Bab 8. Latihan

"Bisa enggak lo berhenti telepon?"

Tristan tidak percaya dirinya mau menjawab telepon menjengkelkan tersebut. Sepanjang hari, Tristan mencoba mengabaikan dengan melakukan hal-hal bertanggung jawab. Mencuci baju, menjemur pakaian, menyapu, mengepel, membersihkan pekarangan dan menyiram bunga. Setelah usai, dia mandi, sarapan, dan kembali ke kamar menemukan fakta kalau telepon tidak berhenti berdering.

"Setidaknya kamu masih punya alat komunikasi," sahut Amelia di seberang dengan geli.

"Ini bukan punya gue. Tapi punya tante. Dari mana sih lo dapet nomor telepon rumah ini?"

"Ada Siska, ketua kelas yang punya nomor tante kamu. Kamu tahu kepala sekolah yang dulu meninggal dari rantai pesan anak-anak, kan? Terus Siska juga mengirim pesan itu ke tante kamu supaya bilang ke kamu," jelas Amelia tertawa renyah, "tante kamu percaya banget sama Siska, ya? Sampai kasih kontak pribadi ke Siska dan nomor telepon rumah sekalian. Kamu sama Siska pernah pacaran?"

Tristan mendengus. "Seumur hidup, gue enggak pernah dan enggak percaya pacaran, ya. Membuang-buang waktu."

"Mungkin karena kamu belum pernah mengalaminya," sahut Amelia spontan.

"Gue enggak perlu mengalami sesuatu dulu untuk merasakannya. Dari segi penglihatan, semua orang juga tahu kalau pacaran itu membuang waktu."

"Membuang waktu gimana?"

Tristan mendengar Amelia cekikikan. Jelas kalau cewek itu berusaha membangun relasi sosial dengannya. Tristan tidak menyukai gagasan tersebut. Dia menyemburkan napas. "Kalau lo menelpon cuma mau ngobrol. Gue sama sekali enggak punya waktu untuk hal semacam ini."

"Buktinya sekarang kamu mengobrol denganku," jawab Amelia ceria.

Cukup sudah, batinnya. Tristan menutup telepon, mencabut kabel dari stop kontak sekalian. Dan keajaiban terjadi setengah jam kemudian ketika tantenya mengetuk pintu dan menyerahkan ponsel kepadanya dengan wajah berseri-seri.

"Dari temanmu," kata Tante Lara yang tidak mampu menyembunyikan letupan kegembiraanya. Menyadari bahwa Tristan akhirnya memiliki seorang teman sungguhan.

"Aku tidak punya teman." Tristan menatap Tante Lara dan ponsel secara bergantian.

Tante Lara menggaruk kepala yang tak gatal. "Dia mengaku temanmu. Atau mungkin ini salah sambung? Tante akan menutupnya kalau begitu."

"AKU AMELIA. TEMAN SEBANGKU TRISTAN!"

Tristan nyaris tersendak ludah sendiri saat mendengar Amelia berteriak. Tante Lara tercengang dan menyerahkan ponsel cepat-cepat ke tangan Tristan sambil mengedipkan sebelah mata. Tristan tidak mengerti kode-kode semacam itu jadi dia hanya menatap Tante Lara yang berjalan menjauh dan hilang menuruni tangga.

"Amelia," ketus Tristan sambil memasuki kamar dan menutup pintunya. Seolah takut kalau tantenya mendengar percakapan. "Lo ngapain nelpon? Gue sibuk. Besok di sekolah juga ketemu."

"Astaga, kamu enggak tahu seni mengobrol secara tidak langsung dan—"

"Amelia," sergah Tristan. "Hidup gue damai sejahtera tanpa lo. Enggak pernah ada telepon, kecuali dari Tante Lara. Jadi, tolong jangan melakukan tindakan konyol. Usaha sosialisasi lo gagal. Selesai. Jangan menelpon lagi."

Tristan baru akan menutup telepon, tapi didengarnya suara isakan Amelia. Dia tak percaya cewek itu menangis hanya karena ucapan tadi. Sejak mama meninggal, Tristan tidak tahan mendengar cewek menangis apa pun penyebabnya. Mungkin Amelia memang sedang ingin melakukan hal bodoh.

"Oke, lo mau ngobrol apa aja bakal gue dengerin. Udah jangan nangis," kata Tristan dengan suara berat. Masih terdengar isakan Amelia di seberang telepon. "Gue bakal lakuin apa pun buat lo hari ini supaya lo enggak nangis. Telinga gue sakit dengarnya."

