15. Rekanan Baru

Sebulan sejak kepulangan mereka dari Surabaya, Kembar dan Bara hanya berkomunikasi dengan melalui video call. Pria itu tak lagi datang ke Solo dan menyinggung perihal anulasi yang ditangguhkan Romo Mangun. Penangguhan dan hilangnya Bara itu membuat Agni tak tenang. Ia ingin masalah Bara cepat selesai dan ia bisa hidup damai bersama anak-anaknya.

Walau Agni mempunyai kekhawatiran besar dalam hatinya, tetap saja roda kehidupannya tetap bergulir. Ia masih harus bekerja untuk menghidupi dirinya.

“Mbak, dipanggil Pak Kepala,” kata Ria yang baru masuk ke ruangannya sambil membawa rujak buah.

Sudah menjadi kebiasaan, ia sering dipanggil Kepala Puskesmas karena urusan keuangan. Terlebih baru sebulan ini kepala puskesmasnya baru menjabat di tempatnya bekerja. “Ada apa?”

“Ada rekanan. Mas Taufik rapat ke dinas. Jadi, Pak Kapus minta Mbak yang ke sana.”

Tak ingin membuat kepala puskesmasnya menunggu lama, ia pun beranjak dari duduknya dan segera bergegas menuju ruang kepala sambil membawa tabletnya.

Awalnya, Agni tak punya prasangka apapun. Ia hanya berpikir, dokter William akan memastikan anggaran yang akan digunakan untuk belanja modal. Namun, wanita berseragam khaki itu salah. Saat ia membuka daun pintu, seketika tubuhnya membeku ketika melihat dua tamu yang sangat ia kenal. Jeremy dan ….

Bara.

“Ini Mbak Agni, bendahara di puskesmas kami.”

Perkenalan dokter William membuat Agni terkesiap. Tak hanya Agni, sepertinya Bara juga sama kagetnya. Memang Agni tak pernah membicarakan hal detail terkait pekerjaannya dan sepertinya Bara tak peduli. Namun, secepat mungkin keduanya sama-sama menutupi keterkejutan mereka.

Bara dan Jeremy berdiri. Seperti orang asing mereka saling berjabat tangan sambil diperkenalkan dokter William. Agni lalu duduk di sofa di dekat Bara. Ia memandang lurus ke arah kepala puskesmasnya yang berbicara panjang lebar tanpa ada satu pun kata yang tertangkap otaknya. Ia masih heran kenapa tiba-tiba ada Bara duduk di kantornya dan diperkenalkan sebagai rekanan konstruksi yang baru.

“Mbak Agni, kok malah ngelamun ki piye to?”

Agni terperanjat. Pipinya memerah. “I, iya, Pak Dokter. Gimana?”

“Mbak Agni grogi ketemu Pak Bara, Pak.” Jeremy berseloroh.

Agni melirik sahabat Bara yang sifatnya bertolak belakang dengan Bara yang kaku.

“Hahaha, Mbak Agni ini kebetulan single. Janda muda,” komentar dokter William.

“Wah, kebetulan. Sahabat saja ini Duren Mateng. Duda keren, mapan, dan ganteng.” Jeremy mencubit dagu Bara yang kemudian langsung dihadiahi sikutan.

Tawa dokter berusia lima puluh tahun itu mengudara, yang disambut dehaman Agni.

“Dok, maaf tadi Dokter ngersake (menginginkan) apa?” Agni menyudahi kelakar Jeremy yang menurutnya tak lucu sama sekali.

“Oh, itu. Anggaran untuk belanja modal pagar keliling puskesmas sama rehab ruang rawat inap.” Dokter Willian kemudian pada topik semula.

Agni membuka catatan di tabletnya. “Untuk gerbang kita ada anggaran seratus lima puluh juta. Jadi, untuk pengadaannya bisa melalui pengadaan langsung. Dan, untuk rehab bangunan, anggaran kita tujuh puluh lima juta.”

“Kira-kira gimana Pak Bara?” tanya dokter Willam.

Agni mengernyit, melirik Bara. Rupanya rekanan yang dipercaya dokter William adalah Jeremy dan karena proyek perusahaannya masih overload, maka Jeremy merekomendasikan Bara untuk mengambil alih proyek ini.

“Bisa, Dok. Nanti saya buatkan penawarannya sekalian desain yang Pak Dokter inginkan.”

Agni semakin tak nyaman. Bagaimana bisa dunia begitu sempit sehingga Bara tiba-tiba ada di Solo … di kantornya … dan menjadi rekanan instansi yang pasti akan membuatnya sering bertemu dengan laki-laki itu?

Sebelum pertemuan berakhir, gawai Agni bergetar. Agni membuka dan mendapati pesan dari ‘Papi Kembar’ muncul di layar.

[Ni, aku mau ngomong habis ini.]

Agni melirik Bara yang terlihat bercakap menjawab pertanyaan dokter William. Dengan gerakan cepat jempol tangannya, Agni mengetikkan balasan.

[Sibuk]

Agni pikir, Bara akan menyerah. Nyatanya, laki-laki itu justru meminta seorang teman kantor Agni untuk memanggil wanita itu.

“Dicari tamu yang tadi?” Agni yang baru saja meletakkan tablet di atas meja kerjanya mengernyit.

“Iya. Ditunggu tuh di serambi depan.” Viska, petugas promosi kesehatan yang terkenal supel mengerjap. “Siapa, Best? Ganteng loh ….”

Agni tak menggubris. Ia tak ingin rumor tak jelas berembus gara-gