6. Insiden di TK
Agni tak bisa tidur semalaman gara-gara ancaman Bara. Kalau hasil tes DNA keluar, surat itu akan menjadi alat bukti Bara menggugat hak asuh anak-anaknya. Mengingat hal itu, untuk kesekian kali Agni mendengkus kasar.
“Mbak, ada masalah po? Tak perhatikan dari tadi cak cek cak cek wae.” Ria dengan logat Solonya yang kental membuka suara. “SPJ udah beres kemarin loh. Kita wes bisa santai.”
Agni mendongak, mengalihkan pandangannya dari layar laptopnya ke arah Ria, staf keuangan yang sangat rajin. “Ga popo, Ri. Cuma rada capek kemarin dolan ke Solo Safari.”
“Tumben jalan-jalan pas hari kerja? Jarang banget loh njenengan izin.”
Agni memberikan cengiran. “Ah, itu … ada tamu.” Hanya itu jawaban Agni.
“Tamu siapa?” Ria berusaha mengorek.
Agni hanya tersenyum tipis, kembali menekuri layar laptopnya. Ia pantang menceritakan masalah pribadi di kantor karena malas akan menjadi bahan perghibahan teman-teman yang julid. Kebiasaannya itu justru membuat Agni menjadi sosok misterius dan sering menimbulkan prasangka. Apalagi statusnya adalah janda.
Di saat Agni sudah larut kembali dalam pekerjaannya, tiba-tiba gawainya berbunyi. Agni melirik nama kontak yang terpampang di layar.
Bunda Marta
Perasaan Agni tak nyaman. Kali lalu, ia mendapat telepon sekolah berkaitan dengan perkelahian Raditya dengan Renza atau teman-temannya yang lain. Dan, kali ini tebakan Agni pun berbukti.
“Raditya sama Raina kelahi sama Renza, Ma. Mama bisa ke sekolah?” Suara Bunda Martha dari speaker ponsel menabuh gendang telinga Agni.
“Raina?” Agni mengernyit. Selama ini Raina tidak pernah terlibat masalah. Kenapa tiba-tiba anak perempuannya ikut berkelahi?
“Iya, Ma. Ini saya juga telepon orang tuanya Renza juga.”
Agni mengembuskan napas kasar. Setelah menutup percakapan, ia lantas bangkit, mencangklong tasnya, dan meraih kunci motor. “Aku ke sekolah, Ri.”
“Radit lagi?”
Agni hanya melempar cengiran yang bisa langsung ditangkap artinya oleh Ria. Saking seringnya Agni dipanggil karena Raditya berkelahi.
Tak ingin membuang waktu, Agni pun bergegas menuju parkiran untuk meluncur ke sekolah. Sepanjang perjalanan ia merutuki dirinya karena tak bisa menjadi ibu yang baik untuk anak-anaknya. Pada akhirnya, Agni juga menyalahkan diri karena tak bisa menjadi istri yang baik hingga ia digugat cerai sehingga Raditya dan Raina harus menjadi anak broken home yang kehilangan cinta seorang ayah. Sekuat tenaga Agni ingin menjadi sosok ayah, tetap saja anak-anak tak puas dan berakhir menjadi anak-anak yang agresif.
Tapi, nasi sudah menjadi bubur. Tujuh tahun kehidupan tanpa Bara sudah ia jalani. Kini setelah Bara datang, ketakutan Agni kehilangan anak-anak semakin menjadi-jadi. Bagaimana kalau Bara menggunakan alasan keagresifan anak-anak untuk mendapatkan hak asuh?
Pikiran buruk Agni terjeda, begitu tiba di sekolah swasta yang tak jauh dari rumah. Suasana riuh dengan pekik dan tawa anak-anak menyambutnya, ketika roda motor berputar memasuki halaman sekolah. Setelah ia memarkirkan motor, Agni segera bergegas ke ruang guru dan mendapati Raditya dan Raina ada di sana dengan seorang pria dewasa yang terlihat kusut wajahnya, memangku anak laki-laki yang menjadi musuh bebuyutan Raditya karena seringnya mereka berkelahi.
