16. Family Time
Sebulan tak bertemu dengan anak-anak membuat kerinduan Bara tak terbendung lagi. Ia pun memutuskan untuk segera mengurus persiapan perpindahannya ke Solo dalam rangka memulai usahanya. Bara pikir, bila menerima tawaran proyek Jeremy, Bara bisa sering bertemu dengan Kembar. Selain itu, ia juga bisa melaksanakan titah Om Arkan untuk menjaga Agni yang sepertinya tak perlu ia jaga karena Agni sudah terlihat mandiri dan lebih dewasa.
Selama ini Bara berpikir Agni masihlah gadis muda yang tak mudah bergaul dan canggung. Nyatanya sekarang, Agni berdiri di depannya dengan balutan seragam ASN khaki yang mencetak lekuk tubuh yang lebih berisi daripada saat masih gadis perawan. Jelas Bara kaget dan tak menyangka akan bertemu Agni di tempat kerjanya. Ia tak pernah tahu di mana Agni bekerja karena tak pernah bertanya. Bara hanya tahu dari celotehan Raina kalau maminya sering pulang malam kalau ada pekerjaan di puskesmas.
Selepas survey lokasi sekaligus perkenalan dengan kepala di puskesmas yang ternyata menjadi tempat Agni bekerja, ia memilih segera pulang ke rumah yang sudah ia beli beberapa hari lalu untuk menyiapkan rancangan anggaran sekaligus desainnya. Melihat hujan turun semakin lebat dan seperti Agni masih di kantor, ia pun memutuskan untuk menjemput Kembar. Kata Jeremy, Renza akan pulang jam sebelas.
Tak sampai tiga puluh menit, Bara sudah memarkir kendaraan di bahu jalan depan sekolah Kembar. Ia lantas mengambil payung dan segera turun untuk menjemput Raditya dan Raina. Kondisi hujan membuat anak-anak tak bisa bermain di halaman. Maka, Bara pun masuk ke area sekolah dan mendapati Raditya serta Raina sedang bermain dengan teman-temannya di serambi.
"Kak, Dek!"
Dua anak itu menoleh dan seketika senyum mereka terurai. "Papi!" jawab mereka serentak seolah dikomando. Mereka mencangklong tas dan segera berlari mendapati Bara yang ada di undakan.
Bara mengambil alih tas Raina, lalu menggendong anak perempuannya. "Kakak jalan di kiri. Pegangan baju Papi, ya?"
Raditya menurut. Mereka pun berjalan menuju mobil dengan payung yang lebih menaungi dua anak itu dan membiarkan bahu Bara basah.
"Pi, kita makan dulu yuk," ajak Raditya begitu masuk ke dalam mobil. Ia lalu mengambil gawai Bara yang tergeletak di dekat persneling.
"Boleh. Makan di mana?" Bara memutar setir setelah mesin menyala.
"Adek pengin maen di mall, Pi. Boleh?" Raina memohon dengan kedua tangan tertangkup.
Bara melirik anak perempuannya. Wajah Raina begitu menggemaskan sehingga tak bisa ditolak Bara. "Oke. Kita sekalian makan di sana aja."
Sepanjang perjalanan, seluruh kabin diriuhkan celotehan Raina. Raditya yang lebih memilih bermain gim di gawai Bara, sesekali menimpali Raina. Beberapa saat kemudian tibalah mereka di mall yang ada di pinggiran kota Solo. Raditya langsung meloncat turun dari kabin belakang dengan gawai Bara di tangannya.
"No HP. Sekarang saatnya family time." Terpaksa Bara menaruh gawainya di laci dashboard mobil karena tak ingin fokus Raditya tertuju pada HP. Kalau dibawa, pasti Raditya merengek minta bermain gim atau anak laki-laki kecil itu akan sibuk sendiri menggulirkan layar gawai untuk melihat video short di youtube. Ia ingin menikmati hari bersama anak-anak tanpa gadget.
Mereka pun segera masuk ke mall melalui pintu masuk parkir basement. Bara yang menggandeng dua anak-Raina di kanan dan Raditya di sebelah kiri-selalu menjadi pusat perhatian orang-orang yang berpapasan dengan mereka. Bara yang tak suka diperhatikan, memutuskan mengajak anak-anak makan terlebih dahulu di resto yang ditunjukkan Raditya sambil bercakap-cakap untuk melepas merindu.
