3. Si Borokokok

Agni meringis menepis tangan Bara. Bagaimana bisa setelah tujuh tahun tak bertemu yang ditanyakan siapa bapak Kembar? Apa Bara sehilang ingatan itu pernah menggaulinya dan menyemburkan benih di rahimnya?

Napas Agni sontak sesak dipenuhi amarah yang menggelegak. Ia tak akan mengakui laki-laki yang menceraikannya dan tak lagi menghubunginya itu sebagai ayah Si Kembar. "Siapa ayahnya Kembar, tak ada urusan dengan Mas!"

Kekehan tanggung Bara mengudara dengan nada sinis. Ia menjatuhkan box yang sedari tadi ia jinjing begitu saja hingga debu menguar saat box mendarat di lantai paving. "Ga ono urusan? Inget, Ni, memang kita udah cerai sipil, tapi gereja masih nganggep kita suami istri!"

Agni tertawa sumbang. Setelah tujuh tahun lalu hanya memberikan surat cerai, sekarang Bara ngaku-ngaku menjadi suami Agni? Wanita bertubuh pendek itu mendongak mengorek telinganya dengan senyuman miring yang sengaja ia buat semenyebalkan mungkin. "Suami? Aku ga krasa duwe bojo, Cuk!"

"Agni, sejak kapan kamu ngomong kasar?" Bara membeliak. Telunjuknya terancung dengan rahang mengerat ketat.

Namun, wajah memerah Bara yang menakutkan itu terjeda saat tiba-tiba pekikan Raditya dan Raina menggema. "Mami!" Mereka memelesat lari dan mendorong tubuh setinggi 180cm itu dengan sekuat tenaga.

"Jahat! Om mau ngapain mami kami!" seru Raditya.

Di sisi lain, Raina menarik tangan Bara dan menggigitnya kuat hingga lolongan serak itu menggema di seluruh rumah. Agni jelas tahu bagaimana kuatnya gigitan Raina yang bisa menyobek ujung kain dasternya. Ia lalu melerai anak gadis kecilnya dan memeluk. "Mami ga popo, Sayang." Agni menarik Raditya dan menyembunyikan kedua anak itu untuk menghindari amukan Bara yang kini wajahnya sudah semerah bara api.

Bara menatap tajam dua anak yang berusaha melihatnya. Walau diam, Agni yakin Bara merutuki kedua anaknya. "Anak wedokmu, persis kamu waktu kecil."

Rupanya Bara masih mengingat kebiasaan Agni waktu kecil. Dulu, ia pernah menggigit paha Bara hingga lecet karena Bara tidak mau diajak main boneka. Saat itu umurnya masih tujuh tahun dan Bara sudah SMA. Sejak awal Bara yang sedingin kulkas empat pintu dan wajah kaku seperti kanebo kering tak pernah memperhatikannya. Kedekatan mereka seperti keterpaksaan saja karena permintaan Papa yang tak pernah bisa Bara tolak.

Wanita itu membuang muka, lalu berdeham. "Maaf. Anakku memang sayang sama maminya. Mereka takut maminya dijahati orang asing."

Bara masih meringis sambil mengibaskan tangannya, tak berkomentar. Hanya lirikan sengitnya yang terpajang di wajah irit senyum itu.

Agni tak mengacuhkan gerutuan Bara. Ia berbalik, dan berbicara dengan anak kembarnya. "Kakak, Adek, masuk!"

"Tapi, Mi. Nanti kalau Om ini jahat sama Mami gimana? Mami kan kecil, nanti dimasukin karung terus dijadiin sate." Raditya bergidik geli.

Agni menyentil pelan dahi Raditya yang sering berimajinasi absurd. "Ga. Om ini ga bakal jahat sama Mami."

"Apa perlu Adek teleponin Daddy?" tanya Raina dengan wajah pucat. Badannya masih gemetar takut bila Bara membalas dendam.

"Ga perlu." Agni mengusap dahi Raina yang berpeluh tipis. "Kak, sana bawa Adek ke dalam. Mami mau bicara sama Om ini."

Setelah memastikan kedua anak itu meninggalkannya dengan enggan, Agni kembali mendongak menatap lurus laki-laki berambut ikal yang ditata rapi. Namun, baru saja bibirnya terbuka ingin melontar kata, Bara sudah menyahut.

"Koen wes nikah ta, Ni?" tanya Bara dengan suara mendesis. Bibir merahnya terkatup tapi setiap kata yang meluncur masih bisa tertangkap pendengaran Agni.

"Mau nikah atau ga, itu ga ada urusannya sama sampeyan! Kita sudah punya hidup masing-masing!" Mata bulat seperti boneka itu membeliak. "Kita sudah ce-rai!" Agni mengulang kata terakhirnya dengan pelafalan yang tegas.

Bara mendengkus. "Kita belum anulasi. Trus nikahmu piye? Log out? Atau kumpul kebo?"

Akhirnya Agni tak tahan lagi. Tangannya spontan terangkat dan telapaknya mendarat di pipi kiri Bara hingga wajah pria dewasa itu berpaling ke kanan.

