19. Rawon Kenangan

Setelah visite dokter di pagi berikutnya, Agni sudah diperbolehkan pulang. Ia sudah sangat rindu dengan anak-anak walau baru berpisah hanya tiga hari saja.

Setibanya di rumah, anak-anak menyambut riang Agni yang masih memakai penyangga tangan. Kedua anak itu memeluk Agni dan menuntunnya duduk di sofa depan televisi.

"Mami sakit yang mana?" Raditya mengusap tangan Agni.

"Udah sembuh kok." Agni berdusta. Sebenarnya tangannya masih kaku dan tak nyaman.

"Masa?" Raina tak percaya. "Ini kok tangannya digendong? Nanti maemnya gimana?"

"Kan bisa kita suapin. Papi juga bisa suapin. Iya, kan, Pi?" Raditya meminta dukungan.

Belum sempat Bara membuka suara, Agni sudah menyahut. "Papi harus kerja lagi. Kan dua hari ini Papi ngurusin kalian."

"Tapi Papi bisa kerja di rumah kok, Mi." Raina mementahkan alasan Agni.

Akhirnya terpaksa Tante Mirna menengahi. "Iya. Papi harus kembali kerja. Ini mau pulang."

Jakun Bara naik turun. Pemilik rumah mengusirnya dengan halus. Ia ingin mendebat, tapi rasanya tak pantas melakukannya di depan anak-anak. "Iya. Papi ... harus pulang."

"Kita ikut pulang ke rumah Papi?" Raditya meloncat dari sofa.

"Kita? Kita siapa?" Alis Agni mengernyit, menatap berganti Raditya, Raina, dan Bara.

"Ya, kita. Kakak, Adek, Mami." Raina dengan centilnya menjelaskan sambil menghitung dengan jarinya.

"Ga! Rumah kita di sini!" Suara Agni mulai meninggi.

"Berarti ... Papi tinggal di sini dong?" Raditya mengomentari.

"Nggak!!" Agni memekik frustasi, menatap nyalang Bara. Ia pun bangkit dan berjalan menuju kamar. Sewaktu di ambang pintu, ia menoleh pada Bara dan dengan ketus berucap, "Aku mau ngomong!"

Agni berdiri membelakangi pintu. Bara masuk kemudian dan Agni pun menyuruh supaya menutup pintu. Wanita itu ingin melampiaskan kemarahan yang ia tahan dari beberapa hari lalu. Mungkin lebih tepatnya, beberapa tahun lalu.

"Opo'o?" Suara berat itu menggaung memecah bunyi detik jarum jam yang awalnya merajai kesunyian kamar.

"Habis ini, jauhi kehidupan kami!" Agni masih memunggungi Bara.

"Ga iso! Aku bisa jauhin kamu, tapi ga iso kalau aku jauhin anak-anak," jawab Bara kaku.

Agni membalikkan badan dengan napas memburu. Matanya menyipit memandang lurus Bara. "Koen iku janc*k tenan kok, Mas! Apa masih kurang bikin aku menderita?" desis Agni dengan rahang mengerat. Wajahnya sudah memerah karena amarahnya yang meletup berusaha ia tahan.

"Ni, please. Ojo koyo ngene! Kita ini orang tua Kembar. Seenggaknya walau kita pisah, kita kudu berelasi baik." Bara memegang lengan atas kirinya yang tak digendong.

"Ga iso!" Agni menepis kasar tangan Bara. "Ga bakalan aku biarin anak-anak deket sama bapaknya yang mempertanyakan mereka anak siapa." Jelas Agni sakit hati, ketika baru pertama bertemu setelah sekian lama, Bara menyangsikan anak-anak dari benih laki-laki itu sendiri.

Alis Bara mengernyit. "Wajar, 'kan? Kita pisah selama tujuh tahun."

"Mas pikir aku Mami Dilla?" Agni tak mampu lagi menahan diri. Panggilan yang tak boleh disebut, tersembur begitu saja di mulutnya. Ia tahu, Bara sangat membenci maminya karena berselingkuh dengan Om Ernan, mantan kekasih Mami. Namun, ia tak terima kalau disamakan dengan mami mertuanya.

Seketika bahu Bara naik turun. Wajah Bara berubah merah dan tegang. "Jangan sebut orang itu!"

"Kenapa memang? Ini mulutku!" Agni semakin menjadi-jadi. "Mami Dilla, Mami Dilla, Mami Dilla, Mami Dilla ...." Ia berulang kali menyebut nama itu walau sudah dilarang Bara.

Dan, detik berikutnya Bara mengayun kaki selangkah dan menarik lengan kiri wanita itu sehingga tubuh Agni menabrak dada bidang Bara. Dengan gerakan cepat, tangan kanan Bara sudah mengangkat dagu Agni sementara tangan kirinya merangkul pinggang ramping wanita itu. Dalam hitungan detik, pikiran Agni buyar. Bibir Bara tiba-tiba mendarat di bibirnya dan memagut dalam. Agni tak bisa berontak karena tubuhnya terkungkung dua lengan besar Bara hingga ketika nalarnya mulai kembali, ia menggigit bibir bawah pria itu.

