Bab 2. Pertemuan Pertama Dengan Si Kucing



Tristan datang lebih pagi di hari Selasa. Baginya piket bukan sekadar tugas, melainkan juga tanggung jawab. Koridor sekolah masih sepi. Tidak ada murid waras yang datang di jam 05:00. Satpam juga menyerah adu mulut tentang cara Tristan masuk.

Melompat pagar sekolah, datang ke rumahnya hanya untuk meminta kunci kelas dan sungguh mengganggu orang tidur. Tapi, bagi Tristan itulah seni berdebat dan berbicara. Kunci sekolah yang selalu ada di tangan satpam kini ada dalam genggamannya.

Dua tahun sebelumnya, Tristan tidak pernah berpikir untuk datang pagi seperti ini. Saat kelas satu, ia habiskan waktu dengan berdiam diri di depan kelas. Masuk sepuluh menit sebelum bel berdering. Memperoleh nilai A hampir ke semua pelajaran.

Ketika kelas dua, Tristan menantang diri untuk ikut lomba. Masih dengan sikap pendiam. Hingga warna di dunianya berubah hitam. Tristan memutuskan untuk total belajar saja agar cepat lulus.

Ia meletakkan kunci ke dalam kantong celana. Mulai menyapu setiap sudut kelas, kolong meja dan berakhir dengan mengepel. Murid sekarang tidak tahu cara mengepel, karena tangannya lebih sibuk untuk memencet ponsel. Membuang waktu dengan besi tua. Tristan ingat bahwa ia menolak menerima ponsel dari Mama saat kenaikan kelas dua. Menurut Mama, akan lebih mudah untuk Tristan berkomunikasi dengan teman di sekolah.

"Temanku hanya Mama." Tristan menjawab diplomatis.

"Suatu saat kamu pasti punya teman."

"Teman itu hanya ilusi yang diciptakan orang-orang agar tidak merasa sendiri, meski sesungguhnya sendiri."

"Kamu akan menemukan seseorang yang istimewa nanti. Seseorang yang bukan ilusi. Seseorang yang tidak otak kamu ciptakan dan seseorang yang bisa saja kamu sebut sahabat. Tristan, kadang api tidak bisa dibalas api," kata Mama dengan nada lembut. "Sebagian luka tidak bisa selalu digenggam erat. Harus dilepaskan."

Itu kalimat terpanjang dari mama yang Tristan pernah dengar. Ia terlalu terhenyak untuk merespon. Sikap yang berubah-ubah, pemikiran yang sulit ditebak dan luka yang begitu rapat disembunyikan. Seandainya Tristan lebih peka, mungkin ia bisa menemukan lubang dari kepalsuan itu lebih cepat.

Remuk, patah, hancur dan luluh lantak bisa ditambal dengan kasih sayang. Dan mungkin ia bisa menyadari kalau mama sedang menguatkan diri sendiri lewat kata-katanya.

Tristan menyingkirkan kalimat itu ke dasar pikiran. Sudah terlalu banyak kebohongan di setiap hitungan tahun. Ia tidak ingin membenci keputusan pasif mama. Badan Tristan bergerak mendekati lemari. Tangannya terulur ke bagian atas untuk menggapai pengharum ruangan yang menggelinding. Siska, si ketua kelas paling ketus selalu saja memaksakan kehendaknya. Akan lebih baik kalau racun tidak dicampur alat sekolah, katanya. Usul itu tentu saja ditolak anak sekelas. Lebih mudah untuk meletakkan pengharum ruangan di dalam lemari dibanding meraba permukaannya. Lagi pula alat sekolah bukan makanan.

Tangan Tristan menyentuh sesuatu yang berbulu, hangat dan bernapas. Ia menarik tangannya dan menghela napas panjang. Naik meja terdekat. Untunglah sisi kanan lemari menempel dengan meja pojok terdepan. Tristan melongok ke atas lemari dan menyemburkan napas.

"Turun!" perintahnya.

Kucing di atas lemari membuka mata, mengerjap, dan menatap Tristan dengan mencemooh. Badan si kucing berbulu jingga penuh cakaran dan darah kering. Seolah beberapa jam lalu baru mengalami pertarungan sengit. Warna polkadot hitam yang hanya ada di puncak kepalanya, membuat si kucing tampak memakai topi dengan mantel jingga.

Tristan mengayun-ayunkan tangan di depan si kucing agar turun. Dengan gerak gesit kucing itu melompat bebas ke tegel putih. Berbalik badan dan menguap. Cara penghinaan yang membuat Tristan berdecak. Hingga kucing bertopi hitam melenggang anggun keluar kelas.

"Dasar binatang!"

