8. Mood Swing

Sehari menjelang outing class, Raditya dan Raina tetap saja sibuk membujuk Agni agar Bara bisa datang dalam kegiatan sekolah yang akan diselenggarakan di Tawangmangu. Tentu saja Agni akan mencari jutaan alibi agar Bara tak lagi berhubungan dengan anak-anaknya.

“Papi sibuk,” jawab Agni datar sambil melahap nasi goreng buatannya.

Bibir Raina seketika mencebik maju beberapa senti. Jurus merajuk yang kembali dikeluarkan seketika saja menguras kesabaran Agni. Belum lagi Raditya yang berulah menepuk meja dengan sendok garpunya, dan berseru menyebut papinya, seolah menyemangati rajukan Agni.

“Papi! Papi! Papi!” Seruan Raditya semakin membakar amarah yang berusaha Agni redam.

“Raditya! Raina!” Agni berdiri sembari menggebrak meja.

Kedua anaknya serta merta membeku. Mulut mereka menganga lebar dengan mata mengerjap berulang.

“Sekali kalian sebut kata ‘Papi’, hari Sabtu Minggu nanti, kalian ga usah main hp!” Ancaman itu sering kali Agni lontarkan dan seringkali berhasil karena anak-anaknya selalu menantikan waktu akhir pekan untuk bermain gim.

“Tapi … tapi … kami mau Papi ….” Raina mulai terisak dengan mata berkaca-kaca.

“Kami ndak pa-pa ndak main hp asal ada Papi,” tambah Raditya. “Papi baik … mau pinjemin hp. Hpnya juga bagus, bisa dilipet. Ndak kaya punya Mami.”

Kepala Agni mendongak sambil menghirup udara dalam-dalam. Ia memijat tengkuknya yang tiba-tiba terasa kencang karena gejolak amarah yang tiba-tiba tersulut. Hanya karena kedatangan Bara sehari, didikannya selama ini buyar. Bara dengan ‘baiknya’ meminjamkan ponsel pada anak-anaknya.

“Kak, Dek, apa kehadiran Mami belum cukup buat kalian?” Agni berusaha menekan suaranya supaya tidak terkesan membentak.

“Kami mau Papi ….” jawab Raditya dan Raina hampir bersamaan seolah memang diberi aba-aba.

Agni menatap kedua anak kecil yang pernah bersemayam dalam perutnya selama delapan bulan, dengan sorot tak percaya. Bagaimana mungkin anak-anak yang ia lahirkan dan besarkan dengan susah payah justru menginginkan orang lain? Hati Agni ngilu seolah teriris sembilu. Ia meremas kain blus batik di dadanya berusaha menekan rasa nyeri yang tak terperi. Bahkan sakitnya melebihi saat ia melihat keintiman Bara dan Cyra di ruangan kantor Bara. Sekarang Agni merasa dikhianati oleh anak-anak yang ia lahirkan dengan bertaruh nyawa.

“Bisa-bisanya kalian ….” Mata Agni membeliak menunjuk kedua anaknya.

“Ni! Kamu kok jadi Ibu kaya gitu sikapnya!” Tante Mirna buru-buru ke luar dari kamar mandi begitu mendengar keributan di ruang makan.

“Tante ini manjain mereka terus! Kadang mereka harus ditegasi! Ada yang bisa diturutin dan ada yang ga bisa!” Agni akhirnya tak bisa menahan lagi kekesalannya dan justru meluapkan pada Tante Mirna.

“Tapi yo ra ngene carane! Mereka masih kecil. Belum paham kondisi orang tua mereka.” Tante Mirna bergegas menghampiri Raina yang mulai menangis.

“Oma, kami pengin Papi. Mami sekarang galak kaya monster!” Raditya mengadu.

Alih-alih mengalah, Agni justru berbalik masuk ke kamarnya lalu meraih tasnya untuk berangkat ke kerja. “Kalian ga butuh Mami? Oke! Cari saja papi kalian!”

***

Insiden pagi tadi berhasil membuat Agni tak bisa konsentrasi dalam bekerja. Beberapa kali ia melakukan kesalahan dalam input data sehingga ia harus mengulang untuk mengecek satu persatu angka yang terlewat. Untuk kesekian kali pula Agni menghela napas dan mengembuskan keras karena hatinya didera penyesalan telah melukai anak-anaknya. Bukan maksud Agni untuk meluapkan amarahnya begitu saja. Tapi tadi ia benar-benar ketakutan Kembar akan memilih papi mereka. Padahal mungkin bukan maksud mereka mengusik kesabaran Agni. Raditya dan Raina hanya ingin papi mereka ikut acara terakhir di TK supaya bisa menunjukkan pada teman-teman yang sering merundung mereka kalau mereka mempunyai ayah.

