Bab 10. Seberapa Pantas?

"Enggak apa-apa Tristan, kamu juga enggak perlu melakukan semua itu," kata Amelia mencoba menghibur.

Baru saja pulang sekolah, Pak Satpam langsung mencegat jalan Tristan. Meminta seluruh kunci. Meski Tristan sudah berjanji akan datang sebelum pukul enam pagi, lelaki itu tak mau mengambil risiko. Tak ada mufakat yang mencapai kata damai, cowok itu akhirnya mengembalikan sederet kunci. Dan di sinilah dia, berjalan kaki untuk menetralkan emosinya.

Kakinya tak henti-henti menendang kerikil. Tapi tangannya tetap saja gatal jika menemukan kaleng. Dibanding ditendang, ia memungutnya dan memasukkan ke tong sampah terdekat.

"Kalau mau, kamu bisa melakukannya besok, kan? Datang pagi-pagi, membersihkan kelas seperti biasa. Omong-omong, kenapa kamu mesti melakukan semua itu? Kamu kan tahu kalau ada petugas kebersihan. Lagipula berat buatmu membersihkan seluruh kelas sendirian," sambungnya.

Tristan menyemburkan napas. Teman sebangkunya tak mengerti. Tidak ada yang mengerti dirinya selain mama. Itu alasan cowok itu malas membuat relasi sosial jenis apa pun.

"Ya," sahut Tristan datar.

Sepanjang perjalanan, mereka hanya menyusuri bahu jalan. Di belakangnya, dengan jarak pandang yang jauh, mobil hitam mengikuti. Pengawal Amelia yang mendapatkan titah langsung dari Ayah mengendarai mobil dengan perlahan-lahan.

Tristan sudah tahu. Tapi suasana hatinya sedang buruk dan tidak ada keinginan untuk berdebat. Jika memang ingin Amelia cepat sampai rumah, pengawal itu bisa mempercepat laju mobilnya. Membuka pintu dan memperilakukan cewek itu seperti putri, bukannya hanya mengamati dari jauh.

"Mau Oreo?" tanya Amelia sambil menjulurkan bungkusan yang isinya tinggal separuh. Sebelah tangan yang lainnya memegang jus jeruk.

Cowok itu menggeleng. "Lo udah dijemput tuh. Sana pulang. Daripada jalan kaki. Gue lagi butuh berpikir sendiri dulu."

Amelia menjulurkan bibir bawahnya. "Enggak ah, enggak mau. Aku udah tahu dari tadi kok. Males. Aku maunya pulang bareng sama kamu, kok."

"Capek loh jalan kaki. Ntar kalau lo pegel-pegel, orangtua lo nyalahin gue lagi," sanggah Tristan.

"Rese! Jangan bilang begitu dong. Aku enggak suka kalau diagung-agungkan gitu!" omel Amelia sambil melempar gelas jus jeruknya yang sudah kosong ke tempat sampah depan rumah warga.

Tristan mengangkat bahunya. "Emang nyatanya lo diagung-agungkan, kan?"

Sebelum sempat menghindar, cowok itu mendapat cubitan paling ganas dari jemari cewek itu. Hingga Tristan menjerit kesakitan.

"Eh, lo kalau cubit orang jangan kecil-kecil, dong! Sakit tahu!" serunya galak.

"Biarin! Ngeselin sih! Kalau ngomong dipikir dulu, supaya enggak menyakiti perasaan orang lain," cetus Amelia bersunggut-sunggut.

Cewek itu selalu menunjukkan wajah ceria yang polos. Melihat wajahnya sekarang berlipat-lipat membuat Tristan tersenyum-senyum sendiri. Baru kali ini dia mengamati Amelia sedemikian rupa. Betapa wajahnya yang bulat telur memerah berkeringat terbakar mentari yang tenggelam. Rambutnya yang biasa rapi kali ini digulung asal-asalan karena selesai olahraga. Baju olahraganya bahkan dua kali lebih besar dari ukuran tubuhnya.

"Maaf deh," kata Tristan, dia bahkan kaget mendengar ucapannya sendiri, "katanya mau naik sepeda pas pulang. Ayo belajar."

