5. The Flower


"Hati-hati, ya!" Elina mengantar kepergian pelanggan setianya dari ambang pintu. Yusa, Alu, dan Nicholas meninggalkan penginapan pagi ini. Yusa yang biasanya cerewet, kini menjadi sedikit canggung karena kejadian semalam. Ia takut tidak bisa menahan diri dan menanyakan tentang mimpi yang membuat Alu menangis.

"Kita mampir ke pasar sebentar, mumpung masih pagi." Nicholas menggiring kuda ke arah tempat yang kini ramai oleh orang yang sedang melakukan transaksi jual beli. Pedagang berjejer di kiri kanan jalan, pembeli berlalu lalang.

"Ayo kita membeli sesuatu untuk Emma! Bagaimana dengan beberapa perlengkapan doa? Lilin atau semacamnya?" Yusa bersemangat.

"Baiklah," sahut Nicholas sambil tersenyum. Kini, mereka menuju ke sebuah toko perlengkapan doa.

Sesampainya di tempat itu, mereka langsung di sambut oleh sang pemilik toko.

Setelah Nicholas mengatakan barang yang ingin di beli, pedagang itu memerintahkan karyawannya untuk mengambilkannya.
"Tunggu sebentar ya, tuan." Lelaki paruh baya itu pun beralih untuk menyambut seorang pelanggan yang baru saja datang. "Selamat datang, nyonya."

"Aku ingin membeli lilin doa terbaik yang kau punya," ucap wanita itu. Ia mengenakan gaun satin merah tua, dan mengenakan sepatu hak tinggi. Tampak perhiasan dan cincin menghiasi tangannya.

Mendengar bahwa wanita itu juga membeli barang yang sama, Nicholas, Yusa, dan Alu kompak menoleh. Wanita yang menyadari ada pelanggan lain di ruangan itu pun juga menoleh ke arah mereka.

"Eh?" Wanita itu tampak terkejut ketika melihat Alu.

***

Riseta menyalakan lilin yang baru saja ia beli, dan meletakkannya di meja doa ruangan itu. Kemudian, ia keluar dan menghampiri tamu yang kini sedang berbincang dengan suaminya.

Riseta duduk dan menuangkan teh untuk ketiga tamunya.

"Terimakasih," ucap Nicholas mewakili dua anak yang duduk di sampingnya.

Sementara itu, Alu sibuk memperhatikan sekeliling. ruangan tempat mereka bertamu saat ini.

Ruangan itu begitu besar penuh perabotan mewah. Sebuah alat sulam terlihat di dekat jendela. Tampak selembar kain dengan sulaman berbentuk bunga Caryophillus terangkai oleh benang berwarna merah muda.

"Maaf, mengundang kalian dengan tiba-tiba." Wanita itu membuka pembicaraan.

Nicholas tersenyum ramah. "Justru kami merasa terhormat, Nyonya Riseta, Tuan James."

"Syukurlah kalau begitu. Jujur saja, aku juga sedikit terkejut karena istriku tiba-tiba membawa tamu ke rumah ini. Semoga kalian tidak keberatan dengan hal ini," sahut James.

"Tidak masalah, tuan."

"Jadi, namamu Alu?" ucap Riseta memandang Alu.

"Benar Nyonya, -Alusa." Alu memperkenalkan diri. "Ini adalah kakakku, Ayusa. Anda bisa memanggilnya Yusa." Alu menjelaskan tanpa ditanya. Mendengar dirinya diperkenalkan sebagai kakak, Yusa melongo. Namun gadis itu hanya bisa mengangguk. Ia tahu Alu pasti punya alasan soal itu.

"Bersaudara, ya?" ucap Riseta.

"Kau begitu mirip dengan anakku sewaktu kecil." Riseta memandang Alu penuh arti. Matanya mulai sedikit berkaca-kaca. "Tapi dia meninggal ketika menjalankan tugas negara."

"Kami turut berduka," sahut Yusa pengertian. Meski sedikit berbeda, ia juga mengerti bagaimana rasanya kehilangan orang terkasih.

Riseta menatap Yusa. "Tapi, dia adalah Allucio, sang Pahlawan. Apa kau tetap akan bersimpati?"

"Eh? ... t tentu saja, aku sangat menghormati perjuangannya." Yusa menjelaskan.

Raut wajah Riseta meredup. "Syukurlah kalau begitu."

"Orang-orang bilang, Headas kehilangan pejuang karena anakku. Mereka bilang, pejuang pejuang itu mati karena teknik baru yang dia buat. Semua orang menyalahkannya."

Suasana hening, Alu meremas kemejanya.

"Tapi, aku percaya bahwa itu tidak benar. Aku yang melihatnya berlatih dan melakukan uji coba siang malam untuk menyempurnakan kemampuan itu. Aku tahu betul melebihi orang-orang yang hanya bisa menghakimi itu." Riseta melanjutkan kalimatnya.

