2. Kejutan
Di sisi lain, udara kota Solo terasa begitu gerah ketika Bara Wisanggeni keluar dari gerbong eksekutif kereta Sancaka dari Surabaya Gubeng. Kalau bukan karena paksaan eyang kakungnya yang sudah berusia delapan puluh tujuh tahun untuk mencari mantan cucu menantunya, tentu ia tak akan menginjakkan kakinya lagi di kota di Jawa Tengah itu.
Sejujurnya Bara penasaran juga dengan kondisi Agni. Tujuh tahun tak bertemu, tentunya sudah banyak perubahan dalam hidup gadis kecil yang selalu menempel dengannya sejak lahir. Sekarang Agni mungkin sudah menjalin hubungan dengan laki-laki lain dan bisa saja gadis manja itu sudah menikah.
Tidak! Pasti Agni belum menikah sama sepertinya. Mereka belum mengurus anulasi sehingga secara hukum gereja mereka masih suami istri dan tidak bisa menikah di gereja Katolik dengan orang lain. Sebenarnya, sewaktu ia bercerai secara sipil, Cyra sudah mengingatkan untuk mengurus pembatalan pernikahan agar mereka benar-benar tak terikat. Namun, saat ia menghubungi Agni, gadis itu seperti hilang ditelan bumi sehingga proses anulasi pun tak bisa dilakukan.
Namun, tiba-tiba alisnya mengerut. Bagaimana kalau Agni mengubah agamanya dan ia kemudian bisa menikah lagi di KUA atau gereja lain? Bara menggeleng menepis pikiran anehnya. Tak mungkin Agni log out semudah itu karena mantan istrinya itu adalah aktivitis gereja dan Keluarga Mahasiswa Katolik di kampus.
Embusan napas kemudian terdengar kasar ketika kakinya menapaki peron stasiun. Bara bingung bagaimana harus bersikap ketika nanti harus bertemu dengan Agni. Apakah harus tersenyum, atau menyapa riang seolah tak terjadi sesuatu di antara mereka?
Tapi, bagaimana bisa Bara bersikap seolah tak terjadi sesuatu di antara mereka? Masih basah di ingatan Bara bagaimana ia telah mengambil keperawanan Agni pada bulan ketiga pernikahan mereka. Setelah kejadian itu, Bara seperti ketagihan untuk terus mencecap peluh dan madu yang menyembur dari relung tubuh gadis belia itu. Bahkan, sampai hari ini pun Agni selalu berhasil menjadi objek fantasinya walaupun ada Cyra yang selalu mendampinginya.
Lamunan Bara buyar ketika seseorang memanggilnya begitu ia keluar dari pintu kedatangan.
“Bro!” Laki-laki bertubuh kurus tinggi itu melambaikan tangannya.
Bara tersenyum melihat sahabat baik sewaktu kuliah sudah menjemputnya. Mereka berjabat tangan dan berpelukan erat karena memang sejak Bara menikah tujuh tahun lalu, mereka tak pernah bertemu.
“Piye, Cuk, kabare? Suwe ga pethuk, tambah ngganteng ae dapuranmu!” Walau lama di Yogya dan kemudian London, tetap saja Bara orang Surabaya. Mau sudah merasakan manisnya gudeg jogja sewaktu kuliah di jurusan arsitektur, atau udara dingin kota London, tetap saja bahasa medoknya tak luntur.
Tawa Jeremy mengudara. Hanya Jeremy, temannya dari suku Manggarai yang bisa menerima kebiasaannya berbicara logat Surabaya. “Darat!(1) Kamu tetap saja medok walau sudah minum air London!”
“Kaya koen (kamu) ga ae! Kamu sudah lama di daerah Jogja dan Solo, tetap saja ga bisa bahasa Jawa. Logatmu ya masih aja kentel daerah Indonesia Timur.” Bara menepuk lengan sahabatnya, masih memperhatikan paras Jeremy yang lebih terawat sejak menikah. “Ini oleh-oleh.” Bara mengulurkan kotak jinjing kepada Jeremy. Sahabatnya itu menerimanya dengan senyum semringah sambil mengucapkan terima kasih.
“Oh, ya, bagaimana soal tawaran investasiku itu? Ini proyek besar loh. Asli untung!” Jeremy mulai membuka topik yang pernah ia kemukakan saat Bara mengabari akan berkunjung ke Solo.