"Papi, Papi ... Adek seneng banget Papi yang jemput." Wajah Raina terlihat berseri dengan senyum lebar yang menggemaskan. Ia menyeruput es jeruk yang ia pesan.
"Boleh. Besok Papi jemput lagi." Bara menggeser barang-barang di atas meja bertepatan dengan makanan yang dipesan diantar ke meja mereka.
"Asyik!!" Raditya dan Raina bersorak bersamaan. Walau berbeda gender, tapi wajah mereka terlihat identik. Andai saja rambut Raditya dibiarkan panjang, pasti ia akan mirip Raina.
"Pi, suapin ya?" Raina mendorong piring berisi mie goreng seafood ke depan Bara.
"Adek kan sudah besar."
Bibir Raina mencebik dengan tangan bersedekap. "Padahal kalau makan bareng Daddy, Daddy juga suapin."
Telinga Bara memerah mendengar kata 'Daddy'. "Adek, Kakak, sekarang kalian udah ada Papi, ga boleh nyebut orang lain 'Daddy'."
Raditya meneleng. "Orang lain? Dad ... Om Cakra bukan orang lain, Pi. Dia ngasih Kakak sama Adek mainan. Kadang kasih uang saku."
"Om Cakra juga sering nemenin Mami kalau Adek sama Kakak sakit." Raina menimpali. "Adek pikir ... Om Cakra itu Papi."
Batin Bara tercubit. Darahnya seketika mendidih. Sebegitu dekatnya Agni dan Cakra saat mereka berpisah tujuh tahun ini? Kalau tidak ada tes DNA, jangan heran kalau ia akan mengira Kembar anak Cakra.
Bara lantas mengulurkan tangannya dan menggenggam tangan kecil Si Kembar. "Sekarang ada Papi. Kalian bisa minta apapun ke Papi dan Papi akan kasih semuanya ke kalian."
"HP?" Raditya mengerjap.
Alis kanan Bara terangkat satu. "Tanya dulu Mami, boleh apa ga?"
"Jelas Mami ndak boleh, Pi! Mami pelit!" keluh Raditya.
Bara tersenyum tipis. Mungkin bukan pelit. Agni pasti harus mengatur keuangannya agar bisa cukup dengan gaji ASN-nya.
"Pi, suapin," rengek Raina. "Kemarin habis outing Adek udah makan sendiri."
Bara akhirnya hanya bisa menyemburkan napas pelan. Begini rasanya punya anak? Ketika lapar, ada anak yang minta disuapi lebih dulu.
"Pi, boleh ya, HP?" Raditya masih tetap meneruskan topik yang sama.
"Kak, Papi bisa beliin. Tapi sekarang Kakak belum perlu. Nanti, ya? Kakak bisa minta buku, mainan, atau apapun asal bukan HP." Bara teringat keluhan Jeremy karena anaknya sekarang suka menonton youtube di HP gara-gara sering bersama pengasuh di rumahnya. Jelas Bara tak ingin Raditya mengalami hal yang sama. "Ayo, kita doa. Habis itu makan."
Terpaksa Bara membiarkan makanan untuk menyuapi gadis kecilnya terlebih dulu. Saat ia akan memasukkan suapan pertama, Raina mendorong tangan Bara.
"Panas, Pi! Banyak banget! Mulut Adek ndak cukup." Suara Raina yang melengking berhasil membuat orang-orang di meja yang lain menoleh ke arah mereka.
Pipi Bara seketika memerah dan kepalanya menunduk. Ia mendesis. "Adek ndak usah teriak."
"Habis Papi kasih makanan masih panas." Raina tak mau disalahkan.
Bara mengalah, lantas mengurangi jumlah tumpukan mie dan meniupkan udara untuk mengurangi suhu makanan. "Ini udah hangat. Aaaaa."
Mulut kecil Raina terbuka seiring mulut Bara yang tak disadari juga terbuka. Ia memasukkan satu suapan yang membuat pipi Raina menggelembung.
Akhirnya, ada kesempatan bagi Bara untuk memasukkan nasi goreng ke dalam mulutnya sendiri. Raina baru satu suapan, Bara sudah menyuapkan lima sendok nasi ke dalam mulutnya. Ia juga sangat lapar karena pagi tadi, perutnya hanya diisi roti dan kopi yang ia beli dari minimarket dekat rumah.
