20. Biang Gosip

Sepanjang hari Bara tetap tinggal di rumah itu sambil mengerjakan rancangan anggaran yang akan diajukan dua hari lagi. Sementara itu, Agni memilih mengurung di kamar. Namun, menjelang siang, tiba-tiba Agni keluar dari kamar dan berjalan ke kamar mandi.

Bara buru-buru bangkit dan menghampiri Agni. "Mau ngapain?"

"Mas Bara iki reseh banget se? Bisa ga, ga ganggu?"

"Lha kamu mau ngapain ke kamar mandi?" Bara kesal pertanyaannya dijawab dengan pertanyaan yang lain.

"Ya mau ada perlu!"

"Ga usah dikunci." Bara mengingatkan.

Alis Agni mengerut. "Orang kok ngatur-ngatur!"

"Ni, manut to!" Bara menggeram.

Agni berdecak, memutar bola mata kesal. "Iyo! Awas sampai masuk!"

Namun, belum ada lima menit Bara kembali duduk, dari dalam kamar mandi terdengar keributan sesuatu yang jatuh. Bara bergegas berdiri dan berlari, membuka kamar mandi. Seketika ia mengerjap mendapati tubuh polos Agni dengan rambut basah yang masih penuh buih sampo.

Sementara itu, Agni yang berjongkok, menyibak rambut dan menyeka matanya. Ia seketika berteriak mendapati Bara ada di ambang pintu kamar mandi. "Mas Bara! Keluar!"

Bara mengambil gayung yang jatuh di dekat pintu. Rupanya biang keributan tadi adalah gayung yang jatuh. Tak mengindahkan peringatan Agni, Bara mendekat dan membantu mengangkat tubuh Agni. Tapi tubuh Agni kaku, menolak dibantu Bara berdiri.

"Keluar!" Suara Agni bergetar.

"Ga usah malu! Kaya aku belum lihat aja." Bara membungkuk, memegang lengan kiri Agni yang tadinya untuk menutup dada. Dari tempat ia berdiri, Bara bisa melihat tonjolan daging dengan pucuk cokelat muda yang menurut Bara ukurannya sedikit lebih besar dari yang diingatnya. Jakun Bara naik turun, melihat pemandangan indah yang lama tak ia temui. Namun, ia segera menepisnya dan segera menarik tubuh mungil itu hingga berdiri di hadapannya.

"Mbungkuk. Tarik tangan kanan ke belakang biar ga kena air." Bara memberi instruksi, sambil mendorong pelan kepala Agni ke bawah.

Punggung polos Agni akhirnya membungkuk. Jakun Bara tanpa sadar naik turun, kesusahan menelan ludahnya. Pemandangan di depannya mengingatkan Bara pada malam-malam berbasuh peluh tujuh tahun yang lalu. Pada posisi berdiri membungkuk seperti ini, Bara dengan buas menerkam Agni dari belakang hingga gadis itu hanya bisa merintih.

Buru-buru Bara mengguyur kepala Agni berharap air itu juga mampu membasuh pikiran kotornya. Walau Bara selalu mengatakan Agni masih sah sebagai istrinya dalam hukum gereja, tapi ia tak bisa serta merta menyentuh Agni.

Sesudah yakin rambut Agni bebas dari buih sampo, Bara mengambil handuk dan membebat tubuh Agni. Kemudian ia mengambil handuk yang lebih kecil untuk mengeringkan rambut sebahu Agni, lalu membungkusnya.

"Sudah!"

Agni pun menegakkan tubuh dengan pipi yang sudah semerah tomat ceri. Ia memalingkan wajah, menyembunyikan ekspresi malu yang menggemaskan. Namun, Bara tak ingin berlama-lama di situ. Bilik kamar mandi itu tiba-tiba berubah menjadi tungku pembakaran yang membuat badannya panas.

Baru saja Bara duduk sambil mengipasi tubuhnya yang entah kenapa terasa gerah, panggilan Agni menggema dari kamar.

"Opo'o (Kenapa)?" tanya Bara masuk ke dalam kamar.

"Bisa kaitin behaku?" Agni berkata cepat tapi masih bisa ditangkap Bara.

Bara pura-pura tak paham. "Ngomong sing jelas."

Agni berdecak. "Bisa minta tolong kaitin be ... haku?" Kali ini Agni berbicara lebih lambat.

Bibir Bara tertarik ke samping kiri. "Ga usah pake. Ga ke mana-mana aja."