"Agni!" Bara menggeram dengan pandangan tak percaya.

Agni menarik tangannya yang terasa panas. Dadanya kembang kempis dengan jantung yang bergemuruh cepat. Ia sendiri terkejut dengan sikap impulsifnya. Namun, ia tak menyesal dan justru merasa lega. Rasa mbededeg selama tujuh tahun ini akhirnya bisa ia lampiaskan pada orangnya. "Kalau Mas datang mau cari masalah, silakan pergi!"

Bara masih mengelus pipi merah yang sekarang tercetak telapak tangan Agni. "Kamu ... berubah."

"Manusia itu dinamis, Mas. Aku ... bukan Agni yang masih berusia dua puluh tahun."

Bara tersenyum miring. Entah apa yang ada di pikirannya. "Syukurlah. Aku senang kamu jadi wanita tangguh seperti ini."

Agni mendengkus keras. "Ga usah basa-basi wes. Sekarang, apa tujuan Mas datang ke sini?"

Bara mengembuskan napas panjang. Kalau seperti itu, biasanya Bara akan berbicara lebih dari dua kalimat. "Yangkung gerah. Beliau pengin ketemu kamu. Sewaktu kamu pergi begitu saja dari rumah dengan ninggalin surat, Yangkung cari kamu. Tapi kamu ga ada. Katanya rumah Ngagel sudah dijual. Terus di kampus juga kamu ga kelihatan."

Agni menunduk. Dulu ia memang keluar dari rumah dengan membohongi Yangkung Mitro. Saat itu kebetulan ada acara kampus di luar kota tapi sekalian ia gunakan alasan itu untuk keluar dari rumah dan hanya meninggalkan sepucuk surat di dalam lemari.

Bara menarik dagu Agni pelan hingga tatapan mereka bertemu. "Kamu tahu ... kamu bikin Yangkung kelabakan."

Lagi-lagi Agni menghindari sorot tajam Bara yang seperti elang mengincar mangsa dari udara. Terselip rasa bersalah dalam benaknya. Bagaimanapun keluarga Bara sangat berjasa saat Papa mulai didiagnosa sakit cancer sewaktu Agni berusia lima tahun. Setiap Papa harus terapi, Mama selalu menitipkan Agni pada Yangkung yang ujung-ujungnya Bara-lah yang menemaninya bermain. "Jadi, Mas mau apa ke sini?"

"Yangkung kangen."

Hati Agni tercubit. Ia tak menyangka tujuh tahun tak berjumpa, Yangkung masih dikarunia umur panjang.

"Oh, ya, ini ada oleh-oleh." Bara membungkuk mengangkat kardus oleh-oleh dan menyodorkan ke depan Agni.

"Makasih. Ga usah repot-repot." Agni menerima kotak itu dengan pikiran kacau.

"Gimana kabar Mama?" tanya Bara setelah kardus itu berpindah ke tangan Agni.

"Mama ... sudah meninggal." Agni tersenyum kecut.

Bara melongo. Wajah kakunya mengendur. "Maaf. Kapan?"

"Sudah lama ... Sebaiknya Mas segera pergi. Habis ini aku ada acara sama anak-anak," dusta Agni mengusir Bara secara halus.

"Ni ...."

"Mas, please." Agni melirik ke arah pintu yang terbuka. Kedua anaknya masih memantau ia dan Bara yang sedari tadi berdiri di halaman.

Bara lalu mengambil dompet dan mengeluarkan selembar kertas mengkilap. "Ini kartu namaku. Ada nomor hpku di situ. Aku menginap di Novotel dan kira-kira di sini dua hari. Temui aku, karena ada banyak yang harus kita omongin."

"Ngomong apa lagi?" Agni mulai geram. Tiba-tiba ia takut bila Bara tahu Kembar adalah anaknya, ia akan mengambil kedua buah hatinya dari sisinya.

"Anulasi, salah satunya."

Telinga Agni seketika berdenging. Lidahnya kaku. "Anulasi?"

"Iya. Kita memang cerai secara sipil, tapi belum membatalkan pernikahan gereja kita. Setidaknya dengan itu, kamu bisa melangkah lebih mantap dengan keluarga barumu."

Rahang Agni mengerat. Keluarga baru? Bara semudah itu menyimpulkan padahal tidak ada hal yang mendasarinya. Seperti dulu saat Bara mengira Agni berselingkuh dengan Cakra dan ketika Agni pikir Bara sudah melupakan kejadian malam itu, Bara pergi sampai beberapa waktu kemudian tanpa ada angin atau hujan melayangkan gugatan cerai.

Tak menunggu respon Agni, Bara menyambung dengan nada mendominasi. "Aku tunggu di hotel. Jam tujuh."

Dada Agni berdesir nyeri menatap Bara yang berbalik dan keluar dari halaman tanpa menunggu jawaban Agni. Tubuhnya bergetar karena dirongrong rasa bersalah akibat menutupi kebenaran bahwa Kembar adalah buah hati mereka. Tapi, apa yang terjadi bila Bara tahu Kembar adalah darah dagingnya dan ia mengambil mereka. Apalagi Bara mengemukakan ingin mengajukan anulasi, bisa saja Bara sendiri yang ingin menikah.

