Bab 16. Kedatangan Tak Terduga (II)
Menunggu jam pulang tak selama perkiraan. Nyatanya, lima belas menit kemudian, Tristan bisa bersiap pulang juga. Dia merapikan buku dan peralatan tulis. Sesudah selesai berbenah, dia bergegas keluar kelas. Kali ini tak menoleh ke arah Amelia. Memutuskan untuk kembali seperti awal kenal.
Di parkiran, Agustus sudah menunggunya dengan senyum lebar. Tristan mendesah. Terlalu lelah untuk berdebat dengan cewek. Matanya sekilas melihat ke Amelia yang memerhatikannya. Hanya beberapa detik. Alan datang, berdiri di antara mereka dan membuat sekat pembatas. Cowok itu memutuskan untuk mengabaikan hal yang bukan urusannya. Lalu, mengantar Agustus pulang. Sama sekali tidak mengizinkan Agustus untuk mengambil topi yang sudah disita. Cewek itu bersunggut-sunggut sampai masuk rumah. Tristan mengabaikannya dan langsung cepat-cepat pergi.
Dalam beberapa menit setelah berputar balik, Tristan sampai juga di rumah. Karena terlalu capek, otaknya mengabaikan mobil hitam yang berada di parkiran depan rumah. Langsung meloncat naik tangga tanpa mendengarkan suara-suara familiar di ruang tamu.
Langkahnya baru terhenti saat Tante Lara memanggil namanya dua kali. Tristan menoleh. Mimik wajahnya langsung berubah tak suka melihat siapa yang berdiri di samping tantenya.
"Mau apa dia ke sini, Tante?" tanya Tristan tajam sambil berjalan mendekat.
"Tristan, jaga bahasamu." Tante Lara mengingatkan.
"Tristan, bagaimana kabarmu, Nak?" tanya Papa berwibawa.
"Ada perlu apa?"
Tante Lara buru-buru menengahi, menggiring keduanya ke ruang tamu. Dia sudah berusaha agar Tristan mandi, berganti pakaian dan makan agar pikirannya tenang. Tapi Tristan bergeming di tempat duduk. Api mulai terpecik manakala Tristan dan papa kandungnya saling bertatapan.
"Papa enggak mau kamu menghindar lagi. Kamu sudah besar, Tristan. Papa ingin kamu tinggal bersama lagi. Setelah kelulusan kamu, kita pindah ke Australia," kata Papa datar, nyaris tanpa perasaan. "Kamu bisa ambil kuliah di universitas sana."
"Anda enggak bisa seenaknya ngatur kehidupan saya!" bantah Tristan. "Saya enggak mau pindah."
"Kamu jangan melawan begini, Tristan! Kamu pikir siapa yang membiayai sekolahmu? Kamu pikir darimana kamu bisa makan? Semua dari Papa. Jadi kamu harus nurut apa yang Papa inginkan," tandasnya.
Tristan terenyak. Dadanya bergemuruh, siap meledak. "Saya sudah nurut dengan apa yang Papa inginkan. Leo sudah menurut dengan apa yang Papa mau. Mama sudah memahami apa yang Papa butuh. Tapi apa Papa mencoba mengerti kami?"
"Jangan pernah kamu menyangkut pautkan dengan masa lalu. Ini masa depan, Tristan," ketus Papa tak kalah emosi.
"Leo mungkin masih hidup kalau anda enggak menekan kegemarannya bermusik. Mama mungkin masih sehat kalau anda enggak berselingkuh. Leo masih bernapas kalau saja Mama kukuh. Tapi Mama menyerah, begitu juga Leo. Itu semua memang masa lalu. Tapi, ada saya di dalamnya. Ada anda sebagai dalangnya."
"Papa-"
Tristan berdiri, tak tahan untuk duduk-duduk saja. "Apa anda menyesal? Apa anda ingin meminta maaf? Seandainya apa yang anda katakan bisa membuat mereka hidup. Seandainya anda tidak begitu egois dengan menikah lagi. Mama selalu menunggu anda pulang kerja. Mama berada di depan pintu setiap malam. Mama membuat sarapan yang tak penah anda cicipi. Mama memasak makan malam yang tak pernah anda tengok keberadaannya karena sering pulang dini hari. Betapa menyedihkannya menunggu seseorang yang tidur dengan perempuan lain."
Tamparan keras mendarat di pipi Tristan. Bukan, bukan sakit karena kerasnya tamparan. Tapi sakit karena luka lama kembali terbuka. Bernanah dan tak pernah bisa sembuh.
"Kamu jangan sembarang bicara!"
"Aryo, jangan kasar begitu dengan anakmu," sambar Tante Lara seketika, mencoba menengahi.
Keduanya kukuh menantang. Bagai pertandingan tinju. Tristan di sisi kiri dan Papa di sisi kanan. Tante Lara yang bertubuh mungil terhimpit saat keduanya masih beradu mulut. Mengabaikan teguran Tante Lara.
"Saya dan Leo ngelihat dengan mata kepala sendiri saat anda menyewa hotel dengan perempuan. Oh, ya, seketaris baru di kantor. Anda tidak tahu kan, kalau kami selalu menunggu. Hingga menunggu berubah menjadi rasa lelah yang menyakitkan."
"Papa mencoba memperbaiki semuanya dari awal Tristan. Tapi kamu yang mengungkit. Kamu yang tidak menerima."
"Menerima kalau anda menikah lagi setelah Mama dan Leo pergi? Apa anda masih layak untuk dipanggil Papa setelah semua hal yang terjadi?"
Tristan merasakan tenaganya terkuras habis. Tangannya keringat dingin menahan emosi. Dada sesak oleh banyak goresan yang tak bisa dilupakan. Bahkan bibirnya terlalu kelu memanggil Papa. Di depannya kini, hanya sosok asing, yang meninggalkan banyak luka berbekas. Dia sudah memar di masa lalu. Tak perlu lebam untuk kedua kalinya.
Lelaki itu berjalan mendekat. Langkahnya pasti. Mencoba memeluk anaknya. Tapi Tristan bergerak mundur.
Pandangannya berubah nanar. "Saya sudah mencoba. Tapi akhirnya saya sadar. Apa keluarga bisa menorehkan luka sedalam ini?"
"Tristan, Papa belum selesai bicara! Mau ke mana kamu?"
Tante Lara menahan tangannya. "Aryo, jangan dikejar. Kalian butuh ruang masing-masing untuk menenangkan diri."
Ini dia bagian 2. Semakin rumit saja ya, kehidupan Tristan. Menurut kamu sendiri gimana?
Jangan lupa vomment. :)
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top