Bibir Amelia berkedut gembira, wajahnya kembali bahagia. "Oh iya, aku lupa. Tapi enggak langsung pulang, ya? Muter-muter dulu supaya lancar."

"Eh? Gue dibonceng lo aja udah malu-maluin. Masa mau orang dari sabang sampai marauke ngelihat aib itu, kebelah deh langit," cibir Tristan.

Amelia tak menyahut, sibuk memasukkan bungkus Oreo yang isinya tinggal seperempat ke dalam tas.

"Haiii Amelia! Cie... cie... jalan sama Tristan, nih?" seru seseorang yang menjulurkan kepala dari jendela pada mobil yang sedang melaju.

Belum cukup sampai situ, suara lanjutan kembali terdengar. Kali ini dari dua bersaudara, cewek-cowok yang sekelas di lantai tiga dengan motor yang melesat.

"Kak Amelia! Cie... tumben pulangnya sama cowok," teriak cewek itu sambil tersenyum manis.

Bagi Tristan dunia sudah runtuh saat sahutan ketiga, keempat dan seterusnya. Semua sama-sama menyebutkan nama Amelia lebih dulu, lalu namanya. Bahkan ada yang jelas-jelas tidak tahu nama dia sama sekali. Hanya memberikan candaan aneh kepada Amelia. Sudah jelas bahwa beberapa bulan di sekolah baru, nama Amelia serupa virus yang menyebar luas. Sedangkan Tristan yang jelas-jelas tiga tahun di sekolah menengah itu tampak tidak dikenali siapa pun. Tipe underground.

Akhirnya, Tristan memutuskan untuk membonceng Amelia sampai jauh dari sekolah. Tentu saja mobil para pengawal mengikuti dari belakang. Kalau dipikir-pikir, mirip iring-iringan menteri saja. Amelia yang memahami situasi, sama sekali tidak berkomentar banyak.

"Kita ke Taman Bougenvil, ya." Ucapan Tristan lebih berupa pernyataan yang butuh dipertegas, bukan bermaksud melontarkan pertanyaan.

Amelia kali ini tidak memegang ujung baju Tristan saat sepeda itu melesat. Melainkan pundak yang membuat Tristan tergelitik. Merasakan sensasi aneh. Lebih baik di ujung bajunya. Meski setiap kali ingin mencuci, Tristan selalu menemukan kerutan hasil cengkraman tangan Amelia. Tapi lebih baik dibanding menyentuh pundak, terpisahkan satu lapis seragam tipis. Satu lapis yang memisahkan kulit mereka. Tapi getarannya sampai membuat Tristan ingin terjengkang jika bukan sedang mengendarai sepeda.

"Taman Bougenvil deket komplek aku? Wah, aku sering ke sana, loh," kata Amelia memberikan informasi aktual. "Banyak anak-anak di sana. Kasian deh, mereka enggak sekolah. Umurnya variasi, Tris. Tapi rata-rata dibawah empat belas tahun."

"Oh," gumam Tristan tak tertarik.

"Mereka bukan pengimis kok. Mereka kerja. Ngamen di pinggir jalan. Ada juga yang jadi tukang sol sepatu. Ada yang jualan chiki, permen dan tisu kayak pedagang asongan. Hebat, kan? Mereka memenuhi kebutuhan hidup sendiri walau udah ditinggal orangtua. Sayangnya, mereka belum bisa membaca dan menulis,. Tapi, tenang aja. Aku sudah menaklukan hati mereka. Nanti Minggu depan, mereka bakal belajar baca bersama aku. Kamu mau ikut?"

"Enggak ah," sahutnya singkat.

Amelia mengerucutkan bibir. "Kenapa?"

"Karena itu urusan lo, bukan urusan gue."

Cubitan kecil mendarat tepat di pinggang kirinya, membuat Tristan nyaris kehilangan keseimbangan. Akibatnya, sepeda meliuk-liuk di aspal tak berbatu. Beruntung kondisi jalanan yang dilaluinya tidak ramai, cendrung sepi dengan beberapa kendaraan motor saja yang lewat.

"Jangan cubit-cubit mulu, dong!" serunya masih berfokus mengayuh sepeda.