Hinaannya bersamaan dengan alarm chronograph berbunyi panjang. Tristan memencet off pada jam tangan hitamnya dan melompat turun. Hampir pukul enam pagi, saatnya membuka pintu kelas. Ia sudah berjanji pada satpam untuk menggantikan segala tugasnya yang berhubungan dengan kunci.

Tristan mulai berjalan perlahan keluar kelas. Menyusuri koridor. Melompati anak tangga untuk ke ruangan di lantai dua, dan membuka seluruh pintunya. Beranjak ke lantai tiga, melakukan hal yang sama. Menemui anak kucing versi mungil dari kucing yang ditemui sebelumnya.

Kucing itu mengeong lirih seolah belum makan satu abad. Tubuhnya kurus dan itu membuat Tristan jengkel. Dengan sigap, ia menggendong kucing tersebut dan membawanya ke lantai dasar. Membelikan susu, menuangkan sebagian isi ke wadah plastik bekas minuman mineral. Meski dia sendiri tidak bisa memprediksi apa sebenarnya yang dibutuhkan kucing kecil mengenaskan dihadapannya.

Kucing tersebut tremor, mendekati bibir wadah dan meminum. Sedikit saja dan getar tubuhnya sedikit mereda. Suara mengeongnya berubah menjadi manja.

Si kucing bertopi hitam entah datang dari mana. Menghampiri Tristan dengan mata menyipit, mendekati si kucing kecil dan menggigit tengkuknya. Membawa kabur. Hilang di belokan.

"Dasar binatang tidak tahu terima kasih!" umpat Tristan. Meski tahu bahwa kucing tidak bisa mengucapkan sepatah kata pun.

Sebelum memegang kunci, Tristan mencuci tangan dua kali. Beranjak ke pagar utama sekolah untuk membuka gembok. Berkeliling satu sekolah setelah membuka seluruh pintu. Tristan tidak mengidap sindrom Obsessive Compulsive Disorder, tapi sebuah keharusan untuk memastikan segalanya.

Jika ada pintu kelas yang masih terkunci, maka seseorang akan kesulitan masuk dan menyalahkan keteledoran satpam. Apa jadinya jika tanggung jawab dan sebab akibat dilempar seperti bola? Ia tidak ingin satpam atau siapa pun meragukan kredibilitasnya.

Meski satpam yang merangkap menjadi penjaga sekolah, entah bagaimana mendapat izin untuk menginap di sekolah. Membangun rumah di belakang gedung. Membangun rumah tangga dan memiliki segala jenis izin untuk memegang kunci beragam gembok.

Tristan merapikan peralatan pembersihan dan meletakkan sesuai tempat semula. Berjalan ke gedung belakang untuk mengembalikan kunci. Kebanyakan orang terlalu mengabaikan tanggung jawab untuk mengembalikan barang pinjaman. Mendadak merasa memiliki hak penuh atas barang pinjaman tanpa berpikir apa sang pemilik akan membutuhkannya dalam waktu dekat. Mengabaikan kondisi barang yang dipinjam sehingga seringnya selalu saja sama. Barang yang dipinjamkan menjadi cacat. Bukan cacat dalam artian rusak sedikit. Tapi, cacat dalam artian benar-benar membuat emosi sang pemilik memanas.

Tristan tidak ingin menjadi orang kebanyakan itu. Jadi, ia datang bertamu dengan baik-baik ke rumah satpam. Mengembalikan kunci meski terdengar satpam itu sedang melakukan hal-hal yang berhubungan dengan "keceriaan berbagi kasih" kepada sang istri dengan melempar guyonan. Tristan tidak ingin terlalu memikirkannya. Ia mengucapkan terima kasih bersamaan dengan bunyi memilukan badan motor yang menghantam aspal.

Tristan cepat-cepat berlari ke arah suara, datangnya dari parkiran sepeda. Ia ingin memastikan bahwa sepedanya tidak menjadi korban dari jenis kecelakaan apa pun.

Sesampainya di sana, matanya menangkap seseorang bertubuh pendek mungil sedang berusaha menarik stang dan ekor motor agar berdiri. Bobot tubuhnya tidak mampu menggerakkan besi berukuran empat kali massa tubuhnya.

"Amelia, lo ngapain?" bentak Tristan sambil membangunkan sepedanya yang ikut rubuh menimpa motor.

Wajah riang Amelia muncul seketika. "Oh, ? Sulit dipercaya. Dari kemarin kamu diam aja, sih. Sekarang baru ngomong. Pagi-pagi kok udah datang? Rajin benget."

"Lo lagi ngapain sampai sepeda gue jatuh?"

Amelia menggaruk kepalanya. "Maaf. Maaf. Santai sedikit, dong. Jangan ngamuk begitu. Aku enggak tau itu sepeda kamu. Tadi, aku coba masukin motor. Ini pertama kalinya aku bawa motor ke sekolah. Rada susah, jadi aku coba tuntun aja dan enggak kuat. Jatuh, deh. Sepeda kamu juga ikut jatuh. Keserempet kayaknya."