Mendadak isakan Amelia lenyap, terganti pekikan gembira. "Aku mau kamu main ke rumah lagi. Bawa sepeda, ya!"

Telepon dimatikan begitu saja sebelum Tristan sempat menyela. Ini pasti hanya akal-akalannya saja. Cewek itu pura-pura menangis dan berlagak lemah sehingga mengabulkan keinginannya. Tristan punya kesempatan untuk menelpon balik dan mengatakan dia tak akan datang. Tapi dia tak melakukannya. Memilih bersiap dan mengembalikan ponsel ke Tante Lara ketika berpamitan pergi sebentar. Om Agus yang berada di teras nyaris terjengkang dari kursinya ketika tahu Tristan akan pergi ke rumah teman sekolah.

Siang hari, Tristan menambahkan kemacetan di tengah-tengah liburan pekan . Dia mengayuh sepedanya semakin cepat, melesat ke komplek perumahan mewah orangtua Amelia. Jika dia menjadi Amelia, dia juga pasti akan kesepian dan membutuhkan teman. Kumpulan orang berjas hitam yang hanya mementingkan diri sendiri dan uang.

Tristan tak terlalu terkejut kalau Amelia memiliki pengawal. Dia terkejut karena Amelia tidak risih. Cewek itu bersikap normal dan apa adanya. Tidak kaku untuk menjaga martabat keluarga, apalagi bersikap sok, dangkal dan sombong. Pemikiran tersebut yang menemani Tristan selama perjalanan.

Sesuatu berubah dalam dirinya selama beberapa hari terakhir. Mengobrol dengan Amelia, pulang bersamanya, datang ke rumah cewek itu, kerja kelompok pelajaran, membicarakan buku dan sekarang, dia seperempat jalan sampai di depan rumahnya.

Tristan menggelengkan kepala. Mengenyahkan pikiran tersebut.

"Tristan! Tris!" Amelia melambaikan kedua tangan ke atas.

"Wow," gumam Tristan sinis. Tak terbayang kalau Amelia akan sesenang itu bertemu.

"Hai. Selamat sore menjelang malam," kata Amelia. Tangannya menarik-narik ikatan rambut dan melepasnya. Helai rambut langsung bebas menyapu dan membingkai wajahnya.

Tristan mendengus. "Lebih bagus diikat rambutnya."

"Maksudnya lebih cantik?"

Sebelum Tristan sempat melontarkan kata-kata tajam, Amelia langsung mengikat rambutnya. Bibir melengkungkan senyum dan binar mata terarah lurus pada Tristan.

"Oke deh, aku udah siap. Ayo berangkat," seru Amelia.

"Berangkat ke mana?"

"Ke jalanan sebelah sana, mau belajar naik sepeda. Aku enggak punya sepeda. Ayah beliin aku motor. Kalau mau mobil juga boleh, katanya. Tapi yang bawa harus Pak Ipin dan dalam pengawasan pengawal. Sedangkan, kamu kan selalu naik sepeda ke sekolah. Jadi, enggak nyambung banget. Gimana aku mau naik motor, atau mobil kalau enggak bisa naik sepeda? Ya, kan?" Amelia berbicara panjang lebar seperti petasan.

"Apa?" Seketika Tristan sadar bahwa membawa sepeda adalah kesalahan.

Amelia celingak-celinguk. Sama sekali tidak memerhatikan reaksi Tristan. "Kacamata aku mana, ya? Tadi udah aku pake. Kayaknya ketinggalan di kamar deh. Aku ambil dulu, ya! Jangan pergi."

Sebelum Amelia sempat beranjak, Tristan mencekal tangannya. "Itu kacamata lo di atas kepala!"

Sontak cewek itu meraba kepalanya dan tersenyum tanpa dosa. "Oh, ya lupa. Ya udah, yuk!"

Dengan ogah-ogahan, Tristan mengiyakan juga mengajarinya. Dia tak jamin ada orang yang lebih baik untuk mengajari Amelia.

"Aku mesti gimana nih?" tanya Amelia sambil menaiki sepeda, duduk di sadel, memegang stang dan kakinya menjijit di aspal hingga akhirnya ia memilih berdiri.

"Lo mesti berusaha menyeimbangkan. Kalau terlalu ke kiri, lo posisikan tubuh ke kanan. Begitu juga sebaliknya," jelas Tristan, lalu menunjuk stang sepeda. "Ingetin, Amelia, kalau rem ban depan ada di sebelah kanan, sedangkan rem ban belakang ada di sebelah kiri. Jangan terlalu banyak ngerem, nanti bannya makin halus. Dari pada teori doang, langsung aja lo coba."

