🌷 Kebencian🌷

~ Rasa sayangku ibarat hujan saat malam hari, ia tetap turun tanpa dihadiri oleh pelangi~

****
After the Rain by Galuch Fema

Happy reading dan jangan lupa vote

"Kalian mau apa?" tanya Kiran yang sudah ketakutan setengah mati.

"Kami tidak minta apa-apa, cuma alamat rumah Adit tinggal," sahut perempuan yang terus memegang lengan Kiran supaya tak lepas.

"Aku tidak tahu," tukas Kiran berbohong. Jantungnya sudah seperti sedang lari maraton. Seandainya saja tangannya tidak dipegang oleh Putri mungkin ia bisa menelepon Adit untuk meminta tolong.

"Cepat katakan! Waktu kita tidak banyak!" ancam Haris tidak sabar.

"Aku tidak bisa mengatakannya," jawab Kiran dengan gugup.

"Adit yang melarang kamu?" tebak Putri dengan cemas.

Kiran mengangguk sambil melirik arah pengemudi yang terus mengawasi dirinya dari depan.

"Katakan saja alamatnya, nanti kamu tidak perlu ke sana," pinta Putri memelas.

"Kiran katakanlah, kalau tidak, aku bisa mengeluarkan kamu dari kampus dengan alasan yang tak masuk akal!" ancam Haris sehingga Kiran sangat terkejut. Ia tak mungkin berhenti dari kuliah sebelum menyabet gelar yang ia selalu impikan.

"Ja-jangan, aku mohon jangan keluarkan aku dadi kampus," pinta Kiran panik.

"Kamu lebih memilih berterus terang atau kuliah kamu yang nantinya berantakan!"

"Gang mawar, rumah warna putih sebelah kanan jalan."

Putri dan Haris langsung tersenyum puas. Apalagi rencana laki-laki itu berjalan sempurna karena ia tahu letak kelemahan perempuan yang terkenal dengan otaknya yang pintar.

Kiran menggigit bibirnya, ia mengakui telah salah karena sudah memberi tahu pada orang yang tidak tepat. Dalam bayangan Kiran, pasti Adit akan marah besar. Belum lagi reaksi Anton yang sudah melarangnya mati-matian untuk tidak memberi tahu keberadaan Adit.

Mobil yang mereka tumpangi sudah memasuki halaman yang luas dengan pohon jambu di sana. Tubuh Kiran menggigil ketakutan, pandangan tertuju pada depan rumah yang sepi dan tidak ada motor Adit di sana.

"Cepat, kamu ikutan turun!" perintah Haris. Ternyata ia mempunyai rencana lain, jika nantinya Kiran turun dan Adit berada di rumah pasti laki-laki itu akan membenci perempuan ini dan Haris akan bebas mendekati Kiran.

"Ak-aku—"

"Cepat turun!"

Mau tak mau Kiran ikut turun karena genggaman Putri masih di lengannya.

"Aku tidak akan mencelakai kamu. Aku butuh seorang teman untuk menemani di situasi paling sulit seperti ini."

Kiran tercekat, bukankah ada Haris yang bisa menemani masuk ke dalam, bukan dirinya?

Pintu diketuk dengan keras. Kiran berdoa dalam hati, semoga saja Adit tidak ada di rumah. Atau jangan-jangan nantinya yang akan membuka pintu Adit karena sepeda motornya sedang dipinjam oleh teman-temannya.

"Ceklek!!"

Perempuan paruh baya membuka pintu, raut wajahnya sangat kaget bercampur pucat pasi melihat siapa yang datang.

Tatapan mata Mamah Adit bergantian memandang Haris dan Putri. Tangan Mamah hendak menutup kembali pintu tetapi sudah dihalangi oleh Haris.

"Mamah?" panggil Putri yang sudah berderai air mata.

Kiran sendiri tak paham dengan apa yang sudah terjadi. Apalagi mata Mamah ikut berkaca-kaca.

"Untuk apa kalian kemari?" tanya Mamah dengan menatap samping enggan melihat depan.

Putri langsung menyeruak masuk untuk memeluk Mamah dengan isak tangis yang semakin menjadi.

"Mah, putri akan menikah. Putri harap Mamah datang ke pernikahan besok," sambil terus memeluk Mamah dengan erat. Sayangnya, perempuan paruh baya tersebut tak membalas pelukan anak tirinya.

