Bab 15. Break

Begitu sampai di rumah, hujan deras mengguyur kota tanpa ampun. Tristan tidak begitu kaget, karena sepanjang pulang, harum tanah basah menguar di udara. Beberapa kupu-kupu terbang, mengiringinya sampai di rumah. Hingga kupu-kupu tersebut meneruskan perjalanan ke tempat lain. Barangkali mencari tempat berteduh.

"Kamu habis dari mana aja, Tristan?" tanya Tante Lara sambil tergopoh-gopoh menghampirinya seakan planet akan segera pecah. "Bawa jas hujan ini, jemput Amelia sekarang!"

"Hah?"

"Amelia tadi nelpon, dia kesasar di daerah Mangga dan mau minta tolong kamu buat jemput. Dia sama sekali enggak tahu jalan. Kamu tahu enggak halte sebelum ke arah daerah Mangga? Nah dia di situ. Sekarang, kamu jemput nih! Kasihan dia nunggu kamu udah lama banget," kata Tante Lara panjang lebar.

Tristan menggaruk kepala. "Tante, Amelia udah punya pengawal. Dia bisa dijemput pengawalnya."

"Kamu kan temannya. Sesama teman harus saling menolong, Tristan," sahut Tante Lara gemas. Sekaligus menggiring Tristan untuk keluar lagi.

Ada banyak alasan untuk menolak. Tapi membayangkan Amelia sendirian di halte di tengah hujan deras seperti ini sungguh menghapus segala alasan. Setelah mencium punggung tangan Tante Lara, Tristan segera menembus lebatnya hujan.

Amelia, kenapa menyakiti diri sendiri untuk membahagiakan Alan?

Kenapa bersama dengan orang yang menyakiti jika bisa bersama dengan orang yang lebih baik?

Tristan memacu roda sepedanya hati-hati. Jalanan licin. Beberapa lubang di aspal terendam air kecoklatan, hingga tidak bisa membedakan mana yang berlubang dan mana yang jalanan rata. Pelan-pelan, Tristan mengambil arah kanan, tempat halte berada. Hanya ada Amelia di sana.

"Hai!" sapa Amelia riang. Senyum terulas tulus.

Mata Tristan justru menangkap tubuh cewek itu gemetaran. Dia meletakkan sepeda di dekat pagar. Otomatis, tangan Tristan menghampirkan jaket pada bahu Amelia. Yang langsung dipakai oleh si cewek tanpa banyak bicara.

Dia ingin langsung mengajak pulang. Namun ada sebongkah perasaan yang menahannya. Sesuatu yang ingin dikatakan. Atau dipertanyakan. Keduanya membuat Tristan mengamati Amelia. Jika tidak sekarang, mungkin di lain waktu kesempatan ini akan menguap. Cowok itu menarik napas dalam-dalam. Menyiapkan diri dari segala kemungkinan.

Bukannya melontarkan kalimat, otaknya justru menyuruh Tristan merogoh saku celana, mengeluarkan sapu tangan. Lagi-lagi mengandalkan intuisi, Tristan menggunakan sapu tangan itu untuk mengusap kepala Amelia.

Amelia tercengang. Kepalanya menoleh. Dan matanya beradu dengan bola mata Tristan.

Mata cewek itu berpendar hangat, sedih dan senang secara sekaligus.

Hingga Tristan lupa cara menggerakan tangannya.

"Terima kasih sudah menjemputku, Tris," katanya berbisik, seakan tidak ingin ada orang lain yang mendengar.

"Kenapa?" tanya Tristan berdebar.

Amelia mengerutkan alis. "Kenapa apanya?"

Kenapa lo bersama Alan kalau jadi menderita gini? "Kenapa lo bisa basah begini parah kayak tikus got?" tanya Tristan akhirnya.

"Oh." Amelia menoleh ke arah baju dan roknya sendiri yang basah kuyup. Mirip orang berjalan di tengah hujan. "Aku kehujanan, aja."

"Alan ke mana? Bukannya tadi lo pulang bareng dia?"

"Ada. Cuma tadi aku pulang duluan," jawabnya praktis.

Tristan ternganga. "Dia ninggalin kamu gitu aja? Kamu sampai pulang sendirian di tengah hujan gini? Ck, kamu enggak boleh dekat dia lagi. Kayak enggak ada teman lain yang bisa diajak gaul aja."

Bukannya ingin mencegah Amelia bergaul dengan siapa. Namun kewajiban Alan untuk mengantar Amelia pulang. Bukannya tadi dia sendiri yang mengajaknya? Lagipula, konyol sekali membiarkan cewek pulang sendirian di tengah derasnya hujan. Kecuali, mereka ada masalah. Itu masuk akal. Tapi tetap saja tidak bisa dijadikan alasan. Mengajak berarti sekaligus mengantar pulang. Itu prinsip.

Bukannya merespons, Amelia justru tersenyum miring. Matanya berkilat jenaka.

"Tumben ngomongnya enggak gue-lo," komentarnya sambil tertawa.

Tristan menyemburkan napas, disaat-saat begini, bukan waktu yang cocok untuk menjawabnya. "Ya udah pulang, yuk!"

Tanpa menunggu jawaban, Tristan mengulurkan jas hujan merah muda ke Amelia. Memberinya waktu untuk memakai. Lantas mengambil tas cewek itu yang tergeletak di bangku. Hujan sedikit reda dibanding tadi. Setidaknya langitnya agak cerah. Mungkin hujan lokal.

