Bab 3. Frienemy
Amelia tampaknya tidak mementingkan popularitas. Tapi namanya langsung menyebar luas. Tristan tidak mengerti di mana letak daya pikat cewek mungil. Fakta bahwa matanya cokelat gelap selalu membuat cewek sekelas bertanya, jenis softlens apa yang digunakan Amelia. Dan dengan ceria, Amelia selalu berkata bahwa itu iris mata aslinya karena punya silsilah keluarga Paris. Lalu, pertanyaan bergulir tentang alat pemutih kulit agar bisa seperti kulit mulus Amelia. Percakapan-percakapan menjengkelkan itu membuat Tristan muak.
Tidak bisakah mereka berbicara di tempat lain? Tapi, tempat duduk Amelia di sampingnya persis. Begitulah cewek kalau sudah berkumpul. Berisik. Tidak mau saling mengalah untuk memberi kesempatan yang lain berbicara. Keputusan salah menerimanya sebagai teman sebangku.
Sekarang dia harus menerima akibatnya sendiri. Mendengar cewek merumpi, berisik dan membicarakan si ketua OSIS, Jonathan. Tampangnya membuat terpikat, begitu kata Ghiselle saat mempengaruhi Amelia. Tapi, saat mendengar kata terpikat, Amelia justru melirik ke arah Tristan. Ketika itu Tristan tidak tahu apa yang ada dalam benaknya.
Tristan membiarkan pemikiran itu melayang-layang di otak sepanjang dia mengayuh sepeda. Burung-burung berkicau. Tidak terlalu ramai. Kondisi di Jakarta semakin ganas. Pohon-pohon ditebang untuk memperluas gedung pencakar langit. Taman kota mulai berkurang untuk membangun hal yang mereka sebut "proyek kepentingan bersama" dan sialnya, Tristan sama sekali tidak melihat di mana letak kepentingan itu.
Mama selalu bilang, hal bisa dilihat dua sisi. Baik dan buruk. Mama selalu melihat hal-hal baik. Proyek beragam pembangunan yang katanya demi kesejahteraan warga. Tristan bukan melihat hal buruk, tapi pembangunan itu hanya membuat bumi semakin sengsara. Pagi saja rasanya seperti siang. Burung mulai menipis keberadaannya. Kupu-kupu mati sebelum terbang. Anak-anak tercermar polusi dari kendaraan yang makin marak. Ini peringatan dari bumi. Globalisasi. Tapi, tampaknya manusia lupa sifat dasarnya. Banyak manusia tapi tidak ada yang memiliki sifat kemanusiaan.
Tristan memperlambat laju sepedanya ketika melihat seseorang meringis-ringis di depan pagar sekolah. Sepeda motor bebek terguling di sampingnya.
"Amelia?"
Jika mamanya yang melihat ini, dia pasti akan menggendong cewek itu. Merawat, memperhatikan secara jeli dan menuruti semua kemaunya. Tapi, Tristan bukan mama. Meski dia mencoba sekuat tenaga untuk semirip dengannya.
Amelia mendongak. Duduk di aspal. Rok abu-abu bagian kanan penuh guratan kasar. Cewek itu hanya melolong memegang pahanya. Motor tertidur mengenaskan di aspal. Kuncinya masih tersangkut di kunci kontak.
"Lo ngapain sih?" tanya Tristan.
Amelia menyemburkan napas. "Aku juga bingung kenapa bisa di sini!"
"Kalau mau duduk jangan di sini. Tuh di dalam kelas ada banyak!"
"Aku habis kecelakaan motor tahu! Tolong tarik tanganku, Tris."
Tristan mengulurkan tangan, hendak membantu menarik. Namun Amelia merosot lagi, terduduk di aspal. "Sakit banget paha kebawah, Tris. Ketiban badan motor. Tadi ada mobil yang menyerempet motorku gara-gara jalannya lama," katanya panjang lebar.
"Jalan pelan-pelan," gerutunya.
Amelia menggeleng kuat. Air matanya berdesakan di pelupuk mata. "Pusing."
Mau tak mau Tristan mengambil kunci motor, memasukkannya ke kantong celana, dan menukik. Menarik tangan Amelia, melingkarkannya ke leher Tristan. Hidungnya mencium wangi aloe vera segar dari rambut keriting pendek Amelia. Mengingatkannya akan tumbuh-tumbuhan yang dirawat mama di taman. Dia mempercepat langkahnya agar sampai UKS. Untung sekolah masih sepi, tidak bisa dibayangkan jika dia melakukan ini dalam keramaian.