"Papi nanti tidur di rumah?" Pertanyaan klasik Raditya yang sedang mengunyah chicken katsunya kembali terlontar.
"Rumah ...." Bara mengernyit, melirik Raditya dan Raina bergantian.
"Asyik, Papi tidur di rumah!" Raina berseru, mengangkat kedua tangannya.
"Ah, Papi juga ada rumah di sini kok." Bara mengoreksi.
"Betul?" Makanan di mulut Raditya menyembur. Matanya berkilat dengan sorot suka cita. "Berarti kita pindah dari rumah Oma?"
"Iya. Sabar. Nanti kalian bakal tinggal sama Papi." Bara menyodorkan sendok berisi mie goreng seafood kesukaan Raina.
"Lha Mami?"
Pertanyaan Raditya membuat Bara tertegun. Jelas mami Kembar tak akan tinggal bersama mereka karena ia dan Agni sudah bercerai dan tinggal menunggu proses anulasi. "Mami kan tinggal sama Oma. Nanti siapa yang nemani Oma?" Bara kembali mengarahkan sendok ke mulut Raina.
Alih-alih membuka mulut, gadis kecil itu melengos dan membuka suara. "Kenapa Papi ndak tinggal di rumah Oma? Kasihan kalau Mami dan Oma ditinggal."
"Iya, Pi. Oma juga bilang, pas kita ke Surabaya rumah sepi. Oma jadi kesepian." Raditya menambahi.
"Ya, nanti kan bisa kita ngunjungi Oma sama Mami." Bara akhirnya bisa memasukkan satu suapan lagi ke mulut Raina.
"Adek ndak bisa tidur kalau ndak elus kaki Mami loh, Pi." Raditya mengingatkan kebiasaan kembarannya.
Alis Bara mengernyit. Kebiasaan Raina persis Agni kecil yang suka mengelus kaki mamanya dan saat pertama kali dititipkan ke rumah Yangkung, kaki Bara yang jadi korban. "Memang kenapa harus elus kaki Mami?"
"Bulu kaki Mami halus. Adek suka."
Raditya menggeleng dengan pandangan prihatin ke kembaran. "Adek, Adek ...."
"Halah, Kakak juga baru bisa bobok setelah digarukin punggungnya sama Mami." Raina tak mau kalah.
Bibir Bara mengerucut. Kebiasaan anak-anaknya cukup aneh. Pasti Agni kewalahan karena harus mengurus dua anak pada waktu yang bersamaan tanpa suami. Baru urusan makan seperti ini saja, Bara harus makan langsung telan, bagaimana urusan yang lain saat anak-anak ini masih balita?
"Papi, eek," kata Raina tiba-tiba.
Susah payah Bara menelan makanannya. Buang air besar di saat makan? Padahal nasi gorengnya masih tersisa di piring. "Bentar ya, Dek. Papi habiskan-"
"Udah kebelet. Nanti eek di celana loh, Pi!" Lagi-lagi suara Raina benar-benar tidak bisa dikondisikan. Bara sampai harus membungkuk ke orang-orang yang ada di sekitarnya, meminta permakluman.
Sial! Bara merutuk dalam hati. Ia yang masih belum kenyang terpaksa bangkit dan mengangkat Raina, meninggalkan makanan yang tinggal seperempat. "Kakak di sini?"
"Ikut, Pi. Kakak kenyang."
Bara menatap nasi goreng dan mie goreng sisa Raina yang rencananya ingin ia habiskan. Namun, karena tak ada yang menunggu meja terpaksa ia merelakan makanan itu.
"Ayo, Pi!" Raina menepuk pundak Bara sehingga mau tak mau Bara segera keluar dari resto dan berjalan dengan langkah lebar sambil menggandeng Raditya menuju ke toilet.
Sesampainya di depan toilet, Bara berhenti sejenak. Ia bingung. Raina perempuan, tapi ia laki-laki. "Adek bisa eek sendiri?"
Raina menggeleng dengan wajah pucat menahan dorongan di saluran pencernaannya. Maka dengan terpaksa, Bara memutuskan untuk masuk ke toilet pria. Saat ia masuk, beberapa orang yang berdiri di depan urinoar menoleh. Ia tak menghiraukan dan masuk di salah satu bilik. Setelah membantu melepas rok dan celana dalam putrinya, ia mendudukkan Raina di atas kloset.