Bara mengerucutkan bibirnya dengan kernyitan alis. Ia masih mempertimbangkan tawaran investasi sebanyak lima ratus juta. Sebenarnya, ia masih mempunyai uang sebanyak itu dari hasil menabungnya selama tujuh tahun bekerja di Inggris. Hanya saja, ia kembali karena ingin memulai bisnis sendiri, atas dukungan Cyra yang akan membantunya. “Aku pelajari business plan yang kamu bikin dulu. Kamu tahu sendiri kan, aku mau startup usahaku sendiri.”
Jeremy mengangguk-angguk paham. “It’s okay. Kita makan dulu, habis itu aku antar ke hotel. Sambil ngobrol-ngobrol.”
Bara menyetujui usul Jeremy dan mengikuti sahabatnya itu menuju ke tempat mobil yang di parkir di sisi yang tak jauh dari beranda stasiun.
Sejurus kemudian, mobil SUV yang ditumpangi Bara sudah bergabung dengan kepadatan kota Solo. Bara takjub dengan perkembangan kota yang sering ia singgahi selama kuliah di Yogyakarta. Gedung bertingkat sudah bukan menjadi sesuatu yang asing seperti beberapa tahun lalu. Flyover juga ada di beberapa ruang jalan yang membuat kota ini benar-benar berbeda dari tujuh tahun yang lalu.
“Kamu rencana mau bikin startup di mana?” tanya Jeremy ketika mobil dihentikan lampu merah yang menyala.
“Surabaya-lah. Mau ke mana lagi?” Pandangan Bara memindai kepadatan jalan raya yang tak kalah dari Surabaya.
“Tidak mencoba di sini saja? Mantan istrimu kan di sini,” ledek Jeremy yang memang sudah tahu tentang maksud kedatangannya sejak awal. “Siapa tahu balikan?” Kedua alis lebar Jeremy naik turun.
“Balikan opone, Cuk! Tujuh tahun ini kami ga ada kontak.” Bara mendengkus mengingat nomor Agni tiba-tiba tidak aktif setelah perceraian. Seolah Agni hikang begitu saja ditelan bumi tanpa kabar berita setelah pergi dari rumah.
“Nomormu diblokir?” Jeremy memutar setir ke kiri saat berbelok ke jalan yang lebih sempit.
Bara hanya mengangkat bahu. “Udah ga usah ngomongin Agni." Tiap kali mengingat Agni, yang ada hanya sakit hati.
“Trus apa rencanamu selanjutnya?” Jeremy segera mengubah topik pembicaraan.
“Refreshing dulu setelah tujuh tahun kerja keras.” Bara menekan satu tombol AC lagi untuk menurunkan suhu dalam kabin yang masih terasa gerah.
“Kupikir kamu mau nikah sama yang baru.” Jeremy melirik Bara jahil.
“Kok bisa mikir gitu?”
“Ya, bagaimanapun kita laki-laki, Bar. Sudah pernah begituan, penginnya nambah,” sambung Jeremy.
Tawa Bara meledak. “Berarti koen nikah cuma demi halalin begituan?”
Gelak Jeremy ikut mengudara. “Kan ada pahalanya, Bar. Ibadah itu. Kamu tidak inginkah?” Jeremy menghidupkan lampu sein dan memperlambat laju mobil saat akan masuk ke halaman resto ikan goreng di daerah Manahan.
“Lihat saja nanti.” Hanya itu jawaban terbaik Bara. Ia masih belum memikirkan urusan romantisme karena harus fokus membangun usahanya dari nol.
“Bar, kalau memang kamu mau startup di sini, aku bakal bantu. Kita bisa kerja sama. Kebetulan link rekananku tidak cuma swasta tapi juga pemerintah kota dan kabupaten sekitar,” kata Jeremy bertepatan dengan suara peluit tukang parkir yang menandai mobil sudah terparkir dengan baik.
“Pemerintahan?” Bara mengernyit sambil melepas sabuk pengaman.
“Kita turun dulu. Aku ceritakan apa saja yang aku kerjakan dan kenapa aku milih tetap di Solo daripada balik ke Manggarai.”
***
Menjelang sore, Bara kembali ke luar hotel di pusat kota Solo menuju alamat yang diberikan Cyra dari anak buahnya yang merupakan teman angkatan Agni. Setelah dua puluh menit berada dalam taksi, sang sopir memberitahu bahwa mereka sudah sampai di tempat tujuan. Ia pun turun dari taksi selepas membayar secara cash dan mencangklong tas ranselnya kemudian menenteng satu kardus buah tangan yang ia beli di Pasar Genteng.