"Kenapa enggak dikendarain sih, sampai parkiran?" Tristan berkacak pinggang.

"Miring-miring," jawab Amelia polos.

Tristan tercengang. "Lo enggak bisa bawa motor, ya?"

"Aku kan udah bilang. Ini pertama kalinya aku bawa motor ke sekolah." Amelia menegaskan.

"Tapi, bukan pertama kalinya lo mengendarai motor, kan?"

"Enggak juga, sih. Tapi, aku baru pertama kali turun ke jalan jarak jauh. Langsung coba bawa ke sekolah. Harus dipaksain biar bisa."

Tristan menggertakkan gigi. "Itu dia masalahnya! Lo belum bisa bawa motor!"

Amelia cengengesan. "Iya sih. Tenang aja, aku bisa angkat kok."

Untuk beberapa menit, Amelia mencoba susah payah membangunkan motornya yang terguling. Tristan hanya memandangi tak percaya. Kecil, mungil dan pendek membawa motor yang berkali-kali lipat badannya. Sungguh ironis. Bagaimana bisa ia menggapai barang-barang yang tinggi jika pendek begitu? Apa di rumah tidak ada lompat tali?

Melihat urat-urat tangan Amelia yang menonjol, Tristan menyerah.

"Sini gue aja, deh."

Amelia menatap Tristan tak percaya. "Hah?"

"Minggir! Gue aja yang angkat."

Amelia menyingkir dengan patuh. Trisan berdecak tak keruan. Mengangkat motor dengan mudah, menaiki dan bersiap ke parkiran motor. Letaknya menjorok ke dalam di banding parkiran sepeda. Manusia normal harusnya bisa mengendarai motor dengan lebih jeli, pikirnya kesal. Ia memanaskan motor, memastikan tidak ada yang lecet sebelum men- starter.

Masuk ke gigi satu, Tristan menarik gas sedikit agar perpindahan semulus mungkin. Motor mulai berjalan ke arah parkiran seharusnya. Ia memarkirkan kendaraan itu di bawah atap supaya catnya tidak cepat mengelupas. Mematikan mesin kemudian memberikan kunci motor tersebut kepada Amelia yang sudah berdiri di belakangnya.

"Orang yang badannya pendek harusnya enggak boleh mengendarai motor bebek begini. Naik kendaraan lain aja."

Amelia mengangguk kuat-kuat. Tampak tidak tersinggung. "Terima kasih. Kamu baik sekali."

Tristan tidak menjawab. Terlalu frustrasi dengan perilaku Amelia. Rasanya ingin menendang sesuatu kuat-kuat. Kemarin sikap Amelia sulit diterima karena meminjam buku tanpa izin meski tidak membawanya pulang. Harusnya ia sedikit tahu tentang aturan meminjam barang meski sebentar. Sekarang Tristan harus susah payah untuk membantunya membangunkan motor yang terguling dan mengendarai ke parkiran.

Derapan langkah kaki mencoba menjajari langkahnya. Tristan menolak berhenti, hingga sebelah tangan mencengkeram pundaknya. Tidak terlalu kuat, tapi mampu membuat tersentak.

"Apa lagi?"

Amelia tersenyum tulus. Membuat gigi kecil yang berderet rapi terlihat. Cocok kalau cewek itu menjadi iklan pasta gigi anak-anak. "Pegang aja kunci motorku." Ia menyerahkan kunci dengan gantungan aneka macam hiasan.

Tristan menerimanya, tapi kemudian hendak mengembalikan lagi. Aneh saja ia langsung menggenggamnya erat seakan itu barangnya. Amelia mengepalkan tangan, menggeleng kuat. Menolak kunci motornya kembali. Beberapa helai rambutnya menempel di wajah dan ada yang tersangkut di kelopak mata.

"Kamu aja yang bawa motorku. Aku takut jatuh kayak tadi."

Tristan mengedipkan mata. Tidak percaya. Ia menunduk menatap kunci, lalu berpaling lagi ke arah Amelia. Rona merah muda muncul di kedua pipinya. Tristan menghela napas. Memaksa mengembalikan lagi.

"Gue bawa sepeda. Minta tolong yang lain aja." Tristan berusaha mengontrol nada. Akhirnya malah menjadi pedas. Lagi pula salah cewek itu juga, mudah sekali percaya pada orang padahal baru mengenal satu hari.

Amelia tersenyum setengah hati. Bagi Tristan, itu jawaban bahwa Amelia mengerti. Jadi ia memutuskan ini waktu yang tepat untuk kembali ke kelas. Tidak beriringan dengan cewek itu.


Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top