Bab 9. Berangkat Bersama
Dia bukan tipe cowok yang mau mengantar cewek pulang pergi ke sekolah seolah mereka bersaudara Tristan langsung mengungkapkan hal itu, namun Amelia tidak menggubris kata-katanya. Telepon itu lagi-lagi dimatikan secara sepihak, dan Tristan tidak punya pilihan selain menjemputnya.
Komplek perumahan Amelia masih sama seperti kemarin. Sepi mencekam. Seolah hanya nyanyian burung dan gonggongan anjing yang mampu bersuara. Tristan bertanya-tanya sendiri. Begitu individualis sekali komplek ini. Adanya pagar yang menjulang sudah cukup menggenapkan penilaian.
Kini Tristan berfokus pada pagar di depan hidungnya. Memencet bel di samping pagar. Sampai seorang bapak-bapak berkumis tebal membuka pagar dengan gaya acuh tak acuh. Tristan menyakini kalau orang itu pasti salah satu pengawal yang belum pernah dia lihat.
"Ada apa?" tanya bapak itu mengamati Tristan dan beralih melihat sepedanya.
"Saya mencari Amelia, mau menjemput," jawab Tristan spontan.
Bapak tadi mengerutkan kening. "Jemput? Ke mana? Ini masih pukul 05:20. Lagipula, Amelia nanti diantar naik mobil kok."
"Tapi, saya sudah janji mau menjemput ke sekolah," ujar Tristan menahan kejengkelan.
"Masuk sekolah kan jam 06:30. Buat apa datang pagi-pagi? Mau mengajak anak saya membolos, ya?" tuding bapak itu.
Ganti Tristan yang tercengang. Sebelum dia sempat menjawab, Amelia muncul dengan piama pink dan parutan timun yang menempel di wajah.
"Hai, Tristan," sapa Amelia yang kemudian menoleh ke bapak berkumis tebal tadi. "Pa, ini Tristan, teman yang sering aku ceritain itu loh."
Tristan menenguk ludah karena salah menilai. Sementara Ayah Amelia hanya mengangguk-angguk. Berbalik pergi saat istrinya mengatakan ada telepon penting. Meninggalkan Amelia yang masih mengamati Tristan, begitu juga sebaliknya. Tristan tercengang. Cewek itu sama sekali belum menunjukkan tanda-tanda bersiap sekolah. Dia justru masih memakai piama dan parutan timun menutupi wajahnya, menyisakan bola mata dan bibir mungil yang sedari tadi mengerucut.
"Ini masih pagi banget," kata Amelia.
"Emang siapa bilang ini malam? Gue biasa berangkat ke sekolah jam segini kok. Ayo, cepetan. Mau berangkat bareng, enggak?"
"Iya. Iya. Aku siap-siap dulu, ya," sahut Amelia sambil tersenyum. Membuat beberapa parutan timun jatuh dari pipinya. "Kamu masuk aja dulu. Tris, udah sarapan?"
"Gue udah sarapan. Udah cepetan, ntar telat nih," jawab Tristan sambil bersunggut-sunggut.
"Ini masih pagi Tristan, enggak bakal telatlah. Ya udah aku siap-siap deh," katanya.
Tristan tidak punya pengalaman menunggu cewek selesai mandi, berpakaian dan berdandan. Tapi kali ini dia mendapatkannya. Menunggu Amelia bersiap-siap itu ternyata seperti satu juta cahaya. Lama sekali sampai jarum pendek menunjuk angka enam. Ia mendidih sendiri. Ingin masuk tapi bukan tindakan sopan. Menunggu saja tapi menjengkelkan.
"Den Tristan, ini diminum dulu," kata perempuan paruh baya berdaster lebar sambil meletakkan segelas air mineral ke meja.
Tristan mendongak dan menjawab, "Terima kasih, Bu."
"Oh iya, Non Amelia bilang katanya suruh tunggu aja dulu. Soalnya Non Amelia lagi siap-siap, baru aja sarapan," tutur perempuan paruh baya itu lemah lembut.
Tristan ingin meledak marah. Dia mengabiskan waktu lebih dari tiga puluh menit dan mendapati kalau Amelia belum juga keluar untuk berangkat sekolah. Pengin rasanya menerobos masuk rumah dan menarik paksa Amelia agar cepat-cepat. Tapi tidak mampu meletupkan emosi di depan asisten rumah tangga yang welas asih itu.
"Den Tristan satu-satunya cowok yang baru diajak ke rumah, loh," kata perempuan itu sambil tersenyum riang, "dulu pernah di kampung, cowoknya enggak cocok sama Non Amelia. Tapi itu cowok maksa banget mau ketemu Non terus di rumah. Beruntung setelah pindah, Non Amelia enggak pernah diganggu lagi. Sekarang, malah Non Amelia yang ngajak cowok ke rumah. Apalagi ada Ibu dan Bapak. Mungkin. Ini baru mungkin ya, Den. Non Amelia senang bergaul dengan Den Tristan."
Dia hanya tergugu. Memikirkan jawaban yang sopan seperti keramahan perempuan tersebut. Hingga dia menjawab, "Barangkali karena dia memang sedang butuh teman saja."
