23. Balas Dendam
Agni?” Seorang wanita dengan kemeja pria bermotif garis biru muda yang tidak bisa menutupi paha putihnya itu membeliak.
Agni gagu, melihat sosok yang pernah ia kenal. Jelas Agni masih ingat wajah ayu yang dulu menyodorkan akta ceria di depannya. Wanita anggun itu selalu lengket dengan Bara sejak pria itu bekerja di perusahaan papa Cyra.
Saat Raditya hendak menghambur ke dalam, buru-buru Agni menahannya. Melihat Cyra ada di sana sontak darahnya mendidih. “Kak, ayo pulang!”
“Tapi—”
“Balik!” sergah Agni dengan mata membeliak..
“Agni! Tunggu ….” Cyra menahannya.
Namun, Agni menepisnya keras. “Maaf, mengganggu istirahat Mbak Cyra ...” Napas Agni satu-satu menaahan gelegak kekecewaan. “Mas Bara.” Satu tangan Agni masih menggenggam erat pergelangan Raditya.
Tak peduli hujan, ia memberikan jas hujan yang ia gulung sembarang pada Raditya. “Kakak, naik!”
“Mi ….”
“Naik!” Suara Agni meninggi bersamaan dengan gelegar guntur. Rasanya langit seolah ikut merasakan hati Agni yang ingin mengamuk.
Kalau sudah seperti ini, Raditya tak bisa berkutik. Ia membuntuti Agni yang memundurkan motor, tak peduli hujan membasahi tubuh mereka yang tanpa pelindung.
“Agni!” Panggilan Bara terdengar kemudian. Raditya menoleh.
Tapi, sebelum anaknya membuka mulut, Agni sudah kembali berseru, “Kakak! Naik!”
Raditya melongo. Menatap bergantian kedua orang tuanya. Namun, tarikan di lengan atasnya membuat anak itu terpaksa menuruti Agni. Dan, begitu Raditya sudah duduk di belakangnya, Agni segera menancap gas.
Bisa dipastikan begitu mereka tiba di rumah dan mendapati Raditya dan Agni basah kuyup, Tante Mirna keheranan. Untungnya air hujan bisa menyamarkan air mata yang tak bisa berhenti meleleh sejak ia melihat pengacara yang Agni tahu begitu dekat dengan Bara, memakai kemeja yang pernah ia hadiahkan untuk Bara.
Sepertinya Tante Mirna masih sabar menanti penjelasan Agni. Begitu ia selesai mandi untuk membasuh air hujan, Tante Mirna meletakkan secangkir teh hangat di meja di depan Agni duduk. “Radit udah bobok pas kamu mandi. Sekarang kamu berhutang cerita sama Tante.”
Agni mendongak, menatap Tante Mirna dengan mata yang masih merah. “Raditya tadi ngrengek pengin ketemu papinya. Tapi … ga ketemu.” Agni tak berbohong karena mereka tak bertemu walau Bara sempat memanggilnya.
“Kamu nangis?”
Agni menggeleng, bergegas menangkup cangkir dan membawanya ke bibir untuk menggelontorkan rasa perih yang menggelegak.
Tante Mirna kali ini tak mendesak. Ia mengusap kepala Agni sambil berkata lirih, “Sebaiknya kamu segera istirahat. Tante bakal ada buat kamu.”
***
Bayangan kedekatan Cyra dan Bara kembali memenuhi otak Agni. Masih basah di ingatannya, saat ia mampir ke kantor Bara, ia mendapati Cyra membungkuk di depan Bara yang duduk di kursi kerjanya. Tak hanya saat itu, Agni pun pernah mendapati Bara jalan berdua dengan Cyra di mall. Dan, yang paling parah, Bara mempercayakan gugatan cerainya pada Cyra, yang membuat hatinya lebih benar-benar remuk … tak berbentuk.
Semalaman Agni benar-benar tak bisa terlelap. Kejadian semalam berhasil membuat moodnya kacau. Ia benar-benar naif karena sempat berpikir Bara tulus melakukan semua hal manis itu karena mencintainya. Ternyata … semua bayangan Agni hanya fatamorgana saja. Bara hanya mencintai anak-anaknya saja. Bukan dirinya.
