22. Naluri Kebapakan
Wajah Agni terasa panas mende gar pertanyaan Cakra. Ia tahu Cakra tulus mencintai anak-anaknya. Tapi, Agni tak bisa membuka hati untuk Cakra. “Mas, please ….”
Embusan napas yang sarat dengan kekecewaan meluncur dari hidung Cakra. “Ya udah. Kamu tidur dulu sejam. Nanti jam sembilan aku balik.”
Agni mendengkus kasar, tak mau berdebat lagi. Setelah mencuci piring, dengan langkah berat ia pun mengikuti titah Cakra. Walau ia berbaring, tetap saja ia tak bisa terlelap hingga saatnya Cakra pulang.
Menjelang tengah malam, akhirnya deru mobil memecah suara jengkerik yang merajai sunyi. Masih menggendong Raina dengan selendangnya, ia bergegas membukakan pintu depan yang sengaja tak dikunci untuk Bara.
“Mas ….” Melihat Bara ada di situ, Agni bisa mengembuskan napas lega. Apalagi setelah Bara mengambil alih tubuh Raina dari kain gendongan.
“Papi ….” Raina menggeliat.
“Ssttt, Papi di sini.” Bara mengecup pelipis Raina yang membara.
“Mas dari mana?” tanya Agni sambil menutup pintu kembali.
“Surabaya. Yangkung gerah.”
“Trus?” Agni merasa bersalah. Seharusnya ia bisa mengendalikan anak-anak. Tapi sejak kemarin,1 Tante Mirna pergi pelatihan selama seminggu sehingga ia kewalahan mengurus kedua anaknya.
“Ada Mbok Sri. Lagian Yangkung udah stabil.” Bara membuai Raina yang bergantung di lengan kekarnya. Badan pria itu bergerak ke kanan kiri sambil menepuk pantat sang putri.
Melihat pemandangan seperti ini, hati Agni menghangat. Ia tak pernah menyangka akan mendapati Bara dengan naluri kebapakannya. Sebagai seorang ayah, Bara benar-benar bisa menjalankan tugasnya. Sama seperti papanya yang selalu sigap menjaga saat ia sakit.
“Mau pakai gendongan?” tanya Agni.
“Boleh.”
Agni berjinjit saat akan menyampirkan kain jarik di leher Bara. Namun, tiba-tiba Bara membungkuk yang membuat jarak wajah di antara mereka hanya sejengkal. Agni terkesiap. Tatapan mereka sempat bersirobok. Walau hanya beberapa detik, tapi ia bisa menangkap lingkaran hitam di mata Bara dan kantung mata yang menggantung. Wajah Bara pun semakin tirus dengan kumis dan jenggot yang sudah semakin tebal. Pasti Bara sibuk merawat Yangkung hingga tak memperhatikan tubuhnya sendiri. Buru-buru Agni menepis pikiran dan segera menyelesaikan mengunci gendongan selendang di bahu Bara.
“Maaf, ngrepoti ya, Mas,” kata Agni canggung masih di belakang tubuh Bara.
Bara lantas berbalik, menatap Agni dengan pandangan yang teduh. “Ga sebanding sama kerepotanmu selama ini, Ni.”
Jawaban Bara membuat dada Agni berdentum. Hatinya meleleh dengan kalimat sederhana yang terucap dengan nada datar.
“Sekarang kamu tidur aja. Biar aku yang jaga.”
“Tapi ….” Agni memang lelah. Namun, bagaimana bisa ia tenang tidur kalau anak-anaknya sakit. Apalagi melihat penampakan Bara yang semrawut, ia justru ingin menyuruh Bara beristirahat.
“Percaya sama aku. Ehm?” Kedua alis Bara terangkat.
“Tapi, Mas juga lebih keliatan capek ….”
Bara tersenyum. “Siapa bilang? Ini gara-gara aku belum mandi aja jadi keliatan kumal. Sudah tidur sana. Jangan sampai kamu yang gantian sakit.”
Akhirnya Agni menurut. Badannya juga sudah lelah ingin diistirahatkan, apalagi bahu kirinya sekarang mulai meraung merasakan nyeri karena selama menggendong Kembar ia harus menggunakan bahu kiri karena bahu kanannya belum bisa digunakan sebagai tumpuan.
Rasanya baru lima menit Agni terlelap tapi ternyata saat ia membuka mata, sinar matahari sudah menyorot ke dalam kamar melalui celah tirai yang masih tertutup. Agni menengok ke arah jam dinding dan seketika terperanjat. “Jam lima?” Buru-buru Agni bangun dan menoleh ke arah Raina yang berbaring di sampingnya. Ia memegang dahi gadis ciliknya dan seketika ia bisa bernapas lega karena suhu tubuhnya sudah turun.
Agni lantas turun dari ranjang dan berjalan keluar sambil mencepol rambutnya. Di luar, sudah ada keributan yang berasal dari dapur. Aroma wangi pun menyeruak memenuhi seluruh rumah. Agni segera bergegas ke dapur untuk melihat siapa yang memasak karena seingat Agni Tante Mirna baru pulang malam ini.