Sesampainya di taman, Amelia melonjak-lonjak gembira. Lantas meloncat-loncat memasuki taman mencari tempat duduk yang kosong. Pilihannya di bawah pohon rindang yang sedang berbunga melati. Beberapa bunga berguguran, menghiasi bangku besi.

"Tasnya di sini aja, ya?" ujar Amelia sambil melempar tasnya asal-asalan di bangku. "Aku latihan di jalan setapak ini sampai pohon paling besar di ujung itu. Oke?"

Tristan mengangguk-angguk.

Ia duduk di bangku itu sambil memperhatikan Amelia. Tangan cewek tersebut sudah piawai mengatur tinggi rendah sadel. Lantas mengayunkan kakinya bersiap mengayuh. Gerakannya sesekali limbung, namun bisa mengontrol agar tidak terjatuh. Motivasi cewek itu meningkat seiring latihan bolak-balik jalan setapak. Saat berbelok, Amelia memang tidak lagi melakukan gerak mematahkan stang sepeda tapi terlalu jauh mengambil putaran. Itu bisa membahayakan nyawanya sendiri saat turun ke jalan raya. Bukan tidak mungkin kendaraan dari arah belakang akan menubruknya.

Setengah. Satu. Dua jam terlewati hingga sore menjelang.

Jalanan yang awalnya lenggang berubah macet. Pengamen cilik beraksi di jalan dengan menjual suara. Pedagang asongan berkeliling mencari rezeki.

Begitu selesai latihan dan beristirahat sebentar. Tristan menghadiahkan es krim untuk Amelia. Senyum cewek itu merekah terlalu lebar hingga membuatnya terlihat konyol. Dan senyum itu mengiringi langkah Tristan sepanjang mengayuh sepeda.

"Pulang lewat Jalan Mawar dulu, ya?" Amelia membuka suara setelah setengah perjalanan.

Tristan memperlambat lajunya. "Bukannya itu malah berputar-putar, ya? Kalau langsung potong jalan kan lebih cepat sampai ke rumah lo."

"Iya tahu kok," sahutnya, "tapi aku mau lama-lama sama kamu."

"Ngapain lama-lama sama gue? Berat tahu lo diboncengan. Makan es krim aja malah nambah berat nih," respons Tristan.

"Aku mau ngobrol aja sama kamu."

Dia tidak menyahut. Tapi tak terbantahkan, kalau Tristan membelokkan sepedanya ke arah Jalan Mawar. Terpaksa berputar-putar dari taman ke jalan raya yang kondisinya jam pulang kantor. Sayangnya, meski sudah menuruti keinginannya, cewek itu tak juga mengajak mengobrol. Maka mau tak mau keduanya larut dalam kebisuan panjang.

Sesaat di lampu merah, Amelia baru membuka suara. Kata-katanya tak tersusun beraturan. Cowok. Teman. Aldo. Orangtua. Sampai cewek itu tutup mulut, Tristan tercengang. Hanya sepuluh menit lebih tak berbicara, begitu membuka mulut langsung memiliki banyak topik untuk diungkapkan.

"Tris, bagaimana menurutmu?" tanya Amelia gemas.

"Jadi, lo ketemu sama teman SD yang namanya Aldo? Kalian enggak nyangka satu sekolah lagi, walau beda jurusan. Dan sekarang, dia mau ngajak jalan dengan datang ke orangtua lo?" tanya Tristan menyaring ucapan cewek itu. "Ya. Itu keputusan lo."

Kesimpulan yang kontradiksi dengan keinginan hati Tristan. Ada rasa mengganjal saat Amelia menyebut nama cowok lain. Tapi dia sendiri tidak bisa menjelaskan perasaannya.

"Kamu ikut jalan sama kita aja, ya?" bujuk Amelia semringah dengan idenya sendiri. Tangannya menguncang-guncangkan bahu bidang Tristan.

Ketika hendak menjawab, suara familiar memanggil namanya. Dari arah mobil hitam di sebelah kanan, dipisahkan tiga motor yang juga menunggu perubahan warna lalu lintas. Tanpa menoleh, Tristan sudah tahu itu suara siapa. Tapi intuisinya untuk memastikan membuat kepalanya menengok juga.

