18. Operasi

Keesokan paginya, Bara bangun kesiangan. Ia tidur setelah menyicil desain proyek pertamanya sampai pukul 01.00 dini hari. Namun, ia tak bisa langsung terlelap karena pertanyaan Raditya semalam berhasil mengganggu tidurnya. Akhirnya Bara terjaga pada pukul 06.00 padahal sekolah dimulai pada pukul 07.00. Walau sangat mengantuk karena malam sebelumnya pria itu juga sudah begadang menemani Jeremy yang membuat desain untuk proyek rumah sakit, tetap saja ia harus memaksakan diri untuk bangun.

“Papi, mana bekal Adek?” Raina mulai lagi kecerewetannya saat membantu Bara bersiap.

“Nanti beli aja.” Bara membetulkan kerah Raditya yang berdiri.

“Kepangan Adek gimana?” Raina menyodorkan sisir bulat bergambar The Little Mermaid.

Bara menatap rambut panjang Raina yang kusut masai. “Harus dikepang?”

“Iya. Dua. Biar cantik.” Raina bersikeras. “Telinga harus keliatan biar bisa dengerin Bunda.”

Bara melirik jam dinding. Sudah jam 06.30. “Kakak pakai sepatu sendiri ya. Papi kepangin Adek.”

Bara lalu menyisir rambut dengan round cushion brush dan segera membagi rambut Raina menjadi dua bagian di tengah. Dengan ketrampilan seadanya, Bara mengikat bagian rambut kiri di belakang telinga dan bergantian sisi lainnya.  “Gini aja ya?”

“Kok gini, Pi? Dikepang. Bukan dikucir.” Alis Raina mengerut.

“Papi belum bisa. Papi belajar dulu ya. Sekarang seperti ini dulu.”

Untungnya Raina bisa dibujuk sehingga mereka pun bisa berangkat. Tapi sebelum ke sekolah, mereka mampir ke minimarket dulu untuk membeli bekal dan sarapan ala kadarnya. Onigiri dan susu botol.

Bara bisa bernapas lega setelah melihat anak-anaknya berlari menuju halaman bertepatan dengan bel tanda masuk berbunyi. Belum ada sehari mengurus anak-anak badannya sudah sangat lelah. Namun, sekarang ia harus segera ke rumah sakit. Menurut kabar dari Tante Mirna pagi tadi, Agni akan dioperasi pada pukul 07.30.

Tak ingin menunda waktu, Bara lalu bergegas ke rumah sakit yang ditunjukkan Tante Mirna kemarin melalui petunjuk maps. Dalam waktu dua puluh menit, ia berhasil tiba di rumah sakit yang terletak di kabupaten di sebelah kota Solo.

Bara kembali menghubungi nomor Agni untuk menanyakan posisi mereka. Begitu mengetahui mereka ada di depan rumah operasi, ia lalu segera menyusul.

“Agni …?” Bara masih terengah.

“Udah masuk.” Wajah Tante Mirna masih kusut.

Bara ikut duduk di sebelah Tante Mirna. Ia menyeka wajahnya dengan sapu tangan. Tadi pagi ia tak sempat mandi karena terlalu terburu-buru.

“Anak-anak aman?”

“Aman, Tante. Tante tenang saja.” Bara akhirnya bisa mengatur napasnya. Rasa gerah sedikit berkurang ketika dinginnya AC ruangan menyapa tubuhnya.

Tante Mirna mengembuskan napas panjang sambil menyandarkan punggungnya. Bara melirik ke arah wanita yang begitu mirip dengan mama mertuanya. Kalau tidak tahu mamanya Agni punya kembaran identik dan sudah meninggal, pasti ia mengira wanita berbadan subur itu adalah mama mertuanya.

“Mas, selama ini, Tante kesel sama kamu karena ninggalin Agni dalam kondisi hamil.” Tante Mirna membuka suara. Kembali membahas topik yang membuat Bara merasa bersalah.

Bara menunduk, tak bisa berkelit. Memang ia yang memutuskan untuk menceraikan Agni.

“Kamu kok tegel to, Mas? Papanya Agni sudah percaya sama kamu. Kamu udah dianggep anaknya, bahkan dalam usia semuda Agni, Mas Arkan berani masrahin putrinya ke kamu buat kamu jaga … tapi kamu justru yang paling nyakitin Agni.” Walau suaranya pelan, Bara bisa menangkap dengan jelas.

Namun, Bara hanya diam. Ia justru heran kenapa Agni yang tersakiti karena perceraian yang ia putuskan justru lebih menyakitkan bagi Bara. Dialah yang disakiti karena pengkhianatan Agni di saat ia telah membuka hatinya sepenuhnya untuk gadis yang selama ini ia anggap anak kecil yang suka mengganggu.