Bau busuk menguar di ruangan sempit itu. Bara mengerutkan hidung mancungnya dan menutup dengan lengan kirinya, sementara tangan kanannya masih dipegang erat Raina.
"Udah, Pi. Cebok."
Baru kali ini sepanjang hidup, ia membersihkan pantat anak-anak bekas BAB. Biasanya ia jijik. Namun, sekarang perasaan itu tak ada. Setelah menyemprot dengan selang air, ia pun membersihkan kulit Raina yang lembut.
Bara bisa bernapas lega saat keluar dari bilik. Baru satu hari saja bersama anak-anak, energi Bara sudah terkuras. Bagaimana dengan Agni yang mengandung, melahirkan, dan membesarkan mereka selama ini seorang diri?
Setelah puas bermain dan menonton film hingga sore, Bara memutuskan untuk mengajak pulang anak-anak. Saat mereka tiba di rumah, suasana rumah terlihat sepi dan gelap. Bara melirik jam analog di pergelangan tangannya. Waktu sudah menunjukkan pukul enam.
"Mami belum pulang?" tanya Bara heran saat mereka masuk menggunakan kunci yang ditaruh di tempat rahasia mereka. Ia menekan saklar lampu teras dan lampu tengah.
"Ndak tahu, Pi. Biasanya pulang siang," jawab Raditya.
Bara lantas ke mobil untuk mengambil gawai. Saat membuka, ada banyak notifikasi panggilan tak terjawab dan pesan masuk.
[Kembalikan anak-anakku!]
12.15
[Jahat! Kenapa Mas mau ngerampas mereka?]
12.16
[Mas di mana? Aku jemput anak-anak.]
12.18
Bara lantas mencoba menghubungi Agni untuk memberi tahu bahwa Kembar sudah sampai di rumah. Alih-alih suara Agni yang terdengar, suara Tante Mirna yang melengking yang keluar dari speakernya. "Bara! Kamu di mana?"
"Saya di rumah, Nte. Baru pulang sama anak-anak."
Dan panggilan terputus sepihak. Bara mengernyit. Ia tak punya nomor Tante Mirna. Jelas-jelas sekarang ia menelepon Agni. Tapi kenapa nada Tante Mirna marah?
Bara kembali lagi masuk ke rumah dan membantu anak-anak untuk mandi. Setidaknya ia harus bisa menunjukkan ke Agni, anak-anak terjaga bersamanya.
"Pi, laper. Pengin ceplok." Raditya mengelus perutnya.
Kebetulan Bara juga lapar. Ia pun setuju membuatkan anak-anak nasi goreng irisan bakso dengan telur ceplok. Untungnya ketrampilan memasaknya selama tinggal di Inggris semakin terasah. Walau termasuk pemakan segala, ia tetap menyukai makanan Indonesia yang akhirnya memaksa Bara untuk terjun ke dapur.
Bertepatan dengan nasi goreng tersaji, Tante Mirna datang. Wajahnya sudah sangat tegang dengan napas memburu. Bara tersenyum menyapanya tapi tak ditanggapi oleh wanita paruh baya itu.
Tante Mirna berjalan menghampiri cucu-cucunya. Sambil membungkuk dan mengusap kepala Kembar, ia berkata, "Kakak sama Adek makan dulu ya. Oma mau ngobrol sama ...." Pandangannya nyalang menatap Bara. "Papi."
Kedua anak itu menurut. Tante Mirna lantas menegakkan tubuh dan meminta Bara mengikutinya ke kamar dengan gerakan kepalanya. Begitu Bara masuk ke kamar dan Tante Mirna menutup pintu, tangan Tante Mirna melayang ke pipi Bara.
Saking kerasnya tamparan Tante Mirna, kepala Bara sampai menoleh ke kanan. Pipinya panas. Belum sempat ia protes, Tante Mirna sudah menyergah keras. "Jauhi anak-anak dan Agni! Kamu sudah membuat keponakanku menderita!"
💕Dee_ane💕
Agni, Bara, dan Kembar datang lagi. Di KK udah banyak ya partnya. Silakan mampir ke sana yang mau baca duluan. Yang di sini, kek biasanya kasih jejaknya yak.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top