Bara mengerang, melepas pagutannya. Ia mengusap bibir, dan matanya seketika membeliak melihat cairan merah di telapak ibu jarinya. "Ni ...."

"Mas lupa aku suka gigit?" Agni menutup bibirnya dengan lengan kiri. Kaki Agni mundur selangkah, menghindari Bara.

Bara tersenyum miring. "Ganas!"

"Babah (Masa bodoh)! Pelecehan tahu!" Agni tetap menyerocos menutupi jantungnya yang berdebar.

Bara tertawa ngakak. "Kamu ga inget kamu udah ngelecehin aku waktu mabuk?"

Pipi Agni memerah, ketika Bara mengingatkan peristiwa memalukan sepanjang hidupnya. Sampai bulan ketiga pernikahannya Bara tak pernah menyentuhnya. Waktu itu Agni tak sengaja meminum sake oleh-oleh dari Cyra. Hanya segelas saja, nalar Agni menguap. Ia melakukan hal yang tak pernah ia bayangkan saat dalam keadaan sadar. Alhasil, saat ia bangun di pagi harinya, pangkal pahanya nyeri, dan sprei biru muda yang menjadi penutup kasur terdapat darah yang cukup banyak seperti saat ia mengalami tembus sewaktu haid. Gara-gara darah itu, Bara membawanya ke rumah sakit karena dikira perdarahan pasca persatuan tubuh mereka.

"Aku ga inget! Bisa aja Mas yang ambil kesempatan." Agni mengelak, walau ingatannya sekilas tahu bahwa ia yang menyerang Bara dengan tak tahu malunya.

"Yo wes. Aku balik. Ndang istirahat." Bara akhirnya memutar tubuh.

Lagi-lagi laki-laki dewasa itu selalu mengalah saat diajak berdebat. Atau mungkin lebih tepatnya, Bara enggan berdebat dengan Agni.

Sepeninggalan Bara, tubuh Agni rasanya lemah seperti jeli. Ciuman dalam tak sampai sepuluh detik yang terjadi beberapa menit lalu mampu menghisap seluruh tenaga. "Kurang ajar! Aku ga bakal biarin Mas Bara seenaknya sendiri!"

***

Agni terpaksa harus beristirahat di rumah selama beberapa hari atas saran dokter. Karena Tante Mirna harus bekerja shift pagi di rumah sakit daerah untuk mengganti jadwal jaga saat mengurus Agni, maka ia pun tinggal di rumah sendiri.

Baru lima menit Tante Mirna dan anak-anak berangkat, ketukan pintu terdengar. Agni yang akan sarapan pun urung mengambil makanan dan meletakkan kembali piringnya, lalu segera membukakan pintu bagi yang mengetuk.

Wajah Agni langsung kusut saat mendapati Bara sudah ada di depan pintu. "Ngapain ke sini?" Agni melengos.

"Aku bawakan rawon." Bara menyodorkan rantang aluminium.

Dengan tangan kirinya, Agni menurunkan tangan Bara. "Tante Mirna udah masak."

Namun, Bara tak mengacuhkan Agni. Pria itu menyelonong masuk begitu saja ke dalam dan meletakkan rantang di atas meja makan. Saat Bara membuka tutup rantang, uap hangat menguarkan aroma rempah yang sangat Agni rindukan.

Rawon ....

Makanan khas Jawa Timur itu memang makanan kesukaan Agni. Minimal seminggu sekali, Mama pasti akan memasak rawon. Atau bila sakit, makanan ini akan menjadi comfort food-nya. Rawon selalu mengingatkan kenangan akan Mama dan sampai sekarang Agni belum menemukan rasa rawon yang sama dengan buatan Mama.

"Ayo, maem. Aku luwe."

"Kenyang!" Di saat lidahnya menggetarkan kata kebohongan, perutnyalah yang berkhianat. Suara keroncongan keras membuat Bara menoleh dan tersenyum tipis. Buru-buru Agni meremas perutnya, dan merutuki perutnya yang terlalu jujur.

Bara mengambil piring dan mengisi dengan satu setengah centong nasi. Persis seperti porsi yang biasa Agni santap. Sementara itu, Agni masih berdiri mematung memperhatikan gerak-gerik Bara. Mulai dari menambahkan kuah hitam itu dan memberi kecambah pendek segar. Susah payah Agni menelan ludahnya sendiri. Kelenjar ludahnya terstimulasi karena gurihnya aroma rawon yang ia hidu.

"Tambah sambal?"

