Bab 12. Intuisi

"Tumben kamu ke sini tanpa aku minta.

Tristan menelan ludah dan mengepalkan tangan. Mencoba menarik napas panjang. Diam-diam mengutuk diri sendiri karena bertindak begitu implusif. Dan kini meraba-raba alasan masuk akal untuk menutupi rasa malunya.

"Gue mau ajak lo jalan nih, Mel," jawab Tristan sambil memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celana jeans.

Mata Amelia berbinar senang. Bibirnya menggerucut menggemaskan, "Dalam rangka apa?"

Cowok itu tak sanggup menjawab. Benaknya terus mengiang sebaris kalimat singkat dari cewek tersebut. Kamu sulit dimengerti. Dia tidak mengerti maksud perkataan Amelia, tapi dia begitu nekat menghampiri hanya bermodal intuisi.

"Enggak dalam rangka apa-apa. Kalau enggak mau, ya enggak usah," jawab Tristan singkat.

Ketika akan berpamitan dan berbalik pergi, Amelia terkikik dibelakangnya.

"Aku mau, Tris. Aku ganti baju dulu," katanya langsung menghilang dari pandangan.

Tristan menunggu di luar pagar, berusaha agar Amelia tidak tahu betapa dia bersyukur bisa mengajaknya jalan tanpa ditolak.

Setengah jam kemudian, Amelia datang dengan blush putih dan celana jeans. Riasannya sederhana. Tapi bagaimana bisa cewek itu semakin cantik hanya dalam beberapa menit? Tristan membuang muka, enggan untuk menilai lebih.

"Kita mau ke mana?" tanya Amelia diboncengan.

"Ke toko buku," jawab Tristan enteng, "katanya kemarin lo mau beli novel teenlit."

Amelia bersorak. "Tumben ingat?"

"Iyalah, lo ngomong begitu kan udah dua puluh kali setiap kali pulangnya muter-muter dulu lewat toko buku. Kebetulan kita punya waktu senggang, jadi timingnya pas buat beli," jelasnya dengan nada praktis.

Tidak ada sahutan. Namun tak terbantahkan kalau cengkraman Amelia semakin erat di ujung bajunya.

Tiga puluh menit kemudian, mereka tiba di lokasi. Melihat parkiran, wajah Tristan sangsi sendiri. Amelia yang berada di belakang boncengan tak mengerti. Memilih untuk turun dan berdiri di dekat cowok tersebut.

"Ini parkiran sepedanya di mana?" tanya Tristan pada teman diboncengannya.

Amelia mendesah. "Mereka biasanya cuma nyediain parkiran buat motor dan mobil aja."

Tristan melihat Amelia dengan tatapan aneh. "Maksudnya mereka rasis dengan orang yang naik sepeda? Wah, ini enggak bisa didiemin gitu aja."

Ketika cewek itu ingin membuka mulut untuk merespons, Tristan sudah melangkah lebar-lebar ke arah loket. Mimiknya keras dengan alis saling bertaut.

"Parkiran sepeda sebelah mana?" tanya Tristan galak.

Perempuan yang berusia kepala dua itu langsung menjawab, "Di sini enggak ada parkiran sepeda, Dik. Kalau mau di seberang ada parkiran untuk segala jenis kendaraan."

"Maksudnya parkiran di lahan kosong itu?"

"Iya, Dik."

"Itu bukan parkiran. Lahan itu sengaja dikosongkan untuk renovasi gedung di sampingnya. Kalau semua orang parkir disitu, gimana cara petugas-petugas di sana bekerja?"

Perempuan tersebut berdeham, menyadari berada di situasi yang salah. "Dik, yang lagi diperbaiki kan gedung dalamnya dulu. Bagian lahan kosong nanti dua bulan kedepan baru diperbaiki."

"Tapi..." Kalimat Tristan terpotong saat Amelia meringsek maju memisahkan dirinya dengan perempuan di loket tersebut.