Amelia mengomel. "Jangan cepat-cepat. Kulitku terjepit. Ah, sudahlah, kita sudah di UKS."
Tristan memindahkan bobot tersebut ke ranjang besi. Cekatan mengambil air untuk mengusap luka di kening Amelia. Sementara Amelia mengomeli cara Tristan mengobatinya.
"Kamu mau mengobati atau mengajak perang besar-besaran sih?"
"Gue udah bilang jangan bawa motor. Masih aja ngelawan," gerutu Tristan, "sudahlah berbaring aja. Jangan bergerak kayak cacing kepanasan."
Tristan mengambil kotak P3K, menekan alkohol kuat-kuat ke setiap luka. Antara dongkol dengan kecacatan Amelia membawa motor dan pelampiasan. Kedua-duanya membuat Amelia meringis-ringis. Luka parut Amelia memanjang di tangan. Dia pasti sempat terseret beberapa senti, pikir Tristan. Jaket putihnya kotor oleh debu. Dia menyingkirkan barang tersebut, melempar asal-asalan ke pojok ruangan. Memberikan antiseptik povidon pada tangan dan kening Amelia.
Setelah memeriksa tangan dan kening yang darahnya mulai mengering, Tristan meletakkan kotak P3K di dekat Amelia. "Bersihin sendiri luka di paha dan kaki lo."
"Kamu mau ke mana?" Amelia bergerak mengejutkan. Berusaha turun dari ranjang dan refleks langsung memegang tumit. Meringis lagi.
"Ke kelas." Tristan menyahut datar. Berjalan di koridor dengan perasaan uring-uringan. Belum juga masuk kelas, Tristan tersentak, teringat sepeda dan motor di depan gerbang sekolah.
"Pete busuk!" Tristan memaki udara dan berbalik arah. Berlari kecil keluar sekolah. Sepeda dan motor sudah tidak ada. Dia bergegas ke pos satpam, hendak bertanya. Di sanalah dua kendaraan beda kerangka itu berada. Satpam sedang berbicara dengan orang berpakaian jas hitam. Orang yang pasti berpikir dirinya intelek, pikir Tristan.
Tristan merogoh saku celana. Memasukkan kunci ke kontak kunci motor dan mengendari motor ke parkiran. Kembali lagi ke pos satpam untuk memindahkan sepeda. Satpam dan orang berpakaian jas hitam sedang berjalan ke arah kantor guru, sama seklai tidak menyadari kehadirannya. Begitulah cara mereka berperilaku, batin Tristan sambil menuntun sepeda. Berbicara di tempat resmi seolah sedang membicarakan bom nuklir. Hanya orang berpakaian jas hitam yang bertingkah menjengkelkan seperti itu.
Setelah meletakkan sepeda. Tristan memasuki kelas dengan perasaan dongkol. Cewek pendek yang sok pintar membawa motor bebek. Di mana orangtuanya? Orang seperti dia harusnya tidak boleh membawa motor. Orangtuanya pasti tahu itu. Kaki-kakinya yang pendek pasti selalu kesulitan menyentuh aspal jika ingin menahan motor agar tidak terguling seperti tadi.
Dia menyemburkan napas dan melempar tas ke bangku. Menggumamkan kata "semut busuk" ke meja. Lalu membanting diri ke bangku kayu. Mengeluarkan buku dan peralatan meski guru belum masuk. Ketika Tristan hendak membuka buku, telinganya menangkap percakapan dari arah pintu. Tiga cewek baru masuk kelas dengan menyebut nama "Amelia".
"Itu Papanya kali yang dateng. Langsung jemput Amelia." Cewek pertama berbicara setelah selesai mengunyah keripik.
Cewek kedua yang rambutnya diwarnai dengan gradasi kecoklatan menyahut, "Kok Papanya bisa tahu, ya? Kayak anak kecil aja pake orangtua perhatiin."
Cekikikan sebentar. Yang cewek ketiga dengan rambut dikonde ikut berkomentar, "Padahal jatuh dari motor doang. Langsung dibawa pulang. Amelia sih sempet berontak gitu. Ih, malu-maluin. Udah gede pakai dijagain. Itu bodyguard kali. Atau supir. Who's cares?"