“Mas Bara?” Agni membeliak melihat Bara yang sedang memasukkan daun bawang ke dalam panci sambil menggendong Raditya.
“Wes tangi?” Bara menoleh sejenak, lalu kembali mengaduk panci.
Agni mendekat dan semakin keheranan mendapati Bara membuat sop.
“Mau coba?” tanya Bara pada Agni.
Agni mengerjap, lalu menerima suapan kuah sop dari Bara. Matanya membulat ketika lidahnya disapa rasa asin, manis, dan gurih yang berpadu menjadi sensasi lezat yang dipersepsikan otaknya. “Enak!”
“Udah mateng. Kamu tinggal bikin ceplok ya?”
Agni mengangguk berulang. Otaknya belum bisa mencerna apa yang terjadi. Pagi hari, ia mendapati Bara menggendong salah satu anaknya sambil memasak?
Seketika jantung Agni berdebar kencang. Ia menggigit kuku jempolnya kebingungan dengan pemandangan yang membuat hatinya mleyot. Ia takut jatuh cinta lagi pada orang yang membuatnya patah hati. Namun, act of service yang dilakukan Bara, benar-benar membuat batinnya menghangat. Apakah Bara punya motif lain?
Agni menggeleng, menyingkirkan pikirannya. Ia ingat Bara sangat moody. Detik ini baik, satu jam lagi bisa jadi marah-marah sendiri. Wanita itu lantas memejamkan mata sambil mengatur napas. Beberapa kali ia berkata pada dirinya, jantung yang berdetak kencang itu hanyalah adalah reaksi tubuh yang harus ia kendali. Bukan cinta.
Namun, tak dimungkiri kehadiran Bara benar-benar memberi asupan semangat bagi anak kembarnya. Pagi ini, demam mereka turun dan Kembar bisa menghabiskan satu entong nasi.
“Papi enak banget sopnya. Buatan Mami kalah!” puji Raditya dengan pipi menggelembung.
“Makasih papiku tersayang.” Raina menimpali sambil membuka mulut lebar-lebar saat Agni hendak menyuapi.
“Berhubung Kakak sama Adek sudah sehat, Papi harus kerja.” Agni menyambung. Ia harus buru-buru memenggal kedekatan Kembar dan bapaknya karena tak ingin mereka terlalu bergantung pada Bara.
“Tapi ….” Raina mulai protes.
Bara menatap Agni sambil mengembuskan napas panjang. Melihat wajah lelahnya, sepertinya ia tak kuat berdebat dengan Agni. “Nanti sore Papi datang lagi. Papi memang masih ada pekerjaan.”
Untungnya Bara bisa mengkondisikan anak-anak sehingga tak ada drama pagi ini. Setelah sarapan, Bara pun berpamitan pada anak-anaknya.
“Manut sama Mami ya?” Bara menyentil ujung hidung Raditya lalu mengecup pipinya.
“Iya, Pi,” jawab Raditya.
Bara kini beralih pada Raina. “Adek ga boleh cengeng-cengeng. Habis ini, basuh badan trus istirahat lagi biar cepet sembuh.” Kembali ia mengecup pipi kanan dan kiri Raina.
Setelah berpamitan pada kedua anak itu, ia lantas menegakkan tubuh dan mengangkat tas ranselnya. “Aku … berangkat.”
Namun, saat Bara akan melangkah, seruan Raina menjeda ayunan kakinya. “Pi! Kok Mami ga dicium?”
Bara mengerjap, menatap Agni yang melengos. Ia tersenyum simpul lantas membungkuk mengecup pucuk kepala Agni. “Papi … berangkat ya, Mi. Titip anak-anak.”
Wajah Agni perlahan memerah. Kecupan itu menghantarkan kehangatan. Saat ia mendongak, Bara sudah berlalu ke depan menyisakan Agni yang masih tersipu.
***
Gara-gara adegan istri dan anak-anak mengantar suami bekerja, tanpa sadar sepanjang hari Agni sering tersenyum. Apalagi Bara memberi kecupan di pucuk kepalanya yang mengantarkan gelenyar di sekujur tulang belakang. Kehangatan kecupan Bara berhasil melumerkan kebekuan hatinya selama tujuh tahun ini.
Sial! Kenapa aku jadi kepikiran Mas Bara?
Agni berdecak, menyadari dirinya seperti perempuan remaja yang kasmaran. Diberi perhatian sedikit saja langsung meleleh dan hampir melupakan ancaman Bara mengambil anak-anaknya.
Namun, sepertinya bukan hanya Agni yang mulai terbiasa dengan kehadiran sosok Bara. Anak-anak yang sudah mulai pulih pun terus-menerus menanyakan papi mereka.
“Ayo, Mi, telepon Papi.” Raina mulai merengek.
Bibir Agni mengerucut, menimbang-nimbang. Sebenarnya, ia tak mau merepotkan Bara, tapi melihat anak-anaknya yang terlihat memohon penuh harap, Agni akhirnya mengabulkan.
Namun, beberapa kali Agni mencoba menghubungi Bara, tetap saja panggilannya tak diangkat. Tak hanya malam itu, dua hari berikutnya pun Bara tetap tak bisa dihubungi, bahkan tak terlihat mengontrol tukangnya di kantor.
