3. The Devil


"Kalian, masuklah. Aku akan membawa kuda kita ke belakang."

Nicholas kemudian menggiring kuda dibantu oleh seorang pegawai. Kini, mereka telah sampai di ibu kota. Namun karena sudah larut, Nicholas tidak langsung ke Guild. Mereka akan bermalam dulu di penginapan yang sudah menjadi langganan Nicholas sejak dulu.
"Ayo, Alu!" Yusa menarik anak lelaki itu ke dalam.

"Halo, Yusa." Seorang wanita menyambut mereka dari meja resepsionis. "Wah, apa ini teman yang sering kau bicarakan  waktu itu?" lanjutnya lagi sambil tersenyum ramah memandang ke arah Alu.

"Senang bertemu dengan Anda, Nona …."

"Elina."

"Senang bertemu denganmu, Nona Elina. Perkenalkan, namaku Alu."

"Kau punya nama yang unik ya. Ngomong-ngomong, berapa umurmu?"

Yusa memandang Alu dengan antusias. Selama ini, Yusa tidak tahu pasti berapa umur Alu. Meski bertanya, ia tidak mendapatkan jawaban pasti. Ia harap, kali ini ia bisa mengetahuinya.

"Sebelas tahun," jawab Alu ragu.

"Semoga betah, ya," ucap Elina sembari mengeluarkan permen gula dari laci meja. "Ini, hadiah sambutan dari penginapan kami."

"Terima kasih."

Sebenarnya, Alu tidak terlalu suka makanan manis. Meskipun begitu, ia tentu harus menerima niat baik Elina. Setelah berbasa-basi sedikit, dua anak itu berjalan menaiki tangga ke lantai dua.

"Kalau begitu, berapa tanggal lahirmu?" Yusa bertanya pada Alu.

Tidak mendapat jawaban setelah menunggu beberapa saat, Yusa berhenti berjalan. Ia memasang wajah manyunnya, dan melipat tangan. “Tidak adil. Padahal kau menjawab pertanyaan Elina barusan. Pilih kasih! Pilih kasih, hump!"

"Baiklah, baiklah. Aku akan menjawabnya. Tapi aku hanya akan menjawab satu pertanyaan darimu." Alu memutuskan.

"Oke!" 

"Jadi, apa yang ingin kau tanyakan?" 

"Berapa tanggal lahirmu?"

"Satu."

"Apa?"

"Aku lahir pada tanggal satu."

"Bulan apa?"

"Bukankah kita sepakat tentang menjawab satu pertanyaan, Yusa?"

"Bukan begitu maksudkuu!"

Terdengar suara Elina tertawa di bawah. "Sepertinya mereka selalu seperti itu ya, Nicholas?” ucap Elina sembari tertawa. Rupanya Nicholas sudah datang, dan ikut memperhatikan kejadia di tangga.

“Ini,” ucap Elina menyodorkan sebuah buku ke arah pemuda di depannya.

"Apa kau sudah menanyakannya?" Nicholas bertanya.

"Tentang buku ini? Ketua bilang, ia tidak berminat untuk menjualnya ke siapa pun."

"Aku memahami keputusannya. Biar bagaimanapun, itu adalah buku yang diwariskan oleh kakeknya."

"Apa kau tidak masalah dengan hal itu? Sepertinya kau sangat menyukai buku ini."

"Rasanya sayang sekali, tapi aku juga merasa sedikit lega. Itu artinya buku ini tidak akan ke mana-mana, dan selama aku tetap boleh terus membacanya di sini."

"Aku jadi penasaran, apa isinya sampai membuatmu sangat tertarik. Sayangnya itu ditulis dengan aksara yang tidak bisa aku mengerti."

"Isinya?" Nicholas tersenyum. "Ini berisi kisah tentang buah terlarang yang membuat makhluk suci diusir dari surga."

"Wah ... aku jadi semakin penasaran. Tapi, aku tidak ingin mengganggu waktumu untuk membaca. Jadi, aku ucapkan selamat menikmati dongeng itu."

Pemuda jangkung itu pun berjalan ke arah tangga, meninggalka Elina di ruangan itu sendirian.

"... padahal, ini bukan dongeng."

Alu dan Yusa tampaknya sudah masuk ke kamar masing-masing. Pintu di kiri kanan koridor juga tertutup. Sesampainya di kamar rupanya Nicholas tidak langsung tidur, atau membaca buku. Pemuda itu membuka pintu jendela dan melompat ke jalan. Ia menyelinap tanpa suara ke arah satu jendela ventilasi yang berada di bagian belakang bangunan itu.

Memastikan tidak ada orang yang memperhatikan, Nicholas membukanya dan masuk ke sebuah ruangan tanpa cahaya.

Iris merah pemuda itu perlahan menyala, mengaktifkan kemampuannya melihat dalam gelap. Ia memandang sekeliling, lalu berjalan ke tengah ruangan.

Ia meraba dan menyapu debu dan tanah yang menutupi lantai. Setelah menemukan sebuah lubang kecil, ia membuka halaman buku kuno itu. Di salah satu halaman terdapat teks yang tertutup coretan berupa gambar kunci kecil dengan rantai kecil menjadi talinya.

Berkumat kamit sebentar, Nicholas mengusapkan telapak tangan kanannya ke arah gambar. Seberkas cahaya biru muncul, dan kunci emas itu perlahan timbul.

Dengan kunci itu, Nicholas membuka pintu ke area bawah tanah. Setelah melewati ratusan anak tangga, akhirnya Nicholas sampai ke sebuah ruangan dengan cahaya biru remang yang dihasilkan oleh sebuah pola pentagram besar di tengah-tengah.

"Ini adalah malam yang sempurna untuk melakukannya." Nicholas menggores telapak tangan kanannya dengan sebuah pisau kecil.

Srink!
Sesaat setelah pemuda itu menyentuh pentagram dengan tangannya yang terluka, kilatan cahaya biru menyilaukan muncul lalu menghilang dengan sekejap digantikan dengan warna merah darah.

"Heal." Nicholas merapal mantera yang membuat luka di tangannya menutup seketika. "Selanjutnya di mana, ya?"

—Deg!

Nicholas mendongak dengan cepat. ketika ia merasakan hawa sihir yang ia kenal bergerak di atas sana.

"Alu ... apa yang sedang dia lakukan?"

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top