"Emoh!" Seketika Agni menyilangkan tangan. "Nanti ada yang lihat."

"Siapa?" Bara menoleh ke kanan kiri.

Agni menggerakkan dagunya ke arah Bara.

"Aku?" Bara menunjuk dirinya.

Anggukan Agni seketika disambut kekehan Bara. "Ni, koyo aku ga nate ngerti isine ae (Ni, kaya aku ga pernah tahu isinya aja)." Ia menyentil dahi Agni.

"Mas Bara ini loh!" Agni memekik.

"Ni, aku tahu batesannya. Kita udah pisah. Di sini aku ada buat kamu sebagai ..." Bara membasahi bibirnya dengan ujung lidahnya, untuk meloloskan kata yang membuat dadanya nyeri. "masmu."

"Temen-temen mau jenguk ke sini. Mosok aku ga pake beha?"

Mendengar penjelasan Agni, akhirnya Bara menurut. Ia lantas memasukkan tangannya ke kaus dan mengambil masing-masing pengait beha untuk dikancingkan.

"Suwun." Agni kemudian berbalik.

"Aku bantu ngeringin rambut?"

Kali ini Agni tak menolak. Ia pasti kesusahan menata rambutnya dengan satu tangan sehingga membutuhkan bantuan. Akhirnya, Agni duduk di depan meja dan Bara berdiri di belakangnya memegang pengering rambut.

Dengung hair dryer kemudian menguasai kebisuan keduanya. Bara hanya fokus pada rambut yang berkibar tertiup semburan angin dari moncong pengering rambut.

"Mas ...." Akhirnya Agni membuka suara. "Setelah ini, Mas pulang aja."

Bara melirik bayangan Agni di cermin. "Opo'o?"

"Aku ga pengin ada gosip di kantor."

Sorot mata Agni memelas. Bara hanya bisa menurut karena ia pun tak ingin membuat rumor tak sedap. Bagaimanapun ia mendapat kepercayaan Jeremy untuk menangani proyek pertamanya di kota ini.

***

Sejak kepergian Bara siang itu, Agni tak melihat Bara lagi. Pria itu hanya menelepon saja untuk berkomunikasi dengan anak-anaknya, tapi Agni selalu mencari berbagai alasan agar Kembar tidak berinteraksi dengan papi mereka. Agni tak ingin anak-anak terlalu dekat dengan Bara. Baginya, lebih baik Bara menghilang, dari pada kehadiran pria membuat Kembar terbiasa  dan biasa meninggalkannya.

Sayangnya, pikiran Agni, tak sejalan dengan Si Kembar. Untuk kesekian kali, Raina dan Raditya mulai ribut mempertanyakan papi mereka. Namun, lagi-lagi Agni menjawab, "Papi sibuk, Kak."

"Sibuk apa? Kakak mau telepon Papi." Raditya mengambil gawai Agni.

"Kak, apa belum puas Kakak sama Mami?" tanya Agni.

"Adek mau Papi!" Kini giliran Raina memekik kuat. "Mami jahat! Mami jahat!" Raina menangis bergulung di lantai.

"Mami ... Kakak sama Adek mau Papi! Kakak kangen." Raditya sesenggukan.

"Kak, Dek, kalian kok jadi kaya gini?" Agni berusaha mengendalikan tingkah dua anak itu.

"Semua gara-gara Mami! Harus,nya Papi tinggal di sini! Mami jahat!"

Hati Agni tertusuk. Anak-anak yang ia kandung, lahirkan, susui, dan besarkan justru merutuknya.

"Terserah kalian mau nangis apa gimana, Mami ga bakal gubris!" Agni berusaha menulikan telinga, tak mengabulkan permintaan kedua anak kembarnya walau keduanya tantrum. Agni berpikir ini cara terbaik supaya mereka tak tergantung dengan papi mereka.

Setelah lima hari beristirahat di rumah, akhirnya ia kembali lagi berangkat ke kantor. Karena dilarang Tante Mirna mengendarai sepeda, terpaksa ia naik gojek. Begitu tiba di kantor ia sudah melihat Bara ada di sana sedang mengarahkan truk yang hendak mengirim pasir. Mereka saling pandang sejenak. Dengan penampilan kemeja lengan pendek biru muda dan celana jin yang membalut kulit yang semakin terbakar matahari sejak terakhir bertemu, pesona Bara semakin menguar. Jantung Agni tanpa sadar berdetak kencang hanya karena tatapan sekejap itu. Namun, ia segera menepisnya dan bergegas masuk.

