hidup berpasang-pasangan, dihubungkan benang merah bertajuk takdir. Namun, bukan kuasa manusia untuk melihat kepada siapa benang merahnya akan berlabuh. Maka, Aura hanya bisa mengutuki kebodohannya yang sempat mempercayai Aidan. Ia mengutuk semesta yang telah mempertemukan sosok taruna itu dengannya. Ia mengutuk segala janji yang telah mereka buat dalam malam-malam kala mereka berkencan. Terutama, ia mengutuk fakta bahwa ia tak mampu membenci Aidan, betapa pun lelaki itu telah sakiti hatinya.

Sialan, ketika orang-orang berbicara tentang jatuh cinta, Aura tidak pernah menyangka bahwa ia akan jatuh secara literal. Terjun bebas, malah. Ia juga tak pernah tahu bila jatuh cinta dengan kawan sekampus adalah resep bencana. Bahkan sebungkus cilok saus pedas manis dari kios Mang Adi di kantin kampus mampu membuatnya bergegas lari ke toilet, lantaran harus menyembunyikan air mata yang menggenang tanpa permisi.

"Setidaknya beri aku penjelasan, Tolol. Setidaknya, beri aku perpisahan yang pantas sebelum kamu mengosongkan kosmu dan mematikan nomor teleponmu. Setidaknya, beri aku alasan untuk membencimu, supaya aku bisa mengutukimu dan pindah ke lain hati," desis Aura pada dinding yang bisu.

Aroma karbol tajam menusuk hidung. Gemuruh dalam hati berdentam-dentam minta dilepaskan. Maka, sang gadis pun mulai menelusuri obrolan silam dengan Aidan. Pesan terakhir Aura masih tergeletak tak terbaca dalam ponselnya. Centang satu menari-nari di matanya tak peduli berapa kali ia membaca ulang utas obrolan, seolah menertawakan nasib sang dara. Makin ke atas, makin ia tenggelam dalam kehangatan rangkaian kata Aidan. Terkenang akan obrolan-obrolan tidak penting yang dahulu lucu, tetapi sekarang hanya membawa lara ke hari Aura. Hingga matanya tertuju pada pesan Aidan sebulan lalu.

"Aura, suatu saat nanti, mungkin aku nggak akan ada bersamamu lagi. Tapi, aku mau kamu tahu, apa pun yang kulakukan, apa pun yang terjadi di masa depan, semua pasti punya alasan. Jadi, jangan bersedih terlalu lama, dan hiduplah dengan bahagia."

Tidak ada selamat pagi untuk Aura hari ini. Gadis itu menangis tanpa suara, menyesali keterlambatannya menyadari pertanda yang kini jelas terpampang di depan mata. Aidan punya rahasia, yang mungkin diam-diam telah menyiksa batin pemuda itu, tetapi Aura terlalu naif untuk menyadari makna tersirat dalam kata-katanya.

* * . ° • * . ☆ .° . ° •* ° • * . ☆ .° . ° •*

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top