Tristan buru-buru membuang muka begitu melihat wajah orang tersebut. Sudah cukup ribuan hari sulit saat mencoba mengerti. Jika sekali lagi sosok itu meminta lagi, sudah dipastikan Tristan akan menolak untuk kesekian kalinya. Cerita-cerita patah hati yang memang layak untuk diingat di dalam serebrumnya.

Begitu lampu merah, berubah kuning lantas berganti hijau, Tristan cepat-cepat memacu sepedanya menembus terpaan angin. Bisa dirasakan teriakan Amelia untuk mengayuh pelan-pelan. Tapi untuk kali ini, cowok itu tak akan mendengarkan. Sebagai gantinya, cewek tersebut mencengkram baju seragam teman sebangkunya lebih erat.

Tindakannya sudah membelah langit sore, tapi mobil hitam tadi gesit mengejarnya. Menyamakan laju. Hingga akhirnya menghadang jalur lewat. Sampai sepedanya bertubrukan dengan badan mobil yang melintang di tepi jalan. Pintu belakang terbuka memperlihatkan sosok gagah.

Pria berpakaian kerja berbicara spontan. "Apa kabar kamu, Nak?" tanyanya. Bahkan anak kecil pun tahu ada nada rindu yang terselip dalam suara seraknya.

Tristan bergeming.

Amelia hanya duduk diboncengan dengan tatapan menyelidiki. Bergantian menatap Tristan dan pria berjas hitam itu. Menerka-nerka.

Cowok itu menggerakan stang sepedanya, mencoba mundur dan melewati mobil. Tapi beberapa pengawal datang mencegah. Tristan turun dari sepeda diikuti Amelia yang bergerak bersembunyi di belakang tubuh cowok tersebut.

"Ada keperluan apa?" tanya Tristan dengan sinis.

"Papa perlu bicara sama kamu," kata pria itu lugas.

Tristan mencibir. "Bicara? Apa lagi yang mau dibicarakan? Semua urusan sudah selesai begitu anda memutuskan untuk menikah lagi!"

Tamparan ringan mendarat di pipi Tristan. Amelia menjerit kaget. Sama sekali belum pernah melihat hal-hal kasar di depan mata.

Sementara Tristan kukuh di tempatnya berdiri. Hanya menatap sosok yang semakin asing di depannya. Begitu saja bertahun-tahun berlalu tanpa penyesalan. Tanpa meminta persetujuannya seolah pendapat darinya tak bernilai. Lantas dia tercabik sendiri dengan beragam pertanyaan menyesakkan. Suami jenis apa yang tega menikah lagi saat kuburan istrinya masih basah? Lelaki menyedihkan mana yang tega menggantikan cinta sejati dengan sebongkah perasaan baru? Bahkan jika itu artinya mencoba mengulang dari awal.

Seberapa pantas dia memanggilnya Papa? Masih layakkah hubungan mereka disebut keluarga?

Di detik berikutnya, Tristan membuang muka. Menuntun sepedanya setelah mengajak Amelia pulang. Melewati pengawal. Kali ini tidak ada usah pencegahan dari mereka. Bahkan Papa hanya berdiri di sana, menyesalkan detik yang baru saja terlewat.

Begitu merasa terbebaskan, Tristan segera naik ke sepeda, memberi kode pada Amelia untuk melakukan hal yang sama. Di perjalanan, kegembiraan telah luntur. Dibanding tadi, kebisuan kali ini lebih parah. Suram. Amelia dibelakang memutar otak untuk mencoba mengajak bicara hal-hal konyol. Sia-sia saja.

Hingga Amelia memberanikan diri bertanya. "Tadi itu Papa kamu?"

"Gue enggak kenal!" bentak Tristan.

Jawaban itu menggiringi kepulangan mereka. Tristan bahkan langsung mempercepat mengantar Amelia dengan lewat gang sempit. Tanpa bicara, keduanya berpisah.

"Kamu hati-hati di jalan. Jangan ngebut, ya," kata Amelia sesaat setelah turun.

Jangankan menjawab, menengok saja tidak. Kalimat itu menguap bersama sore yang mengantarkan Tristan menuju rumah. Matanya berair menyaksikan bagaimana perasaan yang dulu muncul, datang menghantam. Sekali lagi.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top