Bab 17. Rumit

Papa belum pulang.

Tristan tahu itu. Meski Tante Lara sudah memintanya pergi. Suara khasnya masih terpantul-pantul di dinding rumah hingga menyelinap ke kamarnya yang terkunci. Tante Lara meminta maaf pada Papa atas perkataan Tristan semalam. Seakan ucapannya adalah opini bukan fakta. Ironis sekali ketika Papa menyudutkan nama anaknya sendiri. Menjadikan Tristan tokoh penjahat.

Sampai Om Agus turun tangan. Memberi pengertian pada Papa. Volume suaranya rendah, seakan takut ada yang mendengarkan. Tristan tak peduli. Dia sudah tak tidur semalaman. Papa bilang, dia kurang ajar karena berbicara dengan intonasi tinggi. Tapi Papa lupa, dia juga melakukan hal yang sama.

"Den Tristan." Suara khas Bi Ami memanggilnya di balik daun pintu yang terkunci.

Tristan mengerang. Ogah-ogahan membuka pintu kamar. Menampilkan Bi Ami yang tersenyum cerah ke arahnya dengan nampan berisi makanan di tangan. Cowok itu tak ingin seseorang ada yang masuk kamar. Wilayah tersebut satu-satunya tempat privasi.

Tapi hanya Bi Ami yang tidak membuatnya senewen. Jadi dia mempersilakan perempuan gempal itu masuk dan menutup pintu.

"Den Tristan, Bibi taruh di meja, ya. Jangan lupa di makan," katanya ringan.

Tristan mengangguk. Duduk bersimpuh dan kembali sibuk mengecek peralatan sekolah. Mengabaikan. Seakan tahu pemikirannya, Bi Ami ikut duduk di lantai beralaskan karpet berbulu.

"Selamat ulang tahun, ya, Den Tristan," tutur Bi Ami hati-hati. Tangannya menggenggam erat secarik amplop.

Cowok itu menoleh ke arah pembantunya. Kaget. Dia sendiri luput mengingat ulang tahunnya sendiri. Dulu, mama dan Leo yang merayakan segala sesuatu tentang ulang tahunnya. Dan saat-saat itu yang selalu ditunggu. Karena kesejukkan menjalar ke seluruh tubuh dibanding hari biasa. Namun sejak mereka direnggut dari kehidupannya, hari hanya sekadar hari. Tanpa ada hal istimewa saat dijalani.

"Terima kasih, Bi," sahut Tristan, menyembunyikan letupan kebahagiaan.

"Den, Bibi..."

"Bi, saya mau nanya, gimana caranya menghibur cewek sedih?" tanya Tristan, malu-malu. Sekaligus memotong ucapan bibinya tanpa sadar.

Bi Ami terbelalak tak menyangka ditanya begitu. Baru kali ini Tristan, cowok yang selalu marah pada segala hal bertanya tentang cewek. Dia bukan tak suka cewek, hanya saja dia hampir tak peduli pada perasaan sendiri.

"Tergantung," sahutnya lembut. "Dia tipe cewek seperti apa."

"Dia berbeda. Ada sesuatu tentang dirinya yang istimewa," jawab Tristan.

Bi Ami mengusap kepala Tristan tanpa ragu dengan tangannya yang bebas. "Kalau begitu, duduk saja berdekatan dengannya. Dengarkan. Karena semua orang ingin didengar saat sedang sedih."

Tristan mengangguk-angguk. "Ya, masuk akal."

"Siapa cewek itu?" tanya Bi Ami saat situasi berubah nyaman dan terkendali.

"Amelia," jawabnya otomatis.

Tiba-tiba wajah Amelia melintas. Tristan ingat bagaimana wajah ceria Amelia saat pertama kali menyebut nama lengkapnya dengan sungguh-sungguh. Lalu kenangan itu terganti dengan kenangan terakhir. Saat terakhir kali mereka bersama. Itu bukan hal yang layak diingat. Tapi memori tersebut melekat tak mau lepas. Air muka Amelia yang berubah keruh dan sendu. Ironisnya, ekspresi itu mengungkap segala kecewa.

"Dia pasti bisa lebih dari sekadar teman," kata Bi Ami sambil mengenggam tangan Tristan.