Begitu kakinya menapak aspal gang perkampungan padat penduduk itu, alisnya mengernyit menghalau silau matahari pukul tiga sore. Matanya menyipit menatap rumah yang digunakan sebagai warung makan di bagian depannya.
Bara mulai ragu dengan kevalidan alamat yang diberikan Cyra. Tidak lucu dia sudah jauh-jauh dari Surabaya ke Solo hanya untuk salah alamat. Akhirnya, Bara mendatangi pemilik warung lotek dan gado-gado yang sedang sibuk meracik bumbu kacang. “Permisi, Bu. Benar ini rumah Agni?”
Wanita itu menoleh sejenak sambil memotong kencur. “Mbak Agni? Rumahnya Mbak Agni nomor tujuh belas. Sini nomor tujuh.”
Setelah mengucapkan terima kasih, Bara segera meneruskan perjalanannya menuju nomor rumah yang disebutkan ibu tadi. Firasat Bara mulai tak nyaman. Dari awal ia sudah salah, bisa jadi akan ada kejutan yang lain.
Bara pun bergegas mencari rumah yang ternyata cukup dekat dari warung lotek tadi. Tak sampai 100 meter. Kebetulan pagar hitam terbuka dan di halaman seorang perempuan yang turun dari motor matiknya.
“Permisi, Mbak.”
Perempuan yang baru saja membuka helmnya itu berbalik dan seketika wajahnya memutih seperti melihat hantu. Tangan yang memegang helm itu terlepas hingga pelindung kepala itu terbanting ke lantai semen.
Tak hanya Agni yang terkejut. Bara pun melongo menatap gadis yang sangat ia kenal. Walau wajahnya tak banyak berubah, tapi tubuh Agni makin berisi dibalut celana kain hitam dan baju batik. Mata Bara yang terlindung kacamata berbingkai logam tipis itu mengerjap.
“Agni?” Tenggorokan Bara tercekat. Agni sangat berbeda dari bayangannya. Agni yang dulu terlihat manja dan rapuh. Tapi perempuan yang ada di hadapannya itu tampak tangguh dengan sorot mata yang dingin.
“Mas Bara?” Suara Agni terdengar ragu. Pasti ia lebih terkejut dari Bara karena tiba-tiba muncul setelah tujuh tahun tidak berkontak.
Bara menghirup udara dalam untuk mengisi rongga dadanya yang kembang kempis. Ada kerinduan, tapi juga sakit hati yang kembali bergejolak di batinnya. Walau jarak mereka hanya lima langkah, tapi kakinya terasa berat setiap mengayun, mendekat.
Keheningan menyergap. Hanya pandangan mereka yang terus beradu. Hingga akhirnya dentuman pintu terbuka yang disusul pekikan ceria, membuyarkan sunyi antara mereka.
“Mami pulang!”
Suara renyah anak-anak menghentikan langkah Bara. Bara menoleh mengikuti dua anak yang berlari dari arah pintu depan, menghambur memeluk Agni. Tubuh Bara seketika membeku. Jakunnya naik turun. Agni punya anak?
Tubuh Bara membeku memperhatikan interaksi Agni dan kedua anak itu.
“Mami mana oleh-olehnya? Mami sudah janji loh!” kata si anak perempuan.
Tatapan Agni terlihat tak fokus. Rona wajahnya memudar seolah ia tertangkap tangan sedang melakukan suatu dosa besar. Pandangan mereka sempat bersirobok tapi Agni cepat menggulirkan bola matanya ke arah lain.
Bara masih membisu, mencerna situasi. Tujuh tahun ini ternyata memang mengubah segalanya. Agni tak lagi sama. Ia sudah menjelma menjadi seorang ibu. Lalu anak siapa mereka?
Tak ingin bertanya-tanya, kaki Bara mengayun lebar mendekati Agni yang beringsut mundur. Gadis itu membungkuk, bercakap dengan anaknya lirih. Kedua anak itu menoleh ke arahnya, dan selanjutnya berlari ke dalam rumah.
Buru-buru Bara mencengkeram pergelangan tangan Agni. Mata dalamnya membulat dengan sorot tajam yang ingin menusuk kedalaman benak Agni. “Mereka anakmu? Siapa bapaknya?”
💕Dee_ane💕
[1] Darat : Ungkapan kagum atau kaget orang Manggarai, Flores
Jangan lupa jejak cintanya, yak.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top