“Mami!” Raina berseru dan segera berlari memeluknya. Tangisnya pecah, berlomba dengan keramaian halaman.
Agni menunduk, mengelus rambut berkepang dua yang berantakan. Rambutnya kusut, kemeja seragamnya kotor, dan keluar dari roknya. “Sudah nggak pa-pa. Mami ada di sini.” Agni menahan lidahnya untuk tidak bertanya, karena Bunda Marta mendatanginya untuk mempersilakan duduk terlebih dahulu.
Setelah menjabat tangan laki-laki berparas Indonesia Timur yang kira-kira berusia sepantaran Bara, Agni duduk, merangkul Raditya yang sedari tadi bergeming menatap nyalang laki-laki dewasaitu. Sepertinya kali ini, papa Renza yang datang untuk mediasi.
“Jadi, Bu ….” Akhirnya Bunda Puri, kepala sekolah TK, membuka mulut. “Raditya dan Raina berkelahi.”
Agni menatap anak kembarnya bergantian, lalu berkata, “Maaf.”
“Mami kok minta maaf? Mami nggak salah! Yang salah Renza!” Raditya menyahut.
“Kak!” sergah Agni makin terkikis kesabarannya.
“Mami jangan marahin Kakak! Renza yang mulai. Dia bilang kami nggak punya Papi.” Raina memeluk erat Raditya yang bahunya bergetar.
“Siapa bilang kalian nggak punya Papi?” Agni menoleh ke arah ayah dari Renza. “Kemarin kan kita jalan-jalan sama Papi.” Hati Agni tersayat. Ia terpaksa mengakui Bara sebagai tameng dari tudingan itu.
Laki-laki itu berdeham. “Maaf kalau Renza lancang. Namanya juga anak kecil. Lagian Renza bilang nama papinya Kembar kok berubah-ubah. Kemarin Cakra, sekarang Bara.” Tarikan bibir papa Renza itu terlihat menyebalkan. Persis seperti orang-orang yang sering mengecapnya sebagai perempuan nakal penggoda laki-laki.
Telinga Agni terasa panas. Wajahnya memerah karena darahnya mendidih. “Tolong beritahu anak Bapak, kalau anak-anak saya punya ayah. Kalau ga percaya, silakan lihat berkas akta lahir anak-anak!”
“Eitz, Mbak, ups … maaf, Ibu tidak usah ambil hati. Saya percaya mereka punya ayah.” Ucapan orang itu terkesan menyindir.
“Papi! Papi di mana?” Suara Raditya menyeruak di antara percakapan orang dewasa. Saking tegangnya bercakap dengan papanya Renza, Agni sampai tak sadar kalau gawainya sudah di tangan Raditya.
Agni berdecak. Kenapa Raditya langsung terpikir melakukan panggilan telepon di saat kondisi anak itu acak-acakan seperti ini?
“Loh, Kak … Kakak kenapa?” Suara Bara terdengar keras di video call.
“Berantem. Papi di mana?” Raina menyela percakapan.
“Di stasiun. Papi baru sampai Surabaya. Kenapa bisa berantem?” Suara berisik pengumuman keberangkatan berlomba dengan suara Bara.
“Ada temen, namanya Renza, bilang Kakak sama Adek ndak punya ayah.”
“Yang mana anaknya?” Suara Bara meninggi.
Tanpa sadar Agni tersenyum sambil melirik ayah dan anak yang ada di depannya.
Raditya membalik layar gawai Agni, menghadap ke arah Renza dan ayahnya. “Ini, Pi. Yang sering olok-olok Kakak Adek ndak punya Papi.”
“Loh, Jer …?”
Ayah Renza itu mendekatkan wajahnya ke layar ponsel yang dipegang Raditya. Matanya menyipit di balik kacamatanya. “Loh, Bara. Kok …?” Jeremy menatap Raditya, Raina, dan Agni bergantian. “Mereka … anakmu?”
“Iya, mereka anakku. Wo … anakmu ternyata yang bikin gara-gara!”
Jeremy terbahak. “Oalah, jangan-jangan mamanya Kembar ini man …?” Jeremy mengernyit hingga alis lebatnya seperti bersatu, melirik Agni.
“Wes, wes. Kembar punya Papi. Clear! Awas kalau anakmu nakali anakku! Mana maminya Kembar?”
Jeremy menyerahkan gawai Agni kepada pemiliknya. Sementara itu, Agni menerimanya dengan muka merah padam.
“Ni, ka—”
Buru-buru Agni memotong ucapan Bara. “Eh, sudah ya. Ini masih ngobrol.” Dan, akhirnya panggilan terputus sepihak.
Agni mendengkus dengan ekspresi datar, memandang Jeremy yang tak melepas tatapan ke arahnya.
“Oalah, pantes saya merasa pernah lihat Mbak Agni. Ternyata mantan istrinya Bara.” Jeremy mengulurkan tangannya.
“Kenalkan, saya Jeremy. Sahabatnya Bara waktu kuliah.”
Susah payah Agni menarik pipinya. Yang ada, hanya senyum canggung yang tergambar di wajah. Ia pun membalas jabat tangan Jeremy sekenanya. “Sebaiknya Bapak beritahu putra Bapak supaya ga nyakitin perasaan orang lain.”
Jeremy tersenyum. “Saya minta maaf.” Pria itu kemudian berbicara pada putranya dan anak itu mendekati Agni.
“Tante, maaf. Renza nanti tidak akan bilang gitu lagi sama Kembar.” Anak itu sesenggukan.
Agni mengembuskan napas panjang. Ia menarik tangan Renza mendekat. “Tante percaya Renza anak baik. Jadi, Renza harus ngomong yang baik juga dengan temannya. Oke?”
Renza mengangguk dan setelah meminta maaf pada Raditya serta Raina, kasus hari ini berakhir. Tapi, tidak bagi Agni. Ia semakin kalut. Pernyataan Bara sebagai papi Kembar yang menjadi senjata Raditya untuk melindungi mereka, seolah telah menyingkirkan keberadaannya.
***
Malam itu pikiran Agni semakin penat. Setelah kejadian siang tadi, Bara langsung memberi pesan pendek menanyakan apa yang terjadi yang sampai sekarang hanya ia baca tapi tak dibalas. Bahkan ketika Bara menelepon pun, Agni langsung menolaknya. Sampai-sampai ia harus mematikan gawainya.
Di saat ia sedang mengajari Kembar membaca, Tante Mirna memberitahu kedatangan Cakra. Tentu saja anak-anaknya sangat senang, karena lelaki itu selalu membawa buah tangan.
“Kebiasaan, ya?” Alih-alih berterima kasih, Agni justru berkomentar dengan nada kesal ketika Raditya dan Raina berebutan mengambil bungkusan terang bulan dan martabak telur.
“Om, kemarin kami jalan-jalan sama Papi.” Raditya mulai topik yang membuat Agni canggung.
“Papi ndak kalah ganteng dari Om loh! Mana baik pula,” tambah Raina.
Cakra tersenyum tipis. “Oh, ya? Wah, gara-gara Papi datang jadi ga panggil ‘Daddy’ lagi nih. Sedihnya ….” Cakra memasang tampang memelas.
“Om jangan sedih. Raina tetep sayanggg banget sama Om.” Raina memegang kedua tangan Cakra dan menggoyangkan ke kanan kiri.
Cakra lalu membungkuk. “Kalau gitu, kiss dulu pipi Om.” Anak kembar itu bergantian mencium pipi kanan kiri Cakra, kemudian bergegas masuk ke dalam meninggalkan kedua orang dewasa itu.