"Anak Mami," sahut cewek pertama
Percakapan bergulir begitu saja, membahas tentang cowok.
Tristan tersenyum sinis. Who's cares? katanya, tapi membicarakan juga dari belakang. Apa namanya kalau bukan peduli coba? Ingin sekali menyahut. Namun Tristan tidak ingin membuang waktu dengan omong kosong macam itu.
Hari dilalui Tristan dengan biasa. Pelajaran silih berganti, istirahat, mulai lagi pelajaran, istirahat untuk ibadah dan makan siang, dan dilanjuti dengan pelajaran. Hampir semua memberikan tugas rumah. Tugas yang akan dikerjakan di sekolah oleh murid tidak tahu aturan. Tristan selalu menolak memberikan hasil tugasnya cuma-cuma meski mereka menyebut dirinya "teman". Teman mengerjakan tugas bersama, bukan menyalin jawaban bersama.
Ketika bel pulang berdering, Tristan merapikan buku-bukunya. Memasukkan sampah ke saku untuk dibuang nanti. Saat itu dia menyadari sesuatu. Tangannya meraba besi dingin berbentuk kunci di saku. Kunci motor Amelia tertinggal. Tristan mendengus. Cepat-cepat ke UKS. Cewek itu sudah tidak ada, bersama dengan tasnya. Tapi, jaket putihnya tergeletak di lantai. Posisi yang sama persis ketika beberapa jam lalu dia melemparnya.
"Tristan?"
Tristan memunggut jaket itu dan membalik badan. Bu Mei menatapnya tulus. "Amelia, sudah pulang, Bu?" tanya Tristan datar.
"Ya. Supirnya yang tadi menjemput," kata Bu Mei sambil memasukkan gulungan kasa ke dalam lemari.
"Supir?"
"Ya. Supirnya datang ke sini atas perintah Papanya untuk menjemput. Katanya si supir lihat Amelia jatuh dari motor dan dibawa murid cowok ke UKS," kata Bu Mei sambil beralih mengecek isi nakas. "Tadi guru-guru belum datang, jadi enggak lihat kejadiannya gimana."
Tristan mengolah informasi dengan tercengang. "Jadi, Amelia benar baru bawa motor ke sekolah?"
"Sepertinya begitu. Kamu jengkuk saja. Sekalian kasih catatan pelajaran hari ini yang ketinggalan. Tolong, ya. Ibu ke ruang guru, kamu tunggu di depan saja." Bukan kalimat pertanyaan, lebih berupa sugesti agar setuju. Begitulah cara wali kelas memberikan kalimat persuasif agar semua muridnya mengikuti aturannya.
Sesaat ingin menolak, namun Tristan ingat harus mengantar motor itu. Mau tak mau dia menunggu. Bu Mei datang lagi menghampirinya dengan wajah semringah.
"Amelia bisa menjadi teman istimewa," kata Bu Mei sambil menyerahkan selembar kertas. Semua orang tahu bahwa tidak ada yang istimewa dimata Tristan. Hanya saudara dan mamanya yang selalu di agung-agungkan Tristan.
Biasanya saudaranya akan berbasi-basi dengan mengucapkan kalimat santun sebagai jawaban. Sementara mamanya akan mengangguk setuju. Tapi, kombinasi itu tidak terjadi pada Tristan. Seakan tidak ada pembicaraan sebelumnya, Tristan bergegas ke parkiran lagi. Melihat alamat yang tertulis rapi. Saudaranya pasti akan mencari segala informasi di internet. Orang lebih sibuk dengan mesin pencariaan tersebut dibanding mempelajari situasi daerahnya. Saudaranya selalu mengomel cara Tristan mengeja Google, yang menurutnya dibaca Goog-le bukan gugel. Mama tidak banyak berkomentar saat kejadian tersebut.
Tidak ada pilihan lain, Tristan memasukkan sobekan kertas ke dalam saku sambil berjalan ke parkiran. Mengecek sepedanya. Setelah yakin masih terkunci, Tristan bersiap mengendarai motor Amelia. Menyemburkan napas. Sudah cukup hari ini, pikirnya.
Hello readers,
Vote dan komentar sangat berarti untuk perkembangan cerita. Jangan jadi silent readers, ya.
Salam dari Tristan yang sentimental. :)
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top