Sesederhana itu dan Agni menanggapinya dengan begitu rumit. Otak yang dipenuhi pikiran negatif orang dewasa lebih menguasai nalarnya sehingga membuntukan logika. Kalau sudah begini, Agni hanya bisa merintih dalam hati. Kata andai lalu menyeruak di kepala. Seandainya ia lebih sabar, seandainya ia bisa menahan diri, seandainya ia bisa menjadi ibu yang lebih baik ….

Dan detik ini, Agni benar-benar merasa menjadi ibu yang tak berguna.

Sekali lagi Agni melepas udara kasar dari lubang hidungnya. Ingin sekali ia menutup laptop lalu berlari ke sekolah untuk memeluk anak-anaknya dan meminta maaf. Ya … hampir tiap hari Agni melakukan rutinitas yang sama : meminta maaf atas kesalahan yang selalu terulang—membentak anak-anaknya—dan berakhir memeluk serta menciumi Kembar saat mereka tidur untuk menebus rasa bersalahnya.

Agni merasa berbeda dengan ibu-ibu di luar sana. Yang lebih sabar dan bisa tersenyum di hadapan anak-anaknya. Setiap ia mengemukakan perasaannya, Tante Mirna selalu bilang itu efek dari kehamilan di usia yang masih dini tanpa suami. Di saat istri yang lain bisa berbagi tugas dan beban bersama suami, Agni harus berjuang sendiri. Menyelesaikan skripsi, melahirkan, bekerja serabutan untuk menyokong hidup kedua anaknya melalui susu formula yang mahal karena ASI-nya tak mencukupi, belajar agar bisa diterima menjadi ASN, dan setelah menjadi ASN, ia harus rajin bekerja agar insentifnya tak terpotong.

Walau ada Tante Mirna yang mendampingi, Agni enggan membebani. Sudah cukupTante Mirna membantu dengan mengasuh anak kembarnya dan memberi tumpangan. Ia juga enggan bergantung pada Cakra yang sesekali memberi uang tambahan dengan dalih untuk membeli susu. Agni tak mau lagi bersandar pada orang lain karena rasanya begitu menyakitkan ketika orang yang menjadi sandaran tiba-tiba menghilang. Agni yang rapuh, tak ingin menjadi lebih rapuh dengan mengulangi kesalahannya.

“Mbak, makan siang dulu yuk.” Ajakan Ria menjeda pikiran Agni yang semrawut. Sedari tadi, tak ada lagi angka yang ia masukkan ke dalam sistem keuangan yang telah terbuka di jendela laptopnya.

“Aku nitip ya, Ri. Gado-gado.” Agni malas sekali beranjak dari duduknya.

“Mbak pucet loh. Apa ndak pulang aja?” Ria tampak khawatir.

Agni menggeleng. Ia pantang pulang sebelum jam kerja berakhir karena tak ingin jasa pelayanan dan insentifnya terpotong. Bagi Agni seribu rupiah sangat berharga untuk didapat.

Ria akhirnya keluar ruangan setelah mendapat panggilan dari seorang teman yang mengajak makan siang. Begitu teman seruangannya berbelok ke arah gedung rawat jalan, tinggallah Agni sendiri ditemani keriuhan pikiran yang masih hilir mudik di kepalanya. Namun, getar gawai yang tergeletak mendistraksinya. Nomor baru muncul di layar gawai tanpa ada gambar profil.

Agni mengernyit, menatap sejenak layar gawainya. Ia tidak bisa mengabaikan begitu saja nomor asing yang masuk karena beberapa karyawan perusahaan rekanan sering menghubunginya terkait pekerjaan. Maka, tanpa curiga Agni pun mengangkat gawainya setelah menggeser tombol hijau.

“Ni, hasil DNA udah keluar.”

Suara berat dan serak itu jelas sekali tertangkap telinganya. Agni seketika meremas ponselnya untuk meredam batin yang bergemuruh. Ia hanya berdeham saja. Mengikuti kebiasaan Bara yang irit suara bila diajak bicara.

“Kembar … anakku.”

Susah payah Agni menelan ludah. Sebenarnya ia tahu hasil dari tes yang telah mereka lakukan. Hanya saja ia belum siap menghadapi reaksi Bara.

“Mereka anakku!” balas Agni.

“Kamu … kenapa tega itu ga ngasih tahu aku? Aku bapaknya!” Suara Bara menggeram.

Agni bisa membayangkan wajah datar itu marah. Namun, semenakutkan apapun laki-laki yang selama menikahinya selalu bersikap dingin itu, Agni siap menghadapinya.

Tak ingin berdebat yang akan membuat orang di kantor jadi tahu ia punya masalah, maka Agni pun segera menekan tanda merah untuk mengakhiri panggilan. Ia bahkan mematikan lagi gawainya agar Bara tak lagi menghubunginya.