Tante Mirna memutar tubuh dan meraih tangan Bara. “Mas, Tante minta tolong ya … jangan pisahin Agni sama anak-anaknya.”

Bara menatap genggaman tangan Tante Mirna. “Nte, saya ….”

“Agni … dia sempat ngalami baby blues ….” 

Bara mengernyit. “Baby blues?”

Tante Mirna mengangguk. “Siapa yang ndak bakalan tertekan di saat tahu hamil setelah ditinggal suami, lalu masih menyelesaikan skripsi? Bukan hanya itu … Kembar lahir prematur. Berat badan rendah hingga harus diinkubator.” Tante Mirna menjeda ucapannya. Matanya merah dan berkaca. “Dia berjuang sendiri membesarkan anak-anak. Kok bisa kamu mau ambil Kembar begitu saja?”

“Saya juga ayah kandung mereka, Nte.” Bara tak ingin mengalah. “Mereka juga butuh saya.”

“Agni emang ndak pernah cerita apapun sama Tante. Tapi, Tante ndak terima tiba-tiba kamu bawa Kembar tanpa sepengetahuan Agni.” Wajah Tante Mirna kini berubah kaku.

“Nte, walau kami pisah, kami tetap orang tua Kembar. Tapi saya mau hak asuh penuh buat Kembar.”

Mata Tante Mirna membeliak. “Hak asuh penuh? Kamu … mau hancurin Agni?”

“Tante, saya bisa menjamin hidup layak untuk mereka.” Bara meyakinkan. “Agni hanya perlu memikirkan masa depan dan kebahagiaannya sendiri.”

“Hidup layak? Di saat mereka kurang kasih sayang seorang ibu?” Tante Mirna menggeleng, menatap nyalang Bara. “Lagian Agni ga bakal bahagia pisah dari anak-anak.”

“Saya pindah ke Solo. Jadi, Agni bisa menjenguk Kembar lebih mudah,” jelas Bara. “Saya ndak rela ada laki-laki menjadi ayah Kembar.”

“Lalu apa Agni rela ada perempuan lain yang menggantikan posisi ibu buat anaknya?” balas Tante Mirna.

“Saya ndak akan menikah lagi.”

Tante Mirna mendengkus. “Pret! Omongan laki-laki ndak bisa dipercaya!”

“Omongan perempuan juga begitu,” sahut Bara kesal.

“Kamu datang memang bikin masalah, ya?” Tante Mirna mengacungkan telunjuknya di depan ujung hidung Bara. Raut ramahnya menguap begitu saja.

“Saya hanya ingin memberi yang terbaik buat anak-anak dan Agni,” kata Bara lirih.

“Kalau kamu memang kasih yang terbaik, biarkan Agni mengasuh anak-anak. Kamu bisa bebas menjenguknya. Ehm?” Alis Tante Mirna tertarik ke atas.

Bara membisu, menatap Tante Mirna. “Akan saya pikirkan.”

Tante Mirna menepuk bahu Bara. “Kamu percaya saja. Bagi Agni, kamu tetaplah papinya anak-anak. Ndak akan ada yang lain.”

“Cakra?” cicit Bara.

Tawa Tante Mirna mengudara. “Kamu cemburu?”

“Nggaklah, Nte. Agni kan emang deket sama Cakra dari dulu.” Bara mengelak.

“Iya. Agni deket. Tapi, dia cuma nganggep temen. Agni itu nolak terus lamaran Cakra. Padahal mamanya mau terima Agni yang janda dua anak. Tapi, Agni nolak.” Tante Mirna kemudian meluruskan kembali posisi duduknya. “Menurut Tante, Agni itu masih cinta sama kamu. Wong kata mamanya saja, dari kecil dia sudah ngidolain kamu.”

Bara berdecak. Memang sejak kecil, Agni selalu bilang ingin jadi istri Bara, dan Bara hanya menganggapnya omongan melantur anak kecil. “Itu kan pas kecil, Tante.” Bara memijat tengkuknya.

“Walau kalian pisah, pesan Tante … jangan nyakitin Agni lagi dengan ngambil anaknya. Kalau sampai itu terjadi, kami bakal lawan.”

***

Akhirnya operasi berakhir pada pukul 09.30. Namun, Agni tak langsung dipindahkan ke ruang rawat inap karena masih harus diobservasi ke recovery room. Berhubung Tante Mirna harus mempersiapkan untuk keberangkatan pelatihan, ia pun meminta Bara menunggu Agni sementara ia tak ada.

Agni sudah setengah sadar, saat perawat memindahkan ke ruang rawat inap. Wanita itu tampak gelisah dan tak nyaman.