Amelia tersenyum manis. Bahkan malaikat pun akan membenci senyumnya. "Mbak, aku sama temenku parkir sepeda sebentar di belakang bagian parkir motor, ya? Kan ada pagar di sana. Nanti aku rantai sepedanya di pagar itu. Boleh, ya? Enggak bakal menghalangi motor keluar-masuk, kok."

"Boleh."

Amelia mengucapkan terima kasih sambil mengadahkan tangan ke bagian kotak pembuat karcis parkir. Sampai perempuan berumur dua puluh tahun itu menegurnya.

"Langsung masuk aja. Enggak perlu bayar parkir. Tapi, jangan lama-lama, ya?"

Dan dengan kalimat sesingkat itu, pintu palang otomatis dibuka. Mengizinkan sepeda lewat setelah perdebatan panjang yang tak diperlukan. Amelia mengucapkan terima kasih berkali-kali. Sedang, Tristan memanyunkan bibirnya. Namun, tetap membuntuti langkah cewek tersebut.

"Kenapa kamu selalu memperumit segala hal, Tris?" seru Amelia sesaat mereka sampai di parkiran.

Tristan merantai sepeda di pagar, tempat yang cewek itu sebut-sebut sedari tadi. Begitu memastikan dua kali kalau rantainya kuat, dia menoleh ke arahnya.

"Cuma memastikan semuanya sesuai aturan," kata Tristan ringkas.

Jawaban yang menutup perdebatan pagi menjelang siang tersebut.

Sesampai di toko buku, Tristan nyesel sendiri. Amelia bukannya langsung membeli buku impiannya, malah sempat-sempatin diri berputar-putar satu rak ke rak lain. Namun cowok itu diam-diam bersyukur karena tidak mengajak ke toko buku yang besar. Bisa-bisa setiap lantai dikunjungi, tiap rak ditengok dan setiap buku yang dipajang dipegang-pegang dulu.

Hampir sejam, dia memerhatikan Amelia. Awalnya Tristan langsung memberi tahu letak buku teenlit agar mereka bisa jalan ke tempat lain. Tapi Amelia bersikeras untuk melihat-lihat dulu, seolah ingin membawa pulang semua tumpukan buku.

"Lebih bagus buku yang ini. Atau yang ini?" tanya Amelia sambil menunjukkan dua buku.

Tristan sama sekali tidak memerhatikan judulnya. Namun sampul kedua buku tersebut tampak kontras. Satu memfokuskan pada objek rumah yang tersusun dari kayu, dengan latar lautan gelap. Sedangkan sampul buku lainnya berbentuk kartu pos dengan taburan hati di pojok kiri.

"Yang ini aja," kata Tristan memilih buku yang berobjek rumah.

Mata Amelia berkedip dua kali. "Kenapa memilih ini?" tanyanya seakan sedang melihat kehidupan secara dualitas semata.

Karena lo nyuruh milih! Tristan menelan kata itu dan menggantinya dengan pilihan lain. Kalimat yang tidak akan merusak suasana. Sebab dia sendiri yang mengajak cewek itu ke toko buku. "Karena sampulnya menarik aja."

"Menurut kamu sampul ini menceritakan apa? Kamu belum pernah baca buku ini, kan? Belum lihat sinopsisnya juga?"

"Belum," jawab Tristan sambil lalu.

"Jadi kenapa kamu tertarik untuk memilih ini?" Amelia bertanya. Dia meletakkan buku bersampul kartu pos pada tempatnya. Lalu, menggenggam erat buku pilihan teman sebangkunya.

Tristan menoleh, terjatuh pada kedalaman sorot mata Amelia. Cepat-cepat kepalanya menengok ke arah buku. Judulnya. "Persinggahan Sementara," dia membacanya. "Judul buku yang menggenapkan sampulnya. Ini betul novel remaja?"