"Ini tinggi banget sadelnya," rengek Amelia.

Tristan memberi isyarat agar cewek itu menyingkir agar dia bisa mengatur seatpost ketinggian. Amelia menyuruhnya untuk meletakkan sadel paling pendek. Tristan tak membantah.

Amelia tersenyum puas ketika merasa nyaman di sepeda. Tristan tersenyum miring. "Jangan kelamaan duduk. Ayo, latihan!"

Satu jam berlalu, latihan naik sepeda tidak sesuai ekspektasi Tristan yang berjalan mulus dan bisa pulang cepat. Amelia sering jatuh karena tidak tanggap menyeimbangkan. Padahal dia sudah menjaga agar sepedanya mulus, sedangkan Amelia membuat lecet.

Mengingat akibat dari cara ogah-ogahan mengajari dan yang diajar juga kurang bersemangat, Tristan akhirnya lebih termotiasi untuk fokus. Sedangkan Amelia menangkup kedua pipi dan keringat dingin menetes. Tristan hanya mengamati tanpa suara, heran sendiri. Seolah menangis dan menggigil ketakutan akan mempermudah pelajaran mengendarai sepeda dengan tepat.

"Aku enggak bisa. Aku enggak bisa," raung Amelia.

Tristan berdeham. "Lo pasti bisa. Semua orang di dunia bisa naik sepeda."

"Kecuali aku." Amelia bermonolog tentang betapa menyedihkan tidak bisa mengendari sepeda sementara semua orang bisa melakukannya.

Tristan pura-pura batuk untuk mengingatkan Amelia bahwa dia masih ada di situ dan muak mendengarkannya. "Jangan dramatis gitu. Orang bisa karena biasa berlatih. Besok belajar lagi. Ini kan malam sekolah. Gue juga awalnya enggak langsung jago, kok. Udah enggak usah dipikirin."

"Satu jam lagi, deh," tawar Amelia.

Tristan mengangguk pasrah. Dia tidak mungkin melewatkan makan malam bersama dan membiarkan Bi Ami mengerjakan pekerjaan rumah sendiri. Namun di lain sisi, dia juga tidak bisa mematahkan semangat Amelia untuk belajar. Siapa tahu sesudah bisa naik sepeda, hidupnya akan kembali normal. Tanpa tawa dan ucapan Amelia yang kelewat riang untuk Tristan. Juga tidak perlu untuk mengantar pulang.

Membayangkan kalau hidup lamanya akan kembali, frustrasi Tristan menguap. Dia menyemangati Amelia dan memberitahunya agar tidak mematahkan gerakan stang saat mencoba membelok. Tristan juga memberi tahu agar Amelia tidak terus menghentikan sepeda dengan kaki dan mengabaikan fungsi rem.

Amelia memang menyimak, namun mengulang kesalahan yang sama di menit selanjutnya. Seolah ucapan Tristan hanya embusan angin lalu.

Begitu jam menunjukkan pukul tujuh lewat lima belas menit, Tristan langsung meminta Amelia pulang dan istirahat. Amelia kali ini menurut.

"Luka habis jatuh itu diobatin nanti, cuma lecet doang," kata Tristan mengingatkan. "Belajar naik sepeda kalau belum jatuh itu berarti belum belajar."

"Kenapa sih kamu memilih naik sepeda dibanding sepeda motor? Kan lebih praktis, efektif dan efesien," tanya Amelia yang serupa pendoman menulis paragraf di buku cetak.

"Ada tiga alasan. Pertama, Jakarta itu udah penuh kendaraan bermotor. Makin global warming dan penipisan ozon kalau gue ikut-ikutan pake. Car free day cuma satu atau dua hari. Itu pun cuma di lokasi tertentu doang. Kedua, gue percaya kalau sepeda adalah solusi paling gampang," kata Tristan datar.

"Lalu, yang ketiga?"

Karena sepeda ini satu-satunya barang peninggalan mama. Tristan ingin sekali mengatakan itu, tapi kata-katanya tertelan sendiri dan menyesakkan dada.

Amelia masih menunggu dengan iris mata membulat. "Yang ketiga apa?"

"Gue mau pulang. Lupain aja omongan tadi. Besok kita belajar sepeda lagi kalau lo mau," kata Tristan sambil menaiki sepeda.

Sebelum Tristan sempat mengayuh, Amelia merespons. "Besok jemput, ya? Soalnya aku mau belajar pulang pakai sepeda juga."

Ingin rasanya Tristan membenturkan kepala ke aspal.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top