"Ni!" Bara mengejarnya.

Sontak Agni menoleh ke kanan-kiri. Bagaimana bisa Bara hanya memanggil namanya? Ia tak ingin orang lain tahu mereka pernah ada hubungan. "Bisa saya bantu, Pak Bara?"

"Kabare arek-arek gimana?" tanya Bara mengusap keringat dengan lengannya.

"Sehat." Agni melengos dengan wajah kusut. Pandangan waspadanya mengedar ke seluruh halaman, takut ada Viska, si CCTV melihat mereka dan bisa menyebarkan gosip. "Oh, ya, tolong Pak Bara bekerja dengan profesional. Jangan hanya panggil 'Na Ni Na Ni' saja."

Bara mengembuskan napas panjang. "Baik, Bu Agni." Pria itu melipat bibir, mengulum senyum.

"Kalau ga ada yang penting, saya mau masuk."

Belum sempat memutar tubuh, lengan Agni kembali diraih Bara. "Nanti siang, makan siang bareng?"

"Ga! Dilarang menerima sesuatu dari rekanan!" Sesudah itu Agni berbalik dan lari menuju ruangannya.

Ruangan keuangan masih sepi. Hanya ada meja kursi kosong yang menanti pemiliknya datang. Agni lantas duduk di belakang meja, masih dengan pikiran hampa. Bara terlihat lebih kurus. Wajahnya kumal dengan bulu halus di atas bibir dan dagu yang semakin panjang. Kenapa Bara tiba-tiba pindah ke Solo di saat pekerjaannya sudah nyaman di Surabaya? Selama ini ia hanya tahu Bara selalu berpakaian rapi dan segar saat bekerja. Berbeda dengan Bara yang sekarang yang tampak lelah.

"Loh, Mbak Agni sudah masuk?" Ria yang muncul kemudian terkejut melihat Agni ada di situ. "Udah baikan?"

Agni mengangguk. Buru-buru ia mengeluarkan laptopnya secara spontan. Padahal biasanya setelah meletakkan tas, ia akan bersiap di halaman untuk mengikuti apel pagi.

"Mbak,udah tahu belum?"  Kalau diawali kalimat ini, artinya Ria akan memberikan gosip terhangat.

"Mana aku ngerti to, Ri? Orang kamu belum ngomong." Agni bangkit dan berjalan keluar diikuti Ria.

Wanita bertubuh gempal itu menggandeng Agni sambil berbisik, "Itu ... rekanan baru kita. Banyak penggemarnya."

Agni mengernyit. "Rekanan baru?"

"Pak Bara! Rekanan konstruksi puskesmas." Ria menjelaskan.

"Kenapa dia?" Agni yang biasanya enggan bergosip, kali ini terpancing.

"Ciwi-ciwi di sini ... mulai dari emak-emak sampai yang masih perawan ting-ting pada suka." Ria mendekatkan kepala di telinga Agni. Ia kemudian menutup samping bibirnya agar gerak bibirnya tak terbaca. "Dipepetin Mbak Viska terooos!"

Agni mengerjap, melirik ke arah Viska yang berlenggok genit bersama besti-nya. Ah, rupanya ini kesukaannya Si Borokokok?

"Berarti kamu juga suka?" Agn kembali menimpali cerita Ria.

Ria terkikik. " Mbak ga lihat apa udah ada cincin di jari manisnya?"

"Oh, ya?" Agni mengernyit, mengingat kembali jari Bara. Ia yakin jari laki-laki itu selalu polos, tanpa perhiasan.

"Katanya Pak Bara sudah menikah dan punya anak dua."

Agni mendengkus. Yang benar Bara sudah pernah menikah dan punya anak kembar.

"Istrinya beruntung banget ya?" Ria menimpali.

Semua orang hanya bisa menilai dari luar. Namun, Agni tak menanggapi. Biarlah orang berkata apapun, karena bagi Agni, Bara ... cinta pertama dan mungkin terakhirnya karena ia kapok patah hati lagi, menjadi sumber keberuntungan sekaligus kesialannya. Beruntung karena ia mendapatkan Kembar setelah kehilangan Papa Mama. Sekaligus ia sial karena Bara benar-benar membuat hatinya patah setelah menceraikannya sepihak.