Kiran memperjelas pendengarannya dengan takjub.

"Ja-jadi...."

Betapa bodohnya ia telah menuduh Adit yang akan menikah dengan putri.

"Mamah tidak bisa datang, cuma bisa mendoakan kamu bahagia."

Mamah melepaskan pelukan Putri yang sudah dianggap seperti anak kandungnya sendiri.

"Tapi, Mah," elak Putri merasa tak terima.

"Apa karena Papah sehingga Mamah tidak mau menghadiri pernikahan Putri? Atau jangan-jangan anak bandel itu yang melarang Mamah hadir ke sana?" tuduh Haris kesal.

"Tidak. Mamah belum siap saja untuk bertemu dengan semuanya."

"Mah, Putri sampai sakit karena memikirkan Mamah. Apa Mamah sendiri tidak ingin melihat anak perempuannya menikah?" tuduh Haris dengan sengit.

Dengan gemetar, tangan Mamah memegang wajah Putri yang masih berlinang air mata. Waktu enam bulan bukanlah waktu yang singkat untuk melupakan semuanya.

Teka-teki tentang siapa Putri dan Haris sedikit terkuak. Namun, yang yang tak habis pikir adalah mengapa Adit sengaja memisahkan mereka? Ada apa dengan masa lalu mereka?

"APA YANG KALIAN LAKUKAN DI SINI?"

Suara yang datang tiba-tiba mengagetkan mereka yang ada di sana, terutama Kiran yang terperanjat kaget karena sangat mengenal suara itu. Betapa bodohnya ia karena terlarut dalam suasana yang ada sehingga tidak mendengar kedatangan laki-laki itu.

"A-adit?" ucap Kiran setengah mati. Apalagi melihat wajah Adit yang sudah babak belur. Lagi-lagi ia berantem.

Adit hanya menatap sekilas perempuan itu, mungkin saja detik ini ia tidak akan percaya lagi pada seorang perempuan.

"PERGI!!!" pekik Adit pada dua orang asing yang masih bertahan di tempat ini.

"Dit, biarkan kakak bertemu dengan Mamah sebentar saja," pinta Putri yang sudah memelas.

"Cihh, kakak macam apaan kamu? Aku tak pernah mengakui kakak macam seperti kamu!"

"Jaga omongan kamu!" gertak Haris merasa tak terima jika Putri—kakaknya di rendahkan seperti itu.

"Penghianatan kalian selama ini akan aku balas!" ancam Adit yang sudah dikuasai emosi.

"Adit!" panggil Mamah tetapi tak dihiraukan laki-laki itu.

"Pergi dari sini? Tempat kalian bukan di sini!" usir Adit pada mereka berdua.

"Dit, kakak mohon sebentar saja, masih ada yang harus dibicarakan sama Mamah."

Tanpa menunggu lagi, Adit mendorong Putri dengan kasar sehingga jatuh terduduk. Suasana semakin tegang. Mamah hanya bisa menatap putra-putri mereka yang saling bertikai. Apa yang ia takutkan akhirnya terjadi, oleh sebab itu ia lebih memilih mengasingkan diri.

Dengan sigap, Haris membantu Putri untuk bangkit. Sama seperti Adit, Haris juga tersulut emosi karena Adit sudah mencelakai kakak kandungnya.

"Pengecut. Beraninya hanya pada perempuan!" pekik Haris dengan geram.

Seperti mendapat tantangan, Adit hendak memukul mulut yang sudah berani berkata kasar pada dirinya.

"Adit, jangan!" larang Kiran yang sudah setengah mati menahan tangan Adit yang sudah bersiap memukul Haris.

Butuh tenaga ekstra untuk menahan Adit walaupun Kiran sudah memegang lengan Adit dengan kedua tangannya.

"CUKUP. KALIAN ANAK-ANAK MAMAH JANGAN ADA YANG BERTENGKAR!"

Akhirnya Mamah bersuara sambil mengusap air matanya.

"Adit masuk ke dalam!" perintah Mamah. Sayangnya, Adit bergeming dengan tatapan hendak mencengkeram Haris. Kapan lagi dendam bisa tersalurkan saat waktu yang tepat seperti ini.