“Papi belum bisa dihubungi, Mi?” tanya Raditya saat Agni kembali meletakkan gawainya di permukaan sofa di sebelahnya.
“Papi sibuk kayanya. Kak.” Agni mengelus kepala Raditya.
“Apa Papi sakit karena capek gendong Kakak sama Adek ya?” Celetukan Raina berhasil membuat Agni kepikiran.
“Mi, mbok telepon Om Jeremy. Om Jeremy kan temennya Papi?” Selalu saja Raditya bisa mencetuskan ide.
“Jangan. Ga enak. Ini sudah malam.” Agni tak ingin melibatkan orang lain.
“Mi, apa kita perlu ke rumah Papi? Kalau Papi sakit, siapa yang ngerawat?” Raina semakin menyulut kecemasan Agni.
Namun, Agni menepis perasaannya. “Papi udah gede. Bisa ngurus diri sendiri kalau sakit. Lagian sekarang udah malem … hujan pula. Adek sama Kakak sekarang sikat gigi sana. Trus bobok.”
Anak-anak pun akhirnya menurut dan segera naik ke ranjang diikuti Agni. Walau Si Kembar telah terlelap, tetap saja otak Agni penuh dengan bayangan bila terjadi sesuatu dengan Bara apalagi beberapa hari lalu pria itu semalaman tidak tidur saat menjaga Raditya dan Raina.
Sampai menjelang pukul sepuluh, Raditya ternyata tak kunjung terlelap, walau matanya terpejam. Anak laki-laki kecil itu akhirnya membuka matanya dan mendapati Agni yang masih terjaga. “Mi, ke tempat Papi yuk.”
“Kakak kok belum bobok sih?”
Raditya menegakkan tubuhnya sambil menggosok mata. “Ndak bisa bobok. Pengin sama Papi.”
“Ini udah malem, Kak. Papi juga pasti udah tidur.”
“Ayo, to, Mi, ke tempat Papi.” Raditya merengek.
“Lha Adek piye nu? Kasihan kalau ditinggal.” Agni berbisik, memberi alibi penolakan halus.
“Adek kalau udah tidur kan susah bangun, Mi. Ayo, to ….” Raditya melempar sorot mata penuh harap.
Bibir Agni mengerucut, menimbang-nimbang. Pada akhirnya ia mengangguk dan mereka pun turun dari ranjang untuk mengecek pesan singkatnya. Dulu Bara pernah mengirim alamat sewaktu ia membawa anak-anak ke rumah saat Agni masih dirawat di rumah sakit karena takut Tante Mirna akan mengamuk bila cucunya tak ada di rumah.
Dengan panduan lokasi yang dibagikan Bara yang ternyata tak jauh dari rumahnya, Agni dan Raditya segera keluar setelah meraih jaket tanpa mengganti bajunya. Ia sendiri sebenarnya sudah sangat cemas karena Bara seolah menghilang setelah ia meminta pria itu pulang.
“Kalian mau ke mana hujan-hujan gini?” Tante Mirna muncul dari dapur sambil membawa cangkir yang mengepulkan uap hangat.
Langkah Agni seketika terhenti. “Tan, Tante ….” Tenggorokan Agni kaku. Ia tiba-tiba menjadi gagu.
Tante Mirna mengernyit. “Ada apa?”
“Ka … kami mau keluar bentar, Nte. Dah ….” Agni lalu bergegas keluar dari rumah dengan jantung berdetak kencang seperti anak kecil yang ketahuan berbuat salah.
Setelah cepat-cepat mengenakan jas hujan, Agni pun segera mendorong sepeda ke luar dari carport. Ia mematikan Raditya sudah duduk aman di belakang dan kemudian melajukan sepeda keluar dari halaman rumah.
Air yang tercurah dari langit cukup lebat sehingga menghalangi pandangan Agni. Bila memakai kaca helm, ia tak bisa melihat jelas. Tapi kalau ia menaikkan kacanya, wajahnya nyeri karena tertusuk semburan air. Untungnya, tak sampai sepuluh menit akhirnya roda motor berhenti di rumah yang ditunjukkan Raditya. Raditya langsung meloncat turun dan buru-buru melepas jas hujan. Anak itu menggedor pintu dengan keras sambil memanggil papinya.
“Dek, jangan keras-keras. Nanti ganggu tetangga.” Agni menyusul sesudah meletakkan jas hujan di sadel.
Baru saja Agni menutup mulut, suara kunci diputar terdengar. Otak Agni langsung berputar mencari alasan kenapa ia datang malam-malam. Tentu saja ia akan menggunakan rengekan Raditya sebagai tameng. Namun, saat daun pintu perlahan terbuka, seketika mata Agni membulat lebat mendapati sosok yang membukakan pintu.
💕Dee_ane💕
Hai, Bara, Agni, dan Kembar datang lagi. Sebelumnya selamat Tahun Baru yak. Semoga tahun ini berlimpah rezekinya. Jangan lupa kasih jejaknya. Dan, buat kalian yang mau baca lebih cepet silakan mampir ke KK
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top