21. Sosok Ayah

Pada akhirnya mereka urung makan siang di tempat dan terpaksa membungkus beberapa porsi nasi padang karena suasana hati Agni tak nyaman. Walau ia sudah memesan satu porsi daging rendang, tapi ia tak berniat makan karena ingin memastikan ucapan Agni sehingga siang itu juga Bara bergegas ke Surabaya setelah mengantar Agni kembali ke kantor.

Hanya dalam waktu empat jam saja Bara sampai di rumah Yangkung.  Alih-alih menyapa pria tua itu, ia langsung masuk dan membuka pintu lemari Agni di kamarnya yang masih tersisa beberapa baju. Ia membuka laci dan mata Bara seketika membeliak mendapati kartu ATM dan buku rekening ada di sana.

Tak ingin berlama-lama, Bara pun segera memelesat ke gerai ATM untuk mengecek saldo. Sayangnya di layar monitor tertera tulisan “kartu tidak valid.”

“Sial!” Bara menarik kembali kartu ATM dengan nama Agni di permukaannya dengan kasar. Untuk memastikan isi saldonya, ia harus mengajak Agni mengurus sendiri ke bank. “Pantes Agni segitu nolaknya aku deketin arek-arek! Dia ga ngrasa aku support finansial mereka.”

Selama ini Bara selalu berpikir Agni tak punya rasa terima kasih sudah diberi bantuan. Padahal, tanpa Bara tahu Agni sedang bertahan hidup sambil mengandung anak-anaknya dengan dukungan Tante Mirna tanpa uang pensiun dari Papa setelah ditinggal Mama.

Bara menepuk keras dahinya menepis rasa bersalah. Ia benar-benar berdosa pada Om Arkan yang setelah menikahi Agni ia panggil Papa karena ternyata membuat putri kesayangan Papa menderita.

Sekembalinya dari gerai ATM, Bara berjalan lesu dengan punggung yang melengkung. Ia hanya melalui Yangkung yang sedang melihat acara berita tanpa menyapa.

“Le, opo’o se kamu balik-balik kaya setrikaan?” tegur Yangkung.

Langkah Bara terhenti. Lidahnya kaku, tak bisa menjawab Yangkung. Ia hanya menunduk menyembunyikan raut bersalah. Tanpa bisa ia kendalikan lagi, bahunya naik turun menahan isakan yang selama ini tak pernah terlontar kecuali saat kepergiaan Papi.

“Bar, ada apa?” Dengan terseok menggunakan tongkat tripodnya, Yangkung mendekat.

Seperti anak kecil, Bara memeluk eyang kakungnya dengan sesenggukan yang berusaha ia tahan.

“Ada apa, Ngger?” Yangkung mengelus punggung sang cucu.

Setelah tenang, Bara menegakkan tubuh dan mengusap wajahnya kasar dengan mata memerah. “Kung, ada sesuatu yang mau saya bicarakan.”

Alis beruban itu mengernyit. “Opo’o se kaet maeng (Kenapa se dari tadi) ketok misterius banget.”

Bara belum membuka suara dan menuntun Yangkung duduk di sofa depan televisi. Ia sengaja mengecilkan volume suara siaran berita tanpa mematikan televisi.

“Ono opo?”

Bara menghela napas sebelum akhirnya membuka suara. “Kung, sebenarnya … saya yang menceraikan Agni.”

Mata berkeriput itu mengerjap. “Apa?” Ia menggosok telinganya.

“Saya … yang menceraikan Agni,” cicit Bara.

“Bar, koen iku ….” Telunjuk Yangkung terancung ke depan hidung Bara. Tangan kirinya meremas kain baju di dadanya. “Iso-isone loh! Papanya Agni sudah pasrahke Agni ….” Detik berikutnya, Yangkung mengerang. Laki-laki itu kembang kempis kehabisan napas.

Bara seketika menepuk pipi Yangkungnya sambil memanggil pembantu yang menemani Yangkung. “Tolong buka pintu mobil. Yangkung harus dibawa ke rumah sakit.”

***

Bara akhirnya bisa bernapas lega ketika dokter mengatakan Yangkung bisa diselamatkan setelah mendapatkan tindakan. Ia pasti akan semakin menyalahkan dirinya bila Yangkung tak bisa tertolong karena terkejut mendengar kebenaran yang selama ini ia tutupi.

Saat ia menanti Yangkung di depan ICU karena laki-laki tua yang merawatnya dari kecil itu harus dirawat intensif, Cyra datang malam itu juga. Wanita itu tergopoh sambil membawakan bungkusan kresek.