Tanpa sadar Agni menggeleng. Ia merutuk, karena selalu saja Bara berhasil menaklukannya dengan iming-iming makanan. Kalau dulu es krim, sekarang ... rawon.

Agni duduk di salah satu bangku yang mengelilingi meja makan. Ia ingin mencicipi kuah rawon itu sebelum ditambahkan sambal.

"Aku suap?" Bara membelah telur asin dengan gagang sendok karena malas mengambil pisau.

"Ga usah."

Agni lalu mengambil sendok dan menyuapkan kuah di ujung sendok. Seketika matanya membulat. Rasa rawonnya persis buatan Mama. Bahkan Tante Mirna pun tak bisa memasak rawon yang rasanya seidentik buatan Mama seperti ini. Kalau tidak ingat Mama sudah meninggal, pasti ia berpikir Mama-lah yang memasak rawon ini. "Ini ... beli di mana?"

"Aku yang bikin. Sesuai resep Mama."

Agni mengerjap. Alisnya mengernyit. "Mas Bara masak?"

Bara berdeham, mengeruk isi setengah telur asin dan meletakkan di atas nasi. "Maem yang banyak. Biar cepet gede ... "

Agni melirik ke arah Bara dengan pandangan heran. Salah makan apa laki-laki ini? Namun, keheranannya lenyap, ketika ucapan Bara masih bersambung.

"... itunya." Bara menggerakkan dagu ke arah dadanya dengan wajah datar.

Seketika Agni memekik. "Mas Bara!!" Ia lupa Bara jago membuatnya kesal. Sewaktu kecil, bila Bara remaja yang biasanya dingin tiba-tiba mengganggunya, Agni bisa berteriak seperti yang biasa Raina lakukan. Seperti dulu, reaksi Bara sekarang pun masih sama. Tertawa ngakak seperti setan yang berhasil membuat manusia terjerumus dalam dosa. Hanya bila berhasil membuat Agni kesal saja, tawa Bara mengudara. Setelah itu, wajah Bara kembali kaku seperti papan.

"Adek bener-bener duplikatmu banget!" Bara kini bangkit dan mengambil nasi untuk dirinya. "Tukang nangis, nyokotan (suka gigit), dan teriak-teriak."

Agni mendengkus dan lebih memilih menikmati rawon yang sudah ia beri sambal. Paduan telur asin, tempe, dan kerupuk udang benar-benar menggoyang lidahnya.

"Enak?" Kedua alis Bara terangkat.

"'B' aja." Agni memelintir fakta.

Bara tersenyum tipis kemudian menuang kuah dan menambahkan kecambah. Awalnya hanya suara denting piring yang beradu dengan sendok yang merajai ruangan. Tapi, suara berat Bara sekonyong-konyong menepis kebisuan mereka. "Ni, maaf ...."

Agni seketika terbatuk. Ada angin apa Bara tiba-tiba minta maaf? Apa dia keracunan kluwek?

Bara buru-buru mengambilkan minum dan menyodorkan segelas air putih di hadapannya. Dengan waspada, Agni meneguknya sambil mengamati Bara. "Mas Bara ... sakit?"

Bara menelengkan kepala. Heran. "Ga."

Agni menggeleng. "Mas salah makan apa?" Ia masih tak percaya dengan Bara yang ada di hadapannya. Seingat Agni, Bara paling jarang mengucapkan salah satu kata sakti itu. "Mas Bara hari ini aneh."

"Opo'o se (Kenapa sih)?" Bara terdengar gusar.

"Lha moro-moro (tiba-tiba) masak rawon, trus bilang maaf. Kaya kesambet!"

Bara melengos. Tapi Agni bisa melihat pipi pria itu memerah. "Ya karena aku udah bikin kamu kaya gini gara-gara jemput Kembar ga ngomong-ngomong."

"Ah, itu ...." Terselip kekecewaan di batin Agni. Ia berharap Bara menyesal karena meninggalkannya tujuh tahun yang lalu. Menyesal dengan keputusannya. Tapi, Agni sadar, Bara tipe laki-laki keras yang susah digoyahkan prinsipnya. Pria itu mungkin tak menyesal telah menceraikannya. "Makanya Mas jauh-jauh dari kami. Biar ga bikin sial."

"Nanti setelah aku dapat hak asuh."

Jangkrik tenan wong sitok iki! (Jangkrik bener orang satu ini!) Mentolo (Sampai hati) tak pithes (dipencet pakai kuku jempol). Agni merutuk dengan dada kembang kempis. Nafsu makannya menguap begitu saja mendengar balasan Bara.

"Ngimpi!" Agni tak mau kalah dan berdiri begitu saja, meninggalkan Bara di ruang makan.

💕Dee_ane💕

Dee datang lagi! Ada yang nanyain ke mana diriku ga update-update nih. Makasih yang nungguin ceritaku. Yang ga sabar nunggu cerita ini, silakan baca dulu di KK.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top