"Kamu mau bawa tas aku?" tanya Amelia setelah tubuhnya terbungkus jas hujan.

Tristan tak menjawab. Namun langkahnya mendekat. Memakaikan hoodie jas hujan ke kepala Amelia dan mengikat kedua tali agar tidak mudah terlepas jika diterpa angin. Mata Amelia melebar, tak menyangka. Sedangkan Tristan berbalik mengambil sepeda sebelum cewek itu menyadari bahwa mukanya terasa panas.

Tristan menggenjot sepeda dengan perlahan namun dengan tempo seimbang. Amelia memilih tidak mencengkram ujung seragam Tristan, namun mengadahkan tangannya pada langit. Seakan menikmati setiap momennya.

"Jadi, Alan ninggalin lo gitu aja?" Tristan masih penasaran.

Amelia nyaris terjengkang dari jok sepeda mendengarnya. Ada nada frustrasi dicampur kekhawatiran saat cowok itu bertanya. "Enggak ninggalin, kok."

Bukan jawaban yang diharapkan. Tapi memang jawaban seperti apa yang dia harapkan? Tristan mengayuh lebih cepat. Sama sekali tidak mengizinkan pikirannya melayang, tak tentu arah. Membuat tak fokus jika memikirkan Alan dan Amelia secara bersamaan.

"A little hustle, please," kata Amelia gemetar. "Dingin tahu."

"Makanya jangan hujan-hujanan," tukasnya masam.

Begitu sampai di rumah, Tristan tak menyangka Amelia akan mendapat perlakuan istimewa. Tante Lara sudah menyiapkan baju ganti. Amelia bahkan diizinkan mandi dulu. Begitu cewek itu selesai mandi, makanan langsung dihidangkan.

Dia tak menyangka akan menjemput Amelia hujan-hujan, mengantar cewek itu ke rumah untuk menunggu hujan usai, memperkenalkan ke Tante Lara dan mereka saling berbicara seakan tidak terjadi apa pun.

Begitu selesai mandi, Tristan mengaduk susu coklat untuk dirinya sendiri. Suara tawa dua perempuan menembus telinga dan menjalar ke otak. Dinding rumah seakan begitu tipis untuk meredam perbincangan mereka. Jika sudah bekerja dan punya rumah sendiri, dia tak akan membangun ruang tamu yang berdekatan dengan dapur, batinnya.

Tak ada pilihan lain, Tristan duduk pada sofa di salah satu ruang tamu. Serileks mungkin untuk mendengarkan.

"Jadi, Tristan sering membersihkan kelas setelah pulang sekolah?" tanya Tante Lara takjub.

Amelia terkekeh geli. "Iya, Tante. Aku juga kaget pas tahu."

Tante Lara tersenyum tulus. Kepalanya menoleh ke Tristan. "Jadi kamutelat pulang sekolah karena itu? Bukan karena ke rumah beliau?"

"Sepertinya, susu coklat ini terlalu kental," komentar Tristan cemberut.

"Beliau?" Amelia bertanya ragu-ragu. "Maaf kalau lancang, beliau siapa maksud, Tante?"

"Mama Tristan."

Dan seketika kalimat itu membuat perut Tristan melilit. Dadanya di penuh api-api yang perlahan menjalar ke saraf pusat. Ia mengabaikan susu coklat yang terlalu kental itu dan menarik tangan Amelia. "Kayaknya udah waktunya lo pulang deh. Cewek enggak boleh pulang terlalu malam."

"Tapi aku belum selesai ngomong," rengek Amelia.

"Tristan, jaga sikapmu!" tegur Tante Lara.

Tristan tak mau mendengarkan siapa pun. Ia membereskan peralatan Amelia. Mengambil perlengkapan cewek itu dan beranjak keluar rumah. Menyeret Amelia sekaligus. Cewek tersebut berpamitan ala kadarnya pada Tante Lara.

"Kamu kenapa senewen gini, sih?" tanya Amelia.

Hujan masih menyisakan rintiknya tapi Tristan tetap bersikeras mengantarkan Amelia pulang. Cewek itu meronta tangannya minta dilepaskan. Begitu dilepaskan, Amelia nyaris terjengkang.

"Ayo!"

Biasanya perlu waktu dua puluh dua menit dari jarak rumahnya ke rumah Amelia. Tapi karena masih hujan, jalanan macet oleh kendaraan bermotor yang tak tahu aturan. Baru saja lampu merah berganti lampu hijau langsung memainkan klakson. Seakan belum cukup, di perempatan jalan, sepeda motor melawan arah dan berteriak marah saat bergesekan dengan kendaraan lain. Tidak masuk akal.

Empat puluh empat menit untuk sampai ke rumah Amelia. Dan selama itu pula, Amelia sudah berkali-kali melontarkan pertanyaan kenapa sekaligus mencari alasan perubahan sikap mendadak. Tristan tak menyahut.

Begitu Amelia melompat turun dari boncengan. Ia mengambil alih peralatan tanpa banyak bicara. Amelia menggumamkan terima kasih tanpa menoleh dan tangan Tristan otomatis menahan tangan cewek itu untuk membuka pintu pagar.

"Lupain aja yang tadi," katanya sewot.

"Kenapa?" Amelia mengedip-ngedipkan mata, keheranan.

"Pokoknya jangan ikut campur urusan yang berhubungan sama gue lagi," kata Tristan.

Amelia terdiam sejenak. Menghela napas panjang. "Iya, Tristan. Mulai sekarang aku enggak akan ikut campur urusan kamu lagi. Maaf soal tadi."

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top