"Andai saja dia masih hidup, aku ingin bilang padanya. Cio, ini bukan kesalahanmu. Ibu tidak bermaksud menghibur. Tapi ibu sungguh mengerti dirimu melebihi siapa pun. Meskipun mereka membenci dan menyalahkanmu, ibu akan tetap berada di sisimu. Ibu akan selalu menerimamu."

Alu menunduk, berusaha menahan air matanya agar tidak menetes.

"Ah ... maaf. Aku terlalu terbawa perasaan, dan membawa kalian ke pembicaraan yang tidak mengenakkan."

"Mohon maaf, nyonya. Karena matahari sudah mulai rendah, kami harus segera berpamitan," ucap Nicholas tiba-tiba.

"Astaga, kau benar. Maaf sudah menyita waktu kalian." Riseta dan James pun mengantarkan tamunya hingga ke depan pintu.

"Kami pamit." Nicholas dan yang lain menunduk memberi hormat, dan naik ke kereta.

Pasangan bangsawan itu pun masuk kembali ke rumah.

"Dia sangat mirip ...." Riseta menyeka air mata di pipinya. Sedetik setelah pintu ditutup, wanita itu menutup wajahnya dengan kedua telapak tangan. Johanes meraih pundak istrinya.

Riseta langsung menoleh dan membenamkan wajahnya ke dada sang suami. Sesaat kemudian terdengar suara sesenggukan. Lelaki yang telah beruban itu mengelus dan menepuk-nepuk punggung istrinya.

Alu telah menjauh dari bangunan itu. Beberapa kali, ia menoleh ke belakang.

30 menit perjalanan, kereta kuda yang Alu, Yusa, dan Nicholas kendarai sampai di Guild. Mereka turun dan disambut oleh pemimpin Guild tersebut.

Nicholas membuka kain yang menutupi bagian atas gerobak, menunjukkan beberapa gerabah dengan bentuk dan detail yang bermacam-macam.

"Wah, kualitas gerabah ini begitu luar biasa." James memandang anak lelaki yang berdiri di antara Nicholas dan Yusa. "Jadi, kau yang bernama Alu?"

Anak lelaki itu menunduk memberi salam. Tak berapa lama kemudian, mereka semua masuk.

Dalam perjalanan ke sebuah ruangan, James menjelaskan maksud dan tujuan pertemuan mereka siang ini. "Kau sudah mendengar tentang penawaranku dari Nicholas dan Yusa, Alu. Tapi akan kusampaikan lagi. Aku berminat untuk menjual produk kalian secara eksklusif. Jadi, apakah kau bisa membuat lebih banyak lagi?"

"Aku sangat tertarik mendengarnya. Akan tetapi, seperti yang Anda tahu, tuan. Selama ini, aku membuat gerabah-gerabah itu sendirian. Akan sulit untuk membuatnya secara massal."

"Begitu, ya ...." James tampak berpikir sejenak, lalu tiba-tiba menjentikkan jarinya. "Apakah kau keberatan untuk mengajari beberapa orang? Bagaimana jika kau yang melakukan penyelesaian, sedangkan sisanya dilakukan oleh orang lain. Apakah bisa?

"Tentu bisa. Tapi, akan membutuhkan beberapa waktu untuk mengajari mereka." Alu menjelaskan.

"Itu tidak masalah bagiku."

James menarik senyumnya lebar. "Aku senang pertemuan kita menghasilkan hal yang baik," ucapnya.

Setelah menyelesaikan hal-hal terkait perjanjian dagang, tiga orang itu pun pergi meninggalkan Guild. Kereta kuda itu berjalan menyatu dengan ramainya kota Athen. Sayangnya, hanya deru roda dan kuda mereka yang ikut meramaikan tempat itu. Nicholas sibuk mengendalikan laju kereta, sedangkan Alu ....

"Yusa," panggil anak lelaki itu tiba-tiba.

"Eh?" jawab Yusa tergagap. Ia sedikit terkejut, karena seorang Alu yang pendiam berinisiatif untuk memulai percakapan dengannya.

"Tentang James, aku penasaran. James adalah seorang ketua serikat petualang. Tapi kenapa dia berdagang?"

"Ah, soal itu, -eh!" Yusa tidak sempat menyelesaikan ucapannya. Suara gemuruh tiba-tiba terdengar di seantero kota, membuat semua orang terpaku sesaat dan berhenti beraktivitas. Sedetik kemudian, Suasana pun kembali riuh oleh suara warga.

"Apa itu tadi?"

"Gunung berapi?"

"Tidak ada gunung di kota ini, bodoh!"

"LIHAT ITU!" Seorang warga berteriak, dan menunjuk ke atas. Semua orang pun mendongak.

Nicholas dan Alu yang merasakan hal ganjil pun, segera ikut mendongak. Mereka terpaku ketika melihat lapisan transparan berona ungu muncul dan melapisi langit kota Athen.

Alu mengenal aura ini.

"Iblis." Dengan tangan gemetar, ia memegangi dadanya yang mulai berdegup kencang.

"Apa apaan ini?" Semua warga mulai panik berhamburan ketika gemuruh lainnya terdengar dari beberapa titik di kota itu.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top