Bab 1. Virus Itu Bernama Amelia
Tristan mengikuti barisan di lapangan yang mulai terbentuk. Berbanjar hingga menutupi pagar yang terkunci. Wajah-wajah Senin pagi yang diselimuti mentari mulai terlihat menjengkelkan baginya. Kaku, murung, kesal dan pasrah.
Sebelum pikirannya menyeruak, seorang cewek susah payah menerobos barisan. Mendorong tubuh Tristan hingga membuatnya terhuyung-huyung dan seketika menghilang dari pandangan.
Upacara bendera berlangsung singkat karena bukan kepala sekolah yang memberikan amanat. Tristan harus mengakui bahwa Bu Mei, wali kelasnya sekarang, payah dalam menyampaikan kalimat panjang. Tetapi, saat menasehati anak nakal bisa memakan waktu tiga hari dua malam. Dan dalam suasana berkabung, upacara ini tak ada artinya. Hanya formalitas.
Kepala sekolah meninggal kemarin pagi . Beritanya cepat menyebar luas. Spekulasi libur tidak pernah ada, karena SMA Pattimura diisi oleh pengajar berdedikasi untuk menjunjung tinggi kegiatan belajar. Sekarang, vakum of power di sekolah ini menjadi hal ganjil. Tidak ada kobaran dan kalimat berapi-api yang selalu dibacakan kepala sekolah. Semua terlihat kelabu dan muram.
Satu-satunya yang menunjukkan ekspresi datar adalah Tristan. Ketika rantai pesan singkat menyebar luas pada Minggu pukul 07:00, maka pagi itu juga ia mengayuh sepeda ke rumah kepala sekolah setelah berpamitan ke orang rumah. Tristan menolak saat Tante Lara dan Om Agus berniat mengantarkan. Di perjalanan, ia membeli seikat bunga.
Sampai di sana, pagarnya terbuka. Bendera kuning berkibar dengan tulisan nama Slamet Kardjadja dan tentu saja Tristan tidak menemukan almarhum di sana. Ia lupa memprediksi hal tersebut. Kini, ia hanya melihat sekumpulan orang yang menangis dan terburu-buru naik mobil.
Ia mencegah salah seorang yang tidak dikenal. "Jasad almarhum Pak Slamet sudah sampai ke rumah?" tanyanya dengan nada tenang yang dibuat-buat.
Orang itu tampak kaget dengan kehadiran Tristan. Tetapi saat melihat bunga kamboja di tangannya, ia tersenyum paksa, "Masih di rumah sakit. Eh, kamu yang sering ke sini tiap sore, kan?"
"Rumah sakit apa?"
"Di Rumah Sakit Imam Bonjol. Kam—"
Sampai di rumah sakit, Tristan memakirkan sepeda di parkiran dan berlari ke dalam Tristan masih memegang erat seikat bunga yang kini berbau asap knalpot. Beberapa kelopaknya rontok, tapi tidak menghentikan niatnya untuk masuk ke dalam ruangan. Sepuluh pasang mata langsung menatapnya bingung ketika ia menyeruak masuk.
Tristan berjalan perlahan ke ranjang besi. Bau antiseptik memenuhi udara. Orang di dalam ruangan terlalu kaget untuk mencegahnya ketika badan Tristan sudah berdiri di sisi ranjang.
"Tristan ...."
Suara perempuan paruh baya memanggil namanya. Istri kepala sekolah. Tristan seolah telah kehilangan tanah yang dipijaknya. Kepalanya menunduk dalam. Ia menatap hampa pada tubuh yang terbujur kaku di balik selimut.
Tangan Tristan ingin sekali menarik selimut bagian wajah, untuk melihat sosoknya terakhir kali. Tapi, kata terakhir kali sama artinya dengan perpisahan. Tristan tidak ingin berpisah dengan orang yang begitu berjasa membantunya sekolah. Ia tidak ingin menjadi orang yang mengucapkan kalimat duka di situasi menyedihkan ini.
Jadi, ia meletakkan buket bunga di nakas. Bergerak memeluk istri kepala sekolah sambil mengucapkan terima kasih. Lalu bergegas pergi. Ia tidak akan mampu berbicara lebih banyak lagi.
Dan sekarang, di pagi ini, Tristan mendapati dirinya sendiri merenungkan kejadian yang telah menimpanya. Begitu cepat bagai sekejap. Setiap pertemuan pasti berakhir perpisahan. Bila dipikirkan dengan saksama, ia jarang berbicara kepada kepala sekolah. Meski ratusan bantuan datang padanya, meski pundak beliau seringkali dijadikan sandarannya. Dan kematian seolah mengingatkannya pada banyak hal.
"Hargai orang yang kamu miliki sekarang."