“Istri saya kenapa ini, Sus?” tanya Bara cemas melihat kepala Agni bergerak ke kanan kiri.

“Ga papa, Pak. Itu karena efek pembiusan yang belum sepenuhnya hilang.” Perawat wanita itu lalu keluar dari ruangan rawat inap.

Bara berdiri terpaku di sebelah brankar, menatap Agni prihatin. Ia merasa bersalah karena sudah membuat Agni kecelakaan. Seandainya ia memberi tahu wanita itu kalau ia akan menjemput anak-anak, pasti Agni tidak akan kalut. Namun, nasi sudah menjadi bubur. Semua telah terjadi, dan sekarang ia harus bertanggung jawab atas kesalahannya.

Bara kembali menghampiri Agni yang tergolek gelisah di ranjang pasien. Sesekali wanita itu mengerang. Pria itu lalu mengusap kepala Agni, berharap bisa meredam nyeri.

Namun, mata Agni tiba-tiba terbuka. Tatapan mereka bersirobok sambil terkekeh.

“Mas Bara ….” Agni mengangkat tangan kirinya, mengusap wajah yang mulai tumbuh rambut halus di dagu.

“Opo, Ni? Ini aku.” Bara menggenggam tangan Agni yang mengusap pipinya.

“Mas Bara … sakit ….” Agni mulai
mewek. Setitik air menggenang di pelupuk matanya.

“Mana yang sakit?” Bara semakin membungkuk.

Agni menunjuk tengah dadanya, alih-alih bahu kanannya. “Sakitnya … di sini. Sakit banget!” Tangis Agni pecah lalu tangan mungil itu menampar Bara.

Bara membeliak. Matanya mengerjap.

“Mas jahat! Jahat banget!” Agni menangis lagi. “Tapi kangen ….”

Bara mengernyit, dan semakin membungkuk. “Kangen siapa?”

“Kangen sayangkuuuuu, cintaku, honey bodyku ….” Agni malah bersenandung tak jelas.

Bibir Bara tersenyum miring, mendengar racauan tak jelas Agni. Ia menyentil dahi Agni, menatap setiap detail wajah tirus perempuan yang pernah ia nikahi. Bibir itu pernah ia kecup dan menjadi candu baginya. Saat tangan Bara terulur ke pipi Agni, detik berikutnya, derik pintu menggaung.

Bara kembali menegakkan tubuh dan menoleh. Ia mendapati Cakra masuk dan menghampiri mereka.

“Mas Bara kok di sini?” Cakra celingak-celinguk. “Tante Mirna?”

“Buat jaga Agni.” Bara berdiri menghalangi Cakra mendekati. “Tante Mirna ada perlu.”

Cakra mendengkus kasar sambil meletakkan puding kesukaan Agni ke atas meja. “Yo opo kabare Agni?”

“Baik.”

Cakra hendak mendekat, dan lagi-lagi Bara menghalangi. “Bisa minggir?”

“Ga!”

“C*k! Koen juga bukan siapa-siapanya Agni,” jawab Cakra santai.

“Seenggaknya selama kami masih belum anulasi, Agni masih jadi istriku.” Bara menatap Cakra tak berkedip.

Wajah Cakra memerah dan entah kenapa Bara ingin bersorak karena memenangkan debat ini. Sampai akhirnya Cakra mengembuskan napas panjang, memilih mengalah. “Ya sudah aku balik. Aku cuma pengin ngerti kabare Agni. Jangan diapa-apain pas Agni ga sadar!”

Bara tersenyum miring, melirik Cakra. “Kamu tenang aja, Bro! Dari dulu sebenarnya dia akan baik-baik aja kalau ga diganggu kamu.” Ia menepuk bahu kiri Cakra.

Cakra mencibir ucapan Bara dan menepis tangan pria itu, lantas pergi ke luar ruangan. Begitu Cakra sudah tak ada di ruangan, Bara kembali duduk di sebelah brankar, mengamati Agni yang sudah tenang.

“Dari dulu aku ga yakin kalau kamu bisa naik motor, Ni.” Bara menyibak anak rambut yang menutupi pipi ke samping. Ia teringat selalu melarang Agni naik motor sehingga lebih memilih mengantar jemput ke kampus. “Ni, aku pikir dengan ngelepas kamu, kamu bisa bahagia sama Cakra. Tapi sampai sekarang kamu masih sendiri. Apa keputusanku dulu keliru?”

💕Dee_ane💕

Bara dan Agni datang lagi. Semoga terhibur di akhir minggu ini. Yang mau baca duluan, silakan merapat ke KK. Yang di sini, pastikan sabar ngikutin terus pas on going karena bakal diunggah sampe tamat.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top