Bab 18. No One Else
"TRISTAN!"
Suara khas. Nada yang sama. Langkah kaki lebar yang terburu-buru meski pakai rok. Tristan sudah tahu siapa yang memanggil. Suasana hatinya sedang baik. Jika sekarang dia mesti berdebat dengan cewek, pasti keadaan jiwanya akan berubah drastis.
Dicuekkin pun tetap serba salah. Cewek itu masih memanggil dengan nada anak kecil mengajak bermain di depan rumah, lewat pagar yang menjulang. Tristan menghela napas. Baru menoleh. Mendapati Agustus dengan cengiran khasnya.
"Hari ini wajib pakai banget kita menjalankan misi kemarin. Lo tahu kenapa? Karena gue kangen sama topi Monster. Bayangin kalau dia duduk di pojokan ruangan. Enggak pernah dipegang. Apalagi dirawat. Ironis, kan?" cerocosnya dengan dramatis.
Tristan menghentikan langkahnya. Dia baru saja sampai sekolah tiga menit lalu, langsung diberondong dengan pernyataan yang tak jelas arahnya. Agustus bahkan sampai melewati arah yang berbeda. Harusnya belok ke kanan dari arah pintu masuk parkiran. Tapi cewek itu malah berjalan lurus dengannya, demi menyampaikan informasi aktual. Yang sebenernya enggak penting-penting banget.
"Lo ganggu," ketus Tristan. "Pertama, tanpa topi, rambut lo akan baik-baik aja. Kedua, topi enggak duduk. Jadi lupain aja tuh barang."
Agustus menggeleng. Menolak keras. "Enggak bisa. Gue enggak bisa hidup tanpa topi."
"Ini buktinya lo masih napas," sambarnya.
"Itu kiasan. Astaga. Pokoknya jangan langsung pulang. Udah dulu, ya. Sampai ketemu nanti, Tristan," katanya ceria sambil berbalik arah dan melambaikan tangan ekspresif.
Tristan tidak membalas lambaian tangannya. Beruntung seluruh organ tubuh menurut kali ini. Dia memasuki kelas dengan ogah-ogahan. Tak mungkin bisa menghindari Agustus. Pemikiran itu yang menganggu konsentrasi belajarnya.
Dia baru berkonsentrasi belajar saat guru Bahasa Indonesia memberi tugas dan membentuk kelompok. Kelompok kecil. Satu kelompok, dua orang. Tristan pikir berdasarkan abjad akan lebih efesien dan juga mudah diafal. Tapi guru tersebut malah membentuk kelompok berdasarkan nama abjad teratas, dipasangkan dengan nama abjad terakhir. Begitu seterusnya.
Sampai dia menyadari kalau namanya berbenturan dengan nama Amelia. Oh, tidak. Ini bukan ide bagus. Dia pasti akan berurusan lagi dengan Alan. Dan perasaan aneh tak terdefinisikan akan menganggu kewarasan dalam belajar.
Ketika tangannya akan terangkat, Amelia sudah melakukan duluan. Tindakan yang memecah suasana kondusif di kelas.
"Bu, saya ingin ganti pasangan," katanya dengan suara merdu dibalut ketegasan.
Guru bahasa menggeleng, menolak dan tidak menerima negosiasi. Lalu melanjutkan memanggil nama anak-anak lain dan memberitahu pasangan kelompoknya. Terdengar erangan menolak, ada yang terpekik gembira, dan sebagian lainnya bercanda. Tristan tidak termasuk dari ketiga bagian itu, dia hanya duduk. Pundaknya terasa pegal karena merasa ditatap Amelia. Tapi cowok tersebut tidak berminat menoleh pada si cewek.
"Semua sudah mendapatkan pasangan kelompok. Sekarang, silakan duduk sesuai kelompoknya masing-masing! Ibu akan menjelaskan tugasnya."
Kacau. Tristan mendengus. Duduk kembali bersama Amelia dalam kondisi bermasalah. Sama saja mencari semut merah untuk minta digigit. Mata Tristan melirik sekilas, mendapati wajah tak suka dari Amelia. Tapi cewek itu tetap berpindah tempat duduk juga. Meletakkan tas di bangku dan menaruh buku-bukunya di meja. Mengempaskan diri di bangku dan menarik tempat duduknya ke sisi kanan, menjauh.