Kaki Agni seketika lemas seperti jelli, seolah rangka tubuhnya tak kuat lagi menyangga tubuh.

"Mami!" Pekikan bersamaan Raditya dan Raina terdengar. Derap lari mereka memburu menghampiri Agni.

Lamunan Agni buyar. Ia serta merta berjongkok menyambut anak-anaknya dan memeluk mereka.

"Siapa itu, Mi?" tanya Raditya.

"Oh, itu ...." Agni kebingungan, merangkai dusta. Ia takut kalau anak-anak tahu Bara adalah papi mereka, maka Agni akan dilupakan. "temen lama Mami." Agni mengalihkan pandangan gugupnya ke arah kotak dan memberikan pada Raina. "Ini oleh-oleh. Bawa ke dalam ya?"

Raina mengangguk dan menggandeng Agni. Namun, Raditya menahan tangan Agni sejenak. "Mi, Kakak mau main bentar ke tempat Safi ya? Boleh?"

Agni hanya mengangguk. Ia terlalu lelah melarang anak laki-lakinya yang aktif dan memilih masuk untuk mengistirahatkan badan, pikiran, dan hati yang penat.

Sesampainya di kamar, Agni meletakkan begitu saja tas ranselnya di atas kursi. Ia duduk dengan punggung melengkung di bibir kasur sambil menatap kartu nama berwarna hitam.

"Bara Wisanggeni ...." Deretan huruf itu perlahan kabur dan setitik bulir bening menetes dan mendarat di permukaan kertas mengkilap itu. "Maaf, Mas. Tapi aku ga rela kalau Mas ambil anakku ...."

Dering telepon yang menggaung, membuat Agni spontan mengusap air matanya yang tak sadar mengucur. Ia segera merogoh saku blusnya dan mendapati gambar Cakra menggendong Kembar tertera di atas layar. Agni tak lantas menggeser tanda hijau. Panggilan Cakra justru semakin memperkeruh otaknya.

Notifikasi panggilan kembali terdengar untuk kali kedua. Kali ini Agni tak tega melewatkan telepon Cakra. Kebaikan laki-laki itu selama Agni terpuruk membuat Agni tak bisa untuk tidak menghiraukan Cakra.

"Lagi di jalan ta?" tanya Cakra begitu Agni menempelkan gawainya ke daun telinga.

"Iya. Baru pulang. Opo'o?" Agni menyeka lubang hidungnya yang masih basah.

"Nanti habis praktik, aku pengin makan malam sama kamu, Tante Mirna, dan anak-anak."

Agni menelan ludah kasar. Malam ini Bara ingin bertemu dengannya. "Maaf, aku ... ehm ... ada acara sama temen."

"Acara sama temen?" Cakra terdengar sangsi karena memang Agni tipe introvert dengan lingkaran pertemanan yang kecil.

"Iya. Udah ... janjian." Jantung Agni berderap menggedor tulang rusuknya saat menjawab. Sebenarnya Agni tidak berbohong. Tapi kenapa ia merasa berdosa?

"Kalau gitu biar aku ajak pergi anak-anak sama Tante Mirna saja."

"Ah, boleh. Nanti sebelum pergi aku siapin. Mereka pasti suka." Embusan napas kasar seketika mengalir dari lubang hidung Agni. Walau AC kamar menyala, tapi ia merasa begitu gerah setelah percakapan singkatnya dengan Cakra.

Jangkrik! Rutuk Agni. Kedatangan Bara benar-benar membuat hidup tenangnya kembali bergolak.

Tak ingin memikirkan Bara, Agni akhirnya memilih untuk mengganti baju dan membersihkan mukanya. Ia ingin istirahat sejenak sebelum menemui Bara. Namun, walau ia sudah merebahkan tubuhnya, tetap saja matanya yang terpejam tak bisa lelap.

Waktu akhirnya menunjukkan pukul lima sore. Agni lalu bangun dengan malas dan meraih kartu nama yang ada di permukaan kasur. Ia buru-buru memasukkan nomor baru yang tertera di situ. Alih-alih menelepon, ia menuliskan pesan singkat kepada pemilik nomor.

[Aku datang pukul enam. Tunggu di lobi.]

Baru selesai pesan terkirim, tanda centang dua berubah biru, dan tak lama kemudian, status mengetik tertera di bawah nama kontak "Borokokok".

Agni menggigit kuku jempolnya dengan paha kanan bergetar naik turun tak sabar menanti jawaban Bara. Setelah semenit menanti dengung pesan masuk terdengar. Mata Agni membulat saat ia membaca pesan balasan dari Bara.

💕Dee_ane💕

Update lagi ....
Makasih apresiasinya di bab yang lalu. Semoga tiga bab ini bisa memikat kalian😘 Kasih jejak cintanya yak

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top