"Kiran, bawa Adit ke dalam!" perintah Mamah pada Kiran yang masih memegang tangan Adit.

"Adit, please," pinta Kiran sambil menatap mata merah itu. Adit hanya membalas sekilas tatapan mata Kiran karena selebihnya ia sangat kecewa pada perempuan ini. Dengan langkah gontai, Adit berjalan ke dalam di tuntun Kiran, tangan perempuan itu mengendur pelan-pelan ketika mereka sudah sampai di pintu tengah.

Sayangnya Adit tak mau kehilangan kesempatan seperti ini. Ia berbalik dan berlari melampiaskan emosinya pada laki-laki itu.

"BUGH!!!

Haris jatuh tersungkur karena tak siap menerima serangan dari Adit. Mulut langsung mengeluarkan darah segar. Pekikan nyaring keluar dari mulut Putri dan Mamah. Sedangkan Kiran sangat syok melihat Adit lari begitu saja dari sampingnya. Ia bergegas mengejar Adit sambil terus memegang ujung kaos yang dipakai laki-laki itu.

Tangan Adit sudah kembali terkepal, sepertinya satu pukulan tak cukup. Putri dan Mamah saling berpelukan erat karena emosi Adit yang sudah tidak terkontrol. Ia memukul Haris membabi buta tanpa ampun.

Anton yang sedari tadi hanya duduk di atas motor, sekarang sudah berjalan menghampiri Adit untuk melerai mereka berdua, sayangnya Anton tetap kalah.

"ADIT CUKUP!!"

Teriakan keras melengking membuat orang yang ada di ruangan itu langsung menoleh pada Kiran yang sedang berdiri di samping laki-laki yang tengah berkelahi.

"CUKUP!!" teriak Kiran sekali lagi.

Anton cukup kaget karena ternyata teriakan Kiran bisa mengentikan pukulan Adit pada wajah Haris yang sudah babak belur.

"Cukup, aku mohon," pinta Kiran sekali lagi.

Adit berdiri sempoyongan, tenaganya hampir habis setelah perkelahian tadi di tambah sekali lagi di ruangan ini.

Mamah dan Putri langsung mendekati Haris yang sudah tak berdaya. Wajahnya juga lebam dan mengeluarkan darah.

Adit masuk ke dalam meninggalkan mereka.

"Kamu ikut masuk ke dalam, temani Adit sebentar. Buat emosinya reda!" perintah Anton pada Kiran.

Perempuan yang merasa di tunjuk langsung mengangguk walaupun jantungnya sekarang semakin berdetak. Bagaimana tidak, pasti nantinya Adit akan marah besar karena Kiran sudah membawa Putri dan Haris bertemu dengan Mamah.

Kiran menoleh mencari sosok Adit di ruang di dalam. Sayangnya ruangan ini terasa gelap karena cahaya matahari tak mampu menerangi ruangan ini.

"Adit?" panggil Kiran lirih. Namun, tak ada jawaban sama sekali. Kiran meraba dengan tangannya takut menabrak sesuatu di depannya.

"Bruk!!"

Hampir saja perempuan itu terjatuh karena seperti menabrak sesuatu. Pandangan Kiran langsung tertuju pada bawah, ternyata Adit sedang duduk di atas lantai.

"Adit?" panggil Kiran sekali lagi. Ia menyamakan posisi tubuhnya menjadi berhadapan dengan Adit.

"Adit, kamu tidak apa-apa? Luka kamu?" tanya Kiran dengan hati-hati. Hampir saja tangannya menyentuh wajah yang sudah penuh luka.

Laki-laki itu hanya bergeming sambil menatap perempuan itu dengan penuh kebencian.

"Aku tidak percaya jika kamu jahat sama aku," tuduh Adit dengan sengit.

"De-dengarkan aku sebentar. Please."

"Aku kecewa sama kamu."

"Dit, beri aku waktu sebentar saja untuk menjelaskannya."

Gelengan lemah kepala Adit membuat Kiran semakin menciut.

"Aku benci sama kamu!"

Mata Adit semakin memerah, sedangkan Kiran sudah berkaca-kaca hendak menangis.

"PERGI!!!"

Bentakan Adit membuat Kiran mengangkat wajahnya yang sudah berlinang air mata. Ia bangkit meninggalkan laki-laki itu yang masih di rudung emosi.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top