“Mi, siapa Tante yang di rumah Papi?” Pertanyaan Raditya seketika membuat Agni terbatuk. Ia lupa anaknya akan mempertanyakan hal remeh yang ia lihat atau bila bertemu orang baru.
“Ah, itu … temen Papi,” jawab Agni cepat setelah meneguk air.
“Kakak kapan ke rumah Papi?” Kini Raina menyambung topik yang sama.
“Semalam. Tapi pas ada Tante cantikyang bukain, Mami malah minta pulang.” Raditya memberengut. “Mami musuhan sama Tante itu?”
Bola mata Agni bergulir ke arah Tante Mirna yang menyimak pembicaraan mereka. Ia sebenarnya ingin menyembunyikan apa yang terjadi semalam. Namun, ia lupa mengingatkan Raditya untuk tidak bercerita pada siapapun di rumah.
“Kenapa Mami musuhan?” Raina menelengkan kepala. “Tante itu nakalin Mami? Tapi, kata Mami kita ndak boleh musuhan.”
Agni melempar senyum canggung. “Itu temen Papi. Ayo, dimakan dulu.”
“Temen kok mainnya sampai malam, Mi? Kita aja mau ke tempat Papi ndak dibolehin karena udah malem.” Otak kritis Raditya mulai bekerja.
Agni memejamkan mata meraup kesabaran. “Kakak, Adek. Ga usah banyak ngobrol. Nanti telat loh,” kata Agni segera memutus topik yang membuat moodnya semakin kusut.
Setelah mengantar anak-anak ke sekolah, Agni mampir terlebih dahulu ke Dinas Kesehatan untuk mengambil ledger gaji karyawan. Pada pukul 09.00, ia sampai di kantor dan Bara sudah ada di sana sedang bercakap dengan kepala puskesmasnya.
Saat Agni akan mengayunkan langkahnya, panggilan yang sangat ia kenal terdengar. Wanita itu menoleh dan mendapati Cakra berlari kecil ke arahnya.
“Mas Cakra?” Agni mengernyit keheranan. “Ada acara apa?”
“Itu … aku diminta jadi narasumber Rembug Stunting sama Dokter Mira.”
Saking pikirannya tertuju pada Bara beberapa hari ini, sampai-sampai ia lupa agenda kegiatan kantor minggu ini.
“Dari kemarin kok ga bisa dihubungi?” tanya Cakra.
“Tahu sendiri kalau pagi itu rempong banget. Mana sempat buka hp.” Sejak pulang kemarin, Agni memang tidak memegang hp lagi setelah memblokir nomor Bara.
“Tadi pagi Raditya yang terima teleponku pas kamu mandi. Katanya kalian semalam ke rumah Bara terus kamu tiba-tiba nyeret pulang pas dibukain sama perempuan.”
Rona wajah Agni seketika memudar. Langkahnya terhenti. “Oh, itu … temennya.”
Namun, saat ia akan kembali berjalan, langkahnya terhenti saat Cakra menahan lengannya.
“Itu … Mas Bara?” tanya Cakra menatap lurus pada sosok yang berjarak sepuluh langkah dari mereka berdiri.
Agni mengangguk, mengamati dokter William dan juga Bara sudah menghampiri mereka. Jarak mereka cukup dekat sehingga Agni tak bisa lagi menghindar.
Setelah Cakra menyalami Pak Kepala Puskesmaa, ia lalu menjabat tangan Bara setelah mendapat perkenalan formal dari dokter William yang tak perlu karena jelas dua pria itu sudah saling kenal. Mereka pun berjalan masuk bersama ke kantor sambil bercakap.
“Kalau njenengan mau bikin rumah, bisa percayakan desainnya sama Pak Bara. Kemarin sepupu saya puas banget sama desainnya.” Dokter William menepuk punggung Bara.
“Terima kasih rekomendasinya, Dok. Siapa tahu nanti saya bikin rumah impian sama ….” Cakra melirik ke arah Agni yang sedari tadi mengedarkan pandang tak fokus. “calon istri saya, pasti saya hubungi.”
“Wes to, nunggu apa lagi? Gage diresmikan.” Dokter William mengomentari.
“Iya, Dok. Lagi persiapan lahir batin. Mungkin saya bisa belajar dulu dari dokter atau Pak Bara yang udah pada senior.” Cakra seperti sengaja memancing topik yang membuat Agni canggung.