Setelah menanyai ingin minum apa, Agni kembali ke teras dengan secangkir kopi. Laki-laki itu tampak sibuk mengetik pesan sampai tak mengetahui kedatangan Agni.
“Konsul pasien?” Agni meletakkan cangkir di atas meja yang membatasi mereka duduk.
“Iya.” Cakra memasukkan kembali gawainya. Namun, ia tak lantas berbicara. Cakra mengangkat gagang cangkir dan menyeruput isinya.
“Nomormu kok ga iso dihubungi?” tanya Cakra setelah meletakkan kembali cangkir di atas lepek.
“Ah, itu. Bateraiku ngedrop. Tadi lupa bawa chargernya,” dusta Agni sekenanya. Ia lantas mengalihkan topik pembicaraan. “Tumben ke sini pas weekday gini.”
Cakra menarik bibirnya sekilas di wajah lelahnya. “Aku khawatir aja kok dari kemarin kamu susah dihubungi setelah Bara datang. Aku nunggu kamu cerita, eh … tetep aja kamu diem.”
Hati Agni tercubit. Ia enggan bercerita kalau tak ditanya. Dengan siapapun, sejak dulu ia lebih suka memendam apa yang ia rasakan. Hanya dengan beberapa orang saja, ia bisa mengutarakan semuanya dan bebas mengekspresikan dirinya. Dulu ada Mama, Papa, Yangkung, dan Bara. Kini ia hanya terbuka pada Tante Mirna saja.
“Bara … kok bisa dia tiba-tiba datang? Bukannya kalian ga pernah kontakan lagi?” Akhirnya Cakra menyerah dengan keheningan yang menyergap mereka dan segera menyambung dengan pertanyaan lain.
“Itu … dia disuruh Yangkung nyari aku.” Hanya itu jawaban Agni.
Cakra berdeham, tampak tak puas dengan jawaban Agni. “Oh, ya, Ni, kamu belum jawab pertanyaanku.”
“Yang mana?” tanya Agni, mengernyit.
“Soal perasaanmu sama ebes’e Kembar.”
Agni menelan ludahnya sendiri. “Oh, itu. Aku sama Mas Bara sudah ga ada hubungan. Kami cerai. Itu artinya perasaanku biasa saja.” Hati Agni berdesir memelintir fakta.
“Sebenarnya aku sedih kamu nolak aku, Ni. Aku betulan tulus sama kamu. Pengen jadi suami sama bapaknya Kembar.”
“Mas, jujur, aku ga tertarik nikah lagi,” kata Agni tegas. “Dari awal aku sudah kasih tahu Mas kan? Mas cuma buang waktu nungguin aku.”
“Apa kamu masih salahin aku karena buat Bara salah paham?” tanya Cakra.
Agni menggeleng. “Ga. Itu udah cerita lalu. Yang sudah, ya sudah. Fokusku sekarang cuma Kembar, Mas.”
Cakra mengembuskan napas panjang. “Apa kalian mau balikan setelah Bara tahu dia punya anak?” Cakra terus melancarkan pertanyaan.
“Ga lah, Mas. Aneh-aneh.” Agni terkekeh sumbang. “Mas Bara udah punya kehidupannya sendiri. Jadi, Mas Cakra juga harus segera cari pasangan. Itu … ada dokter umum yang nempelin Mas terus.”
“Sejak awal, aku suka sama kamu, walau dulu aku tahu kamu udah nikah. Dan, sekuat tenaga aku mau ngelupain kamu, mau pacaran sama siapapun, ya hatiku buat kamu.” Cakra melirik Agni dengan tatapan intens. "Apa kamu ga bisa mempertimbangkan aku?
💕Dee_ane💕
Kembar dan ortunya datang lagi.
Jangan lupa jejaknya. Perlu update cepet di-KK ga ya? 🙄
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top