“Maem dulu, Mas.” Cyra duduk di sebelahnya sambil menyodorkan bungkusan itu.

“Ga usah repot-repot. Lapo (Ngapain) datang malam-malam gini.” Bara melongok ke dalam bungkusan. Aroma penyet yang dibawa Cyra sama sekali tak menggugah selera makannya walau ia belum makan sejak pagi.

“Maem sik gih. Beberapa minggu di Solo jadi kusam, ga keurus gitu.”

Bara mendengkus. “Cyra, soal gugatan hak asuh yang pernah aku ceritain—”

“Tenang aja, aku udah siapin carikan teman pengacara yang bakal bantuin Mas.”

Bara termangu. Cyra memang sigap setiap ia membutuhkan pertolongan. Mulai dari membantu melobi omnya ketika tahu Bara ingin mendapat penghasilan yang lebih besar agar bisa menabung untuk memulai usahanya sendiri, mengurus perceraian, membantu menghubungkan teman notarisnya di Solo untuk membuat izin usaha, dan sekarang Cyra pun sudah siap menghubungkan pengacara yang akan menyiapkan berkas gugatan hak asuh.

“Yangkung kenapa kok kumat lagi?”

“Udah tua,” jawab Bara sekenanya. Ia enggan menjelaskan penyebab tumbangnya Yangkung.

“Hus, ngawur! Kualat sampeyan!” Cyra menepuk lengan Bara. “Oh, ya, Mas. Papa Mama nanyain kabar Mas terus.”

“Ya beginilah.” Bara mengangkat kedua bahu.

“Habis gugatan selesai, Mas balik Surabaya lagi?” tanya Cyra.

“Aku belum tahu. Lihat aja nanti.” Bara mengambil lagi gelas berisi kopi yang tinggal separuh di sebelahnya. Sambil menyesap cairan itu untuk menepis kantuk, pikiran kusutnya semakin semrawut. Ia kini tak tahu apa yang ia inginkan dan apa yang harus ia lakukan.

***

Tak terasa sudah dua hari Yangkung dirawat di ICU. Hari ini, akhirnya dokter memperbolehkan Yangkung dipindah ke ruang rawat inap setelah kondisinya stabil. Setelah mereka sudah masuk di ruang rawat inap, Yangkung memanggil Bara yang matanya sudah dihiasi lingkaran hitam dan kantung karena kurang makan dan tidur.

“Kamu ga balik Solo?” tanya Yangkung terbata karena hidungnya masih dipasang selang oksigen.

“Tunggu Yangkung sembuh dulu. Saya udah ngajari mandor saya buat ngawasi kerjaan tukang.” Bara duduk di samping Yangkung sambil memijat tangan yang sudah keriput itu. “Jeremy juga mau bantuin ngecek kalau dia longgar.”

“Arek-arek piye kabare?”

Baru saja Bara akan membuka mulut tiba-tiba gawainya berdering. Nama ‘Mami Kembar’ muncul di permukaan layar.

“Agni telepon.” Senyum Bara terurai di wajah lelahnya. Ia pikir Agni akan mendiamkan setelah percakapan mereka kali lalu. 

Bara lantas menerima panggilan telepon. Belum sempat ia mengucapkan salam, suara Agni terdengar memburu. “Mas Bara di mana? Kembar sakit. Ga mau maem. Maunya disuapin Papi.”

“Sakit?” Rona wajah Bara seketika memudar. Ia menoleh ke jam dinding sekilas. Jam 18.49. “Kasih teleponnya ke anak-anak dulu.”

“Ono opo?” Yangkung mengikuti percakapannya.

Namun, Bara tak sempat menjawab karena wajah Raditya yang pucat sudah tampak di layar. “Papi! Mau Papi!”

Kini giliran wajah Raina yang terlihat di layar sambil dipangku Agni. “Papi ndak sayang lagi sama Kakak dan Adek?”

“Ya Tuhan, Dek. Kok bisa ngomong gitu? Papi sayang sama kalian.”

“Ndak! Papi ndak sayang! Mami bilang Papi sibuk.” Raina dengan suaranya yang serak berteriak kencang. “Adek sakit pala, Pi. Mau sama Papi.”

Bara gelagapan. Baru kali ini jantungnya seperti mau copot sewaktu melihat wajah pucat anak-anaknya. Ia lantas menghela napas, berusaha menenangkan diri. “Kakak, Adek, dengerin Papi. Sekarang manut Mami dulu ya. Maem! Kalau ga mau maem, Papi ga mau balik.”