"Enggak tahu. Bukunya nyasar di rak buku lain," sahut Amelia. "Emang kenapa bukan buku yang tadi? Kan ada gambar hati terbang. Lucu."

"Norak."

"Aku penasaran. Apa arti hati bagi bagimu, Tristan? Kalau menurut aku, hati itu seperti rumah."

Tristan mengikuti langkah Amelia saat dia menyusuri rak buku lain. "Maksudnya?"

"Iya. Menurutku, hati dan rumah sama. Beberapa ada yang masuk, namun enggan menetap karena rumah kita masih menyisakan suasana tamu terdahulu. Beberapa ada yang memilih pergi bahkan sebelum sempat mengetuk pintu, karena kita sebagai pemilik rumah kurang ramah pada tamu tersebut. Beberapa ada tinggal lebih lama hingga akhirnya kita memintanya keluar. Karena kita sebagai pemilik rumah tak sanggup berbincang lebih dan dia bukan orang yang cukup tepat untuk tinggal. Beberapa ada yang sekadar iseng masuk rumah, lantas memutuskan untuk masuk rumah lainnnya dan keluar begitu saja," jelasnya, "orang-orang bisa datang dan pergi."

Tristan menggeleng. "Semua orang selalu beranjak pergi."

Amelia melengkungkan alis, keningnya menggerut dan bola matanya memicing mencari jawaban. "Aku enggak ngerti. Apa maksudmu?"

"Orang-orang hanya sengaja datang ke kehidupan kita. Supaya kita mengingat kenangan saat bersamanya. Nanti saat orang itu jenuh, dia bakal pergi. Enggak ada yang benar-benar hadir, manusia hanya meninggalkan luka bagi manusia lainnya."

Amelia nyaris terpeleset saat mendengarnya. "Itu alasan kamu enggak pernah berteman?"

"Mel, pada akhirnya kita sendiri penyembuh luka. Jadi buat apa mencari teman? Buat apa mengejar hal-hal yang sifatnya sementara?"

Seketika ekspresi Amelia berubah lembut. Cewek itu menghela napas.

"Tristan, akan ada saatnya kamu membutuhkan teman. Seseorang yang enggak akan pernah meninggalkan kamu. Seseorangnya yang enggak bersifat sementara."

"Itu menurut pendapat lo." Tristan menyemburkan napas.

Amelia tak menyahut tapi tak terbantahkan kalau suasana ceria mulai pudar. Seharian itu Amelia hanya mengikuti langkah Tristan, sama sekali tidak berkomentar pada hal-hal yang dilihatnya. Baju di toko yang tadi cewek itu bilang lucu berubah jelek saat Tristan tanyakan lagi. Dan saat diajak makan bakso, Amelia cuma bilang terserah. Tapi begitu sampai di kedai bakso, cewek itu malah nolak.

Kenapa sih cewek ini? Tristan sampai pusing sendiri. Akhirnya mengikuti intusi, dia mengajak ke tukang ketoprak di pinggir jalan. Pokoknya mau menolak atau enggak, yang penting Tristan sudah memesan satu porsi untuk Amelia.

"Gue anter pulang, ya? Udah sore," tanya Tristan saat lima menit berlalu sejak selesai makan.

"Iya," jawab Amelia tanpa menoleh. Sibuk memainkan sendok garpu di piring.

Tristan segera membayar makanan. Amelia sempat protes bahwa dia bisa bayar makanan sendiri. Sebenarnya bukan cuma sekali, dia sering seperti itu. Tapi sehubung Tristan yang mengajak, akhirnya Amelia kalah debat juga.

Cowok itu tidak peduli. Meski niat awalnya untuk memperbaiki mood Amelia dan pulangnya diakhiri perdebatan. Setidaknya saat pamit pulang, Amelia masih menepuk pundaknya dan mengucapkan terima kasih untuk hari ini. Itu saja cukup.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top