"Bukan butuh tapi memang layak dijadikan teman. Non Amelia selalu tulus dalam bergaul," jawabnya cepat.
"Kemarin saya ke sini, kok Ibu enggak ada?" tanya Tristan mengalihkan pembicaraan.
"Jangan panggil Ibu atuh, Den. Panggil Bibi aja. Mungkin Den Tristan datangnya saat Bibi ke pasar."
Tristan mengangguk-angguk, tidak tahu lagi harus merespons apa.
"Den Tristan, maaf kalau lancang," kata Bibi itu membuka suara. "Tapi enggak baik menyimpan kepedihan sendiri. Sedangkan bertingkah seperti tidak terjadi apa-apa."
Dia tercengang. "Maksud Bibi?"
"Bibi!" seruan dari dalam rumah membuyarkan keseriusan pembicaraan mereka.
"Den, nanti kita bicara lagi, ya," kata Bibi sambil masuk ke rumah dengan tergopoh-gopoh.
Tapi tidak ada lagi pembicaraan lanjutan setelah itu. Amelia lebih dulu keluar dengan senyum cerah dan mengajaknya berangkat ke sekolah. Sedangkan Bibi itu belum juga menunjukkan batang hidungnya saat Tristan bersiap keluar sekolah. Hingga akhirnya beranjak pergi.
"Lo lama banget ngapain sih?" tanya Tristan disepanjang perjalanan.
Amelia mencengkram ujung-ujung baju cowok itu saat menuruni tanjakan. "Tidur. Habis kamu datang pagi banget. Cuma sebentar kok. Kan tadi aku langsung siap-siap. Enggak bakal telat."
"Ngomong sih gampang," sahut Tristan kecut.
Amelia menepuk punggung tengah cowok itu dari belakang. "Tenang aja. Eh, kamu belum pernah bolos sekolah, ya?"
"Enggaklah, apa gunanya sekolah kalau anak muridnya lebih milih kabur enggak jelas juntrungannya." Tristan menjawab dengan gusar.
Setelah melewati pertokoan, Tristan mengayuh sepedanya ke arah kanan. Mengambil jalan pintas agar tak telat. Ia harus membuka gerbang sebelum anak-anak menggerutu karena pagar sekolahnya belum terbuka. Tristan tidak ingin disalahkan oleh Pak Satpam karena keteledoran Amelia yang terlalu bersantai-santai.
"Buru-buru banget sih," teriak Amelia sambil mencengram lebih erat baju Tristan.
"Iya. Ini gara-gara lo telat," sembur Tristan memacu kendarannya dengan lincah.
Bentuknya yang ramping membuat kendarannya meliuk-liuk di tengah kemacematan kendaraan bermotor. Diperempatan, beberapa mobil dan motor datang menyalip meski sudah tahu lampu merah. Yang lainnya memakirkan kendaraan di bahu jalan menyebabkan jalan semakin sempit, belum lagi sedang ada pembangunan jembatan layang. Semua kendaraan tumpang tindih di sana. Motor-motor bebas menyalip kanan-kiri sehingga mobil semakin sulit bergerak. Truk dan bus besar ikut tersangkut.
Tristan hanya menggeleng kepala, dan mematahui rambu lalu lintas dengan taat. Di belakang tubuhnya, Amelia sampai gemas sendiri karena Tristan belum juga mengayuh sepedanya saat mendapat jalur jalan yang sepi. Menunggu lampu hijau dulu, katanya.
"Kamu terlalu taat pada semua aturan. Bagaimana bisa have fun?" tanya Amelia saat mereka sampai. Ia tidak menunggu jawaban, langsung ngeloyor menenangkan murid-murid yang menggerutu menunggu pagar di buka. Tangannya ekspresif saat menjelaskan apa yang terjadi. Mudah baginya memenangkan hati mereka.
Tangan Tristan lihat membuka gerbang, hingga murid-murid masuk berbondong-bondong. Wajah yang semula merah itu terganti senyum. Sayang Tristan tidak mendengarkan kotbah Amelia yang mampu mengubah suasana hati orang begitu saja.
Begitu semua sudah masuk, menyisakan keduanya di depan gerbang. Tristan menepuk kening cewek itu dengan ringan. "Semua orang harus taat sama aturan. Itu prinsip yang harus dilakukan semua orang. Dan gue udah menerapkan hidup itu sejak lahir. Lo tahu apa yang terjadi? Semua serba rapi jadinya."
Amelia tergelak. "Astaga. Kamu terlalu kaku. Bagaimana bisa merasakan indahnya masa putih abu-abu?"
Cowok itu hanya mengangkat bahu, enggan menjawab. Tangannya menuntut sepeda. Sedangkan Amelia berjalan beriringan di sisinya. Meski hanya berjalan sebentar, cewek itu punya segudang topik pembicaraan yang Tristan tanggapi hanya dengan anggukan.
Tristan baru sadar betapa bawel teman sebangkunya itu. Bahkan tubuhnya tersetrum saat Amelia menarik tangannya untuk ke kantin. Itu hanya tindakan luwes biasa. Namun mampu membuat Tristan bertanya-tanya. Apa yang terjadi pada dirinya? Mengapa hatinya selalu menghangat saat bersama cewek itu?
Uhuk...
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top