Guru menjelaskan dua tugas. Tugas pertama menyuruh membuat ulasan terhadap buku fiksi atau non fiksi. Tugas kedua adalah membuat bentuk wawancara dengan penulis. Keduanya harus ditulis di buku tulis masing-masing orang. Lama waktu pelajaran berjalan, menjelaskan mekanisme menulisnya nanti.
Tapi Tristan sudah tahu bagaimana membuat ulasan buku. Leo pernah melakukannya dulu dan dimuat di koran lokal. Upahnya buat jajan bakso. Di lain waktu, dia membuat cerita pendek dan dimuat pada majalah remaja. Tristan pernah membaca beberapa cerpennya. Yang paling dia suka cerpen berjudul, Aku, Dia dan Hujan.
Tokoh aku menyukai membuat novel dengan tokoh utama cewek bernama, Daisy. Dia selalu berharap bertemu dengan cewek tersebut di tengah hujan. Lucunya, hal itu menjadi kenyataan. Dan tokoh aku berjuang meski penuh tantangan untuk bertemu dengan Daisy.
Cerita manis. Tristan berkomentar saat itu. Tulus memuji. Tapi cerita itu tak pernah bernyawa. Kisah-kisah yang ditulis Leo hanya sekadar pelariannya dari musik. Papa menolak jika Leo menggunakan alat musik jenis apa pun. Bagai Miguel dalam film Coco. Tapi Leo tidak sepenuhnya seperti Miguel. Tristan dan Mama mendukungnya bermusik. Diam-diam selalu bekerja sama agar Leo sering berlatih mengembangkan bakat.
Sampai Leo menjatuhkan hati pada gitar. Impian besar itu dihempas jauh dari tanah oleh Papa. Gitar yang dibeli susah payah dibanting hingga berkeping-keping. Sama halnya dengan hati Leo yang pecah menjadi beberapa bagian. Pelariannya pada balapan mobil jelas sangat bertentangan. Tapi hanya dengan itu lukanya kembali utuh.
Kini, Tristan menyadari. Luka Leo tak sembuh, dia berpura-pura sembuh. Selalu ada titik-titik rusak dalam dirinya. Dan dia tidak pernah mengizinkan orang lain menambal lukanya.
Bodoh, harusnya dia meneruskan menulis bukan balapan mobil. Tristan geram dengan pilihan yang diambil Leo. Tapi bukan dia yang menjalani kehidupan versi saudaranya itu.
"Tristan?"
Seseorang mengenggam tangannya, menarik kembali ke realita. Tristan merilekskan diri dan menyadari tatapan khawatir dari Amelia. Wajahnya pias seolah habis melihat sesuatu yang mengerikan.
"Jemari kamu tiba-tiba mengepal. Sorot matamu membara. Dan kamu diam saat kuajak bicara," katanya cemas. "Aku pikir kamu kenapa."
"Oh, ya?"
Wajah Amelia yang semula panik, kini berubah keras lalu berakhir dengan cemberut. "Udah tahu tugasnya, kan? Kamu bagian menulis wawancara dengan penulis. Buat saja sendiri. Searching di Google. Aku akan mengejarkan bagian membuat ulasan buku. Jadi, lebih cepat. Sesuai kesukaanmu."
Ketus. Dingin. Berjarak.
Tiga hal itu yang mengambarkan sikap Amelia. Tapi tidak bisa mengelak kalau diam-diam cewek itu menyimpan rasa khawatir. Tristan merasakan. Barangkali terkoneksi. Sebelum pikirannya semakin melantur, Tristan mengeluarkan pendapat. Pendapat yang bertentangan dengan kebiasaan.
"Kita kerja kelompok, Amelia. Ini kan tugas kelompok. Jadi harus dikerjakan sama-sama. Enggak bisa sendirian," ujar Tristan penuh harap.
Amelia terbelalak. "Biasanya kamu lebih suka kerja sendiri, kan?"
"Itu kan biasanya. Sekarang udah enggak."
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top