Kalimat seminggu lalu yang kini berubah menjadi kalimat terakhir. Tristan mengembuskan napas. Menata hati ketika memasuki kelas. Mengeluarkan buku pelajaran. Sampai Bu Mei hadir dengan cewek yang mendorongnya di lapangan tiga puluh menit lalu. Bertanya-tanya mengapa Tristan baru melihat cewek berpita itu.
Ia memperkenalkan diri.
Tristan mengangguk mengerti. Tetapi tidak cukup peduli untuk mendengarkan. Sayup-sayup suara lembut lewat dari telinga. Ia menyibukkan diri dengan membuka buku dan membaca. Beberapa menit kemudian, seseorang melempar tas di samping bangkunya.
"Hai. Kosong, kan?"
Suara bernada ceria itu bertanya, membuat Tristan menoleh. "Menurut lo gimana?"
Bagaimana mungkin seseorang tidak bisa melihat kondisi kursinya? Pikir Tristan tak percaya. Sudah jelas-jelas ia dan tas ranselnya yang menempati bangku sebelah.
"Aku duduk di sini, ya."
Sebelum Tristan sempat mencegah, cewek itu meletakkan tasnya. Wangi colone bayi seketika menyeruak di udara.
"Lo enggak boleh duduk di sini!" Tristan memaki.
Cewek itu tersenyum simpul. Memindahkan tas Tristan ke meja. "Nama kamu siapa? Nama aku Amelia."
Tristan terperanjat. Amelia bagai virus yang datang meski tak diharapkan. Tetapi, ia biarkan juga cewek itu duduk. Tristan menarik tas dengan kasar. Enggan menoleh meski Amelia mengajak bersalaman. Hingga Amelia menurunkan tangannya sendiri.
Jam pelajaran belum juga dimulai. Gurunya belum hadir. Mungkin sedang berdiskusi tentang kunjungan berduka cita, galang dana dan sedikit inspirasi untuk mengisi kekosongan kekuasan di sekolah. Begitulah cara orang berduka di sekolah. Waktu luang tersebut disambar sebagai kesempatan untuk mengobrol oleh murid sekelas.
"Kamu lagi baca apa?"
Tristan tetap memilih bungkam. Hampir tidak bergerak dari kursi, matanya tak lepas menyelami kalimat-kalimat di buku. Ia sudah membaca buku paket biologi itu lima kali. Dan memilih membacanya lagi dibanding mengobrol dengan Amelia.
"Itu bab mutasi, ya?"
Tristan bergeming.
"Aku juga suka bab mutasi," kata Amelia meski tidak ditanggapi. "Perubahan gen karena mutasi mengakibatkan orang mengalami kelainan. Aku jadi inget film X-Men yang mengangkat tema mutasi dalam artian yang lebih canggih. Kamu pernah nonton film itu? Kalau di film, kelainannya kelihatan keren. Bisa berubah bentuk. Eh, tapi sebenarnya dia juga awalnya lemah sih, terus berubah jadi kuat karena . Hei, mau ke mana? Aku belum selesai bicara."
Tristan tetap memilih pergi. Keluar kelas. Telinganya berdengung oleh kosakata dengan ritme yang memecahkan konsentrasi. Kenapa sih, anak baru itu begitu cerewet? Kenapa pula harus duduk di sampingnya? Bangku lain masih ada. Ia menyemburkan napas. Mengentakkan kaki ke wastafel toilet.
Mencuci tangan dua kali dengan sabun cair. Sabun yang baru ada beberapa minggu belakangan ini. Rasanya begitu sulit bagi bendahara sekolah untuk mengeluarkan sedikit uang untuk menyediakan sabun cuci tangan. Padahal itu bukan uangnya. Seandainya kemarin-kemarin ia tidak menegur Pak Mus untuk membeli sabun, pastilah belum ada sekarang.
Ia menghela napas berat. Selain bermasalah dengan kebersihan, perpustakaan sekolah ini juga minim buku menarik. Setiap rak hanya diisi buku cetak pelajaran. Mau tak mau, Tristan menegur pustakawan untuk menyediakan ensiklopedia, majalah, kamus idiom, novel, dan hiburan sejenis.
Akhirnya, pendapatnya bisa diterima di tahun terakhir Tristan bersekolah. Terbukti mampu meningkatkan kunjungan perpustakaan. Minat membaca anak-anak menemui muaranya.
Dengan hati lebih ringan, Tristan bergegas kembali ke kelas. Duduk di bangku dan mendapati wajah Amelia yang berseri-seri dengan buku di tangannya.
"Aku pinjem buku kamu. Mau lihat isinya. Kamu kelihatan asyik banget sih, membaca. Jadi, penasaran. Eh, nama kamu bagus juga." Amelia menunjuk label nama di sampul buku cetak. "Tristan Michael Theodrintias. Aku panggil kamu Tris saja, ya?"
Tristan tercengang. Terlalu kesal untuk bereaksi.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top