Dia tak tahu bagaimana perasaannya bisa berubah tidak karuan. Tak ingat kapan hati mengalahkan logika. Tristan mengusap muka. Atas ke bawah. Bawah ke atas. Bi Ami hanya menyaksikan dengan tersenyum.

"Den Tristan sedang jatuh cinta." Bi Ami tak tahu mengapa dia mesti mengatakan itu. Tapi jika Mama Tristan berada di posisi yang sama dengannya, beliau pasti akan mengucapkan hal tersebut.

Wajah Tristan berubah keras meski pipinya merona merah. "Enggak. Saya lagi enggak jatuh cinta, Bi. Ih, aneh."

Bi Ami tertawa lepas. Sama sekali tidak bisa melupakan ekspresi anak majikannya kini. Raut ketus, pemarah dan sensi itu pudar. Yang dia lihat kini hanya anak cowok SMA yang telat menyadari perasaannya sendiri. Bahkan memilih menampik seakan tidak masalah.

"Oh, ya, tadi Bibi mau ngomong apa?" tanya Tristan saat dia usai merapikan sekolahnya. Menahan kuap agar tak terlalu terlihat mengantuk.

Bi Ami menenguk ludah. Tristan berhak tahu. Umurnya sudah tujuh belas tahun, batinnya. Namun pergolakan itu semakin kuat manakala tangannya siap mengasurkan amplop. Barang berharga yang akan berpindah tangan.

"TRISTAN?"

Suara itu mengangetkan keduanya. Tristan buru-buru melonjak berdiri dan membuka pintu. Yang dia temui membuat keningnya berkerut. Tante Lara, Om Agus, Aira dan Jery berdiri membentuk setengah lingkaran. Semuanya menyanyikan lagu Happy Birthday. Tante Lara yang memegang kue tar paling ceria bernyanyi. Membuat api di lilin bergoyang-goyang.

Hari ini

saat bahagia untukmu

bertambah satu tahun usiamu

kunyanyikan sebuah lagu agar istimewa harimu

Happy birthday to you

Happy birthday

Happy birthday

Happy birthday to you

Bi Ami yang berdiri di belakang ikut bersenandung. Keempat orang di depannya tampak terkejut dengan kehadiran pembantu itu. Tapi mampu bersandiwara dengan baik. Menerka dan berprasangka sendiri bahwa pembantu tersebut memang sedang bicara dengan Tristan di kamar, secara privasi.

"Terima kasih Tante, Om, Kak Aira dan Kak Jery," gumam Tristan santai. "Tapi saya mesti berangkat sekolah."

"Tiup lilinnya dulu," kata Tante Lara.

"Buat permohonan," tambah Aira.

"Berharap saja terkabul," timpal Jery sambil terkekeh.

Tristan mendengus. "Mana mungkin meniup lilin ulang tahun bisa membuat permohonan terkabul. Enggak masuk akal."

Begitu matanya melirik tatapan kecewa orang-orang di depan, Tristan buru-buru mengoreksi kalimatnya sendiri. "Tapi semua masuk akal kalau kalian yang melakukan." Dia pun membuat permohonan. Sederhana saja. Bahagia. Lalu meniup lilin.

Mereka bersorak. Memakan beberapa potong kue bersama dan sarapan. Saat ada jarak bagi Tristan untuk sendiri, dia cepat-cepat menghampiri Bi Ami. Setengah berbisik dan meyakini kalau tidak ada yang mendengarkan.

"Tadi, Bi Ami seperti mau bicara hal yang penting ke saya?"

Bi Ami mencelus. Menyangka kalau Tristan lupa. Tangannya sudah tak lagi memegang amplop itu, sudah dia simpan kembali di dalam lemari. Tristan berhak tahu, batinnya. Tapi dalam kondisi menyenangkan dan suasana hati baik, tak mungkin memotongnya dengan kepedihan. Nanti saja, pikir perempuan yang berpuluh tahun menyaksikan drama keluarga di depan matanya. Begitu rumit dan benang-benang saling terpilin.

"Bi Ami ingin bilang selamat ulang tahun, saja," dusta Bi Ami.

Tristan mengangguk. Berpamitan pergi. Menyisakan wangi paper mint pada ruang di sekelilingnya.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top