Sejak menerima panggilan itu, waktu terasa berjalan sangat lambat. Detik yang berdetak seolah bom yang berhasil menguras tenaga dan pikiran Agni. Begitu sampai di rumah, ia benar-benar kelelahan sehingga memilih langsung membaringkan badan dan terlelap sampai sore sesudah maghrib.

“Mi, bangun! Sudah sore!” Raina menciumi pipi Agni.

“Katanya ndak boleh tidur sore-sore.” Raditya menambahkan.

“Iya. Kaya lagu itu.” Raina mengingatkan. “Ngelingake ojo turu sore-sore ….”

Agni terkekeh mendengar suara melengking anak perempuannya saat menyanyi. Ia lantas memeluk kedua buah hatinya dan mengecup pipi mereka yang wangi bedak bayi dan telon bergantian.

“Mami ndak marah lagi to sama Kakak dan Adek?” tanya Raditya mengelus pipi Agni.

“Siapa yang marah?” Agni pura-pura melupakan kejadian pagi tadi.

Raina seketika menarik tubuh mungilnya sehingga kepalanya sedikit terangkat. “Tadi pagi Mami marah!” Raina tentu saja tak semudah itu melupakan kesalahan sekecil apapun. Dia benar-benar turunan bapaknya yang pendendam.

“Ga … sapa bilang?” Agni memasang wajah tak paham.

“Mami jangan marah. Kakak sama Adek janji ndak akan tanya-tanya Papi lagi.” Raditya mengangkat tangannya dengan jari membentuk huruf ‘v’.

Percakapan mereka kemudian terjeda saat Tante Mirna mengabarkan Cakra datang mencarinya.

“Mami nemuin Om Cakra dulu ya?” Agni beranjak bangkit dari ranjang setelah menyepol rambutnya ke atas. Namun, saat ia akan melangkah, ujung kain blus babydollnya ditarik Raditya.

“Boleh pinjam HP-nya, Mami?” Raditya mengerjap berulang. Agni hanya berdeham dan baru kali ini tak mendapatkan protes dari Raina bila mendapati respon mengiyakan seperti itu. Mungkin kedua anaknya tak ingin membuat Agni marah lagi dan berubah pikiran membatalkan meminjamkan HP.

Saat Agni masuk ke ruang tamu, Cakra sudah duduk di sofa panjang sambil memainkan gawainya. Lelaki itu segera menyudahi melihat reels instagram dan meletakkan gawainya di atas meja.

“Kamu kok ga iso dihubungi, Ni?”

Sudah Agni duga Cakra akan melempar pertanyaan itu dulu.

“Bateraiku habis,” dusta Agni sekenanya.

“Apa perlu aku beliin hp baru?”

“Mas! Aku bisa beli sendiri.” Agni gusar. Cakra terlalu sering membelikan barang-barang mahal. Tak hanya untuk Agni, tapi juga untuk anak-anaknya.

“Iya … iya. Kamu sekarang udah bisa mandiri secara finansial.” Cakra langsung membelokkan topik percakapan. “Oh, ya, gimana outing class Kembar? Yakin aku ga perlu ikut?”

“Ga usah. Mas ‘kan malam ini mau balik ke Surabaya to?” Agni memberi alasan semasuk akal mungkin agar tak menyinggung Cakra.

“Aku bisa berangkat besok sore. Habis outing class.”

Agni mengembuskan napas kesal. Sepertinya kedatangan Bara benar-benar mempengaruhi suasana hatinya akhir-akhir ini sehingga ia tak bisa menyembunyikan nada ketusnya. “Ga usah.”

Jelas Agni menolak, karena ia tak ingin malu di depan teman Bara. Jeremy sudah tahu Bara adalah ayah anak-anaknya. Tak mungkin Cakra tiba-tiba muncul. Bisa jadi masalah akan runyam dan berakibat Kembar bisa dirundung teman-temannya lagi karena punya banyak ayah.

Embusan napas Cakra menyesakkan dada Agni. Ia selalu mengecewakan Cakra karena terus menolaknya. Bagi Agni, Cakra terlalu baik sehingga ia tak pantas mendampinginya. Lagipula hati Agni telah mati. Terkunci dan enggan merasakan romantisme cinta lagi.

Keheningan kemudian menyergap. Kesunyian yang sering terjadi karena Agni selalu memilih membisu di depan siapapun. Ia akan menelan kepahitannya sendiri agar tak ada orang mengasihaninya sehingga bisa membuat ia kembali menjadi Agni lemah yang selalu bersandar pada orang lain.

Namun, kebisuan itu akhirnya pecah, ketika Cakra membuka mulutnya. “Ni, apa aku bener-bener ga pantes jadi ayah anak-anakmu?”

💕Dee_ane💕

Kasih jejaknya kuy ...

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top