“Mau disuapin Papi!” Raina tetap ngeyel.

Bara berdeham hingga sesenggukan Raina terjeda. “Dek, Papi ga mau Adek ngeyel kaya gini. Maem. Jam …” Bara menghitung perjalanannya kembali ke Solo. “Tengah malam nanti Papi sampai di rumah.”

“Betul?” Raditya menyahut.

“Kapan Papi pernah bohong?” Bara meyakinkan anak laki-lakinya.

“Janji ya, Pi.” Raina menyodorkan kelingking.

“Janji.” Bara pun ikut menyodorkan kelingkingnya seolah membuat pinky promise.

Selepas panggilan terputus, Bara bangkit. “Kung, saya balik Solo. Nanti saya minta Mbok Sri ke sini.”

“Kamu ga capek, ta, Bar?” Yangkung tampak cemas. Pengalaman kehilangan anak laki-laki karena kecelakaan lalu lintas membuatnya trauma.

“Ga, Kung. Yangkung tenang saja.” Bara menepis apa yang dirasakan tubuhnya. Malam ini ia harus segera hadir untuk kedua anaknya karena tak ingin Agni menganggapnya sebagai ayah yang tak bertanggung jawab.

***

Sudah dua hari ini, anak-anak sakit. Biasanya mereka akan tumbang bergantian. Tapi, kini keduanya sakit di waktu yang bersamaan. Walau sudah diberi obat dari Cakra, tetap saja panasnya tak mau turun. Malam kemarin bahkan Agni tak tidur karena bergantian menggendong Raditya dan Raina yang beratnya sudah lebih seperempat kuintal.

Setelah menelepon Bara, Cakra tiba setelah membelikan makanan untuk Agni. Laki-laki itu sengaja hanya visite pasien saja dan tidak praktik. Agni memang sengaja menelepon Bara atas desakan anak-anak saat Cakra keluar karena tak enak hati dengan laki-laki itu.

“Ni, makan dulu.” Cakra mengambil alih Raina yang ada di gendongannya. “Aku belikan nasi ayam goreng.”

“Ga nafsu makan, Mas.” Agni memang tak ada nafsu makan. “Mas aja yang makan.”

“Om, Adek mau maem. Kata Papi, kalau Adek maem, Papi mau datang,” rintih Raina.

Batin Agni merintih. Sebegitu merindukannya Si Kembar pada papi mereka? Bahkan perkataan tenang Bara bisa mengendalikan kedua anak itu.

“Kakak juga mau maem.”

Cakra menatap Agni, dengan sorot minta penjelasan. Dari tadi sore, anak-anak memang menutup mulut mereka saat hendak disuapi. Bahkan Cakra sudah bersiap membawa infus set dan cairannya untuk berjaga-jaga bila Kembar kurang cairan. Namun, Agni justru melengos dan berdiri menuntun Raditya sambil menggendong Raina ke luar kamar.

Selang setengah jam kemudian, Raditya dan Raina bisa memasukkan nasi dan ayam setelah disuapi Agni. Walau hanya beberapa suapan, setidaknya Agni bisa sedikit lega karena lambung mungil mereka sudah terisi.

“Kamu tidur aja, Ni. Biar aku jagain anak-anak.” Cakra mengambil alih Raina dari pangkuan Agni untuk digendong.

“Mas Cakra balik aja. Udah mau jam delapan. Ga enak sama tetangga.” Dua kali ini terpaksa Agni mengusir Cakra dengan halus.

“Kamu juga butuh istirahat, Ni. Gimana kalau kamu tumbang? Mana di rumah cuma kamu sendiri sama anak-anak.”

“Bentar lagi Mas Bara datang.” Agni sengaja tak menatap Cakra.

“Mas Bara …?” Suara Cakra tercekat.

“Anak-anak kangen. Mungkin sakit mereka karena pengin ketemu papi mereka. Gimana pun ‘kan Mas Bara ayah mereka.” Agni menunduk, menyibukkan diri dengan membereskan piring bekas makan Kembar.

“Ni ….” Cakra menggeleng sambil menatap tak percaya pada Agni.

Sementara itu, Agni segera berbalik menuju dapur menghindari tatapan Cakra. Sebelum melangkah, ia berkata,  “Aku ga boleh egois, Mas.”

“Apa aku ga bisa menjadi ayah buat Kembar?”

💕Dee_ane💕

Hai ... aku datang lagi update cerita Agni, Bara, dan kedua anak kembarnya. Jangan lupa selalu tinggalin jejaknya yak. Yang pengin baca cepet silakan mampir ke KK

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top