Ternyata memang obrolan tentang Bara di kantor begitu santer. Berbeda dengan rekanan lain yang mempekerjakan mandor, Bara sendiri yang mengawasi tukang-tukangnya. Bila ada pekerjaan yang kurang sempurna, ia pasti menegur tukangnya agar segera melakukan perbaikan. Tak dimungkiri Agni, cara kerja Bara begitu profesional. sehingga mendapat pujian dari Pak Kepala. Namun, Agni tak mengindahkan gosip-gosip itu. la dan Bara sekarang hanya sekedar rekanan saat menjadi orang tua Kembar. Di Kantor, mereka tak ubahnya orang asing yang mengenal karena urusan pekerjaan.

Or saat semua orang Sedang asyik membicarakan Bara di ruangannya menjelang jam istirahat, pesan dari Bara masuk ke gawainya.

[Maksi, yuk]

Awalnya Agni tak menggubris, tapi pesan dari pengirim yang sama kembali masuk.

[Aku jemput ke ruangan?]

Sial! Ancaman Bara berhasil membuat Agni bangkit dan keluar begitu saja. Ia menelepon Bara dengan wajah kusut. "Mas, bisa ga, ga usah aneh-aneh?"

Tawa renyah Bara mengudara. "Aku luwe. Ini dah jam istirahat."

"Yo wes, yo wes. Tunggu aku di depan Toko Ijo." Ia tak ingin teman-temannya tahu, ia naik mobil Bara. Beberapa waktu lalu saat Cakra menyapanya saja sudah menjadi bahan gibahan yang heboh, apalagi kalau mereka tahu ia ada hubungan dengan Bara yang dalam beberapa hari menjadi rekanan sudah mempunyai banyak penggemar.

Sejurus kemudian, Agni duduk manis di jok samping sopir di atas mobil yang dikendarai Bara. Ia menarik seat belt dengan kasar sambil melayangkan lirikan sengit pada Bara.

"Mau makan apa?"

Kalau biasanya Agni menjawab terserah, kali ini ia langsung memutuskan makan di restoran padang yang cukup jauh dari kantor.

"Oh, ya, nanti kalau pulang aku anter." Bara kemudian membuka suara sambil memutar setirnya.

"Ga usah! Aku bisa bareng Ria," jawab Agni ketus.

"Aku mau ketemu anak-anak. Kangen."

Agni mengernyit. Seumur-umur, baru kali ini ia jadi sering mendengar kata 'kangen' terucap dari bibir Bara. "Anak-anak ga kangen."

"Mbujuk (Bohong)! Mana ada mereka ga kangen ...." Bara tersenyum miring, tak terpancing ucapan Agni.

"Mas maunya apa sih?" Suara Agni meninggi.

"Aku mau anak-anak. Titik!" ucap Bara tegas dan jelas.

"Mas ga berhak ngeklaim mereka anak Mas!" Agni mulai kesal. Saking jengkelnya, ia menutup mukanya dengan tangan.

Mobil akhirnya menepi dan perlahan berhenti. Bara memberi kesempatan Agni menangis dan setelah tenang ia membuka tangkupan tangan Agni. "Kenapa kamu bilang begitu? Tanpa sumbangsihku anak-anak ga bakal lahir. Aku juga membiayai mereka."

"Mana ada? Setelah kita cerai, aku taruh semua kartu dan buku rekening di laci lemari. Aku ga pernah ambil sepeser pun uang Mas Bara!" Agni memekik tak terkendali.

"Apa?" Bara kini yang linglung. "Tapi ... tapi ... selama ini aku tetep transfer kamu ... lima belas juta untuk kamu dan Mama." Bara meluruskan duduknya. Pandangannya nanar dengan kepala menggeleng berulang.

"Maaf, tapi aku ga pernah terima apalagi gunain uang Mas. Jadi, jangan pernah ngakuin Kembar anak Mas karena mereka aku besarkan dengan jerih payahku sendiri!" Agni hendak menarik handel pintu samping, tapi sayangnya pintu masih terkunci. "Sebaiknya aku turun di sini."

"Ni ...." Mata Bara terlihat berkaca. "Selama ini ... gimana kamu dan Kembar hidup?"

💕Dee_ane💕

Hai, aku datang lagi. Sori, selama ini aku tepar. Mau liat hape, tablet, apa laptop, ga nyaman. semoga kalian terhibur yak>.<

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top