Untungnya panggilan dari Viska membuat percakapan mereka terputus. Cakra dan dokter William pun bergegas ke aula karena ternyata mereka sudah ditunggu tamu undangan, sehingga tersisalah Agni dan Bara.
Tanpa bicara, Agni melangkah begitu saja meninggalkan Bara. Namun, pria itu tetap membuntuti di belakang. Ia jengah dan memgembuskan udara ke atas hingga poninya berkibar. Agni berbalik dengan lempar sorot kesal. “Mas, ngapain ngekor terus!” Agni menekan volume suaranya.
Baru saja Bara akan membuka mulut, suara Taufik dari belakang tiba-tiba menyeruak. “Pak Bara! Kita diskusi di sini saja ya!”
Bara tersenyum dan mengacungkan jempolnya pada Taufik. Sebelum mengayunkan langkah ia berkata dengan masih mengurai tarikan bibir tipis yang terkesan menjengkelkan, “Saya mau ketemu Pak Taufik, Bu. Bukan ngekorin Ibu.”
Agni mengerjap. Pipinya seketika panas, tertampar sindiran Bara. Bagaimana bisa ia sege-er itu mengira Bar membuntutinya? Ingin rasanya ia punya kesaktian menghilang detik itu juga. Namun, ada banyak pekerjaan menumpuk yang harus segera ia selesaikan.
Agni menepuk dahinya kuat, mendapati Bara duduk di meja di depannya. Dari tempatnya duduk, ia bisa melihat dengan jelas ekspresi serius Bara memperhatikan Taufik memberikan penjelasan.
“Jadi, nanti minta ditambah kanopi di atas jalan setapak di taman?” tanya Bara mengkonfirmasi penjelasan Taufik.
“Iya. Kemarin kelupaan. Pasien sering nyebrang lewat taman kalau mau ke nurse station. Maklum, petugas jaga rawat inap kan juga juga bantu di UGD.”
Bara mengangguk paham. Alisnya mengernyit, menatap coretan Taufik di atas kertas.
“Oh, ya, kalau bisa anggarannya jangan nambah banyak-banyak dan dimasukkan sekalian dalam belanja modal pagar itu.” Taufik mulai melancarkan negosiasi harga.
Tawa Bara mengudara. “Kalau minta spesifikasi yang Pak Taufik sebutkan tadi, rasanya harga susah ditekan.”
“Bisa-bisa. Pasti bisa.” Taufik masih berusaha melobi harga.
“Saya survey bahan dulu. Nanti akan saya buat RAB-nya, dan alternatif bahannya. Jujur, saya ga mau menekan harga terlalu banyak karena akan mempengaruhi kualitas.”
Tanpa sadar Agni tersenyum. Kharisma Bara begitu menguar saat pria itu menunjukkan profesionalitasnya dalam bekerja. Namun, ia segera menggeleng menyingkirkan keterpesonaannya. Ia hampir lupa kejadian semalam yang membuat dirinya kecewa.
Kecewa? Agni mendengkus. Untuk apa ia kecewa? Selama ini mereka sudah berpisah. Agni pun dengan tegas mengatakan supaya Bara tidak mengganggu kehidupannya. Tak hanya Agni, tentu Bara juga kehidupannya sendiri yang bisa Agni campuri.
Begitu diskusi Taufik dan Bara selesai, Agni bisa bernapas lega. Ia pun bisa melanjutkan pekerjaan dengan tenang. Hari ini ada agenda penting yang harus ia selesaikan karena menyangkut hajat hidup orang banyak dan selalu dinantikan seluruh warga puskesmas. Apa lagi kalau bukan pencairan jasa pelayanan!
Menjelang waktu istirahat makan siang dan salat, pertemuan lintas sektor serta kader kesehatan di aula dengan narasumber dokter spesialis anak dan dokter kandungan usai. Alih-alih pulang, Cakra justru mampir ke ruangan keuangan untuk menemui Agni. Sontak Agni kaget, ketika melihat Cakra muncul dari balik pintu.
“Ada yang bisa dibantu, Dok?” Agni buru-buru bangkit dan bersikap seolah mereka orang asing.
“Aku WA dari tadi kok ga dibaca.”
“Oh, ya?” Agni melirik ke arah Ria tak nyaman, sambil mengambil hpnya untuk membuka pesan, bersamaan dengan masuknya Viska.
“Eh, Dokter. Belum pulang to? Cari siapa nih?” Viska dengan gaya centilnya menyapa Cakra.
“Ini … mau ketemu Mbak Agni.”
“Kenal sama Agni to?” Viska memandang curiga dengan kernyitan alis bergantian dari Cakra ke Agni.
Cakra hanya tersenyum ambigu sambil memijat tengkuknya, lalu bertanya pada Agni. “Yuk, maksi dulu.”
Agni berdecak dalam hati. Bisa-bisanya Cakra mengajak makan siang di depan CCTV penyebar gosip. “Sa … saya masih harus ke bank.” Agni berusaha bersikap formal.
“Makan dulu, Ni.” Viska menyahut.
“Tapi, saya udah janjian sama Ria.”
“Ria mau aku ajakin makan. Iya to, Ri?” Jelas sekali Viska mengedipkan mata pada Ria.
Ria pun mengangguk. “Lagian mendung ini, mending sama Pak Dokter. Naik mobil to, Dok?”
Agni kewalahan menghadapi situasi tak nyaman ini. Padahal ia berharap Ria bisa membantunya, tapi kenapa teman seruangannya ini malah bekerja sama dengan Viska. Akhirnya Agni memutuskan untuk menerima ajakan Cakra agar tak berlama-lama terjebak dalam situasi canggung.
Setelah mengambil berkas yang akan digunakan untuk pencairan jasa pelayanan, Agni segera keluar dari ruangannya bersama Cakra. Pandangan mata heran selalu menyapanya ketika Agni berpapasan dengan teman-teman kantor yang lain. Ia mempercepat langkah berharap bisa segera menghardik Cakra yang telah lancang menunjukkan kedekatan dengan dirinya. Wanita itu yakin sebentar lagi dirinya akan menjadi topik gosip yang hangat.
Saat kakinya menapak halaman, ia mendapati Bara duduk lesehan bersama para tukang dan mandornya, menikmati nasi bungkus bersama, seolah tak ada jarak antara juragan dan anak buahnya. Padahal dulu sewaktu bekerja di Surabaya, ia selalu mengerjakan proyek besar dengan klien perusahaan besar. Lalu kenapa ia banting setir memulai bisnis dari nol ketika kehidupannya sudah mapan?
Pandangan mereka tiba-tiba bersirobok. Agni seketika melengos, lalu menggandeng Cakra begitu saja. Hatinya masih panas mengingat Cyra ada di rumah Bara malam-malam, dengan tubuh yang dibalut kemeja hadiahnya!
Begitu masuk ke mobil, buru-buru Agni menjelaskan tindakannya. “Sori. Tadi ….”
Cakra tersenyum, menatap telapak tangannya yang lebar. “Santai.” Ia lantas memasang sabuk pengaman lalu menghidupkan mesin mobil. “Ni, Mas Bara … sengaja pindah ke Solo karena anak-anak?”
“Iya … mungkin.” Gara-gara melihat Bara dan tindakan impulsifnya menggandeng Cakra, ia melupakan niatnya memarahi Cakra yang sudah membuat teman-temannya bisa salah paham.
“Gugatan hak asuh Mas Bara sudah diproses?”
Agni hanya mengangkat bahu. Ia malas membicarakan tentang keinginan Bara mengambil hak asuh atas Kembar. “Ga usah dibahas.”
Kalau Agni sudah terus terang begini, Cakra mengalah. Untuk beberapa saat mereka sama-sama membisu ketika mobil melaju di keramaian jalan kota Solo.
“Oh, ya, Mas ….” Tiba-tiba Agni memecah sunyi. Cakra menoleh sekilas, masih fokus mencari celah di kepadatan jalan. “Ehm, soal pertanyaan Mas beberapa waktu lalu ….” Agni menghela napas panjang. “Aku sudah mempertimbangkan.”
💕Dee_ane💕
Huft, part panjang nih. Gimana? Seneng kan? Kalau seneng jangan lupa klik bintang dan komennya. Matur nuwun😘😘 Eh, yang mau baca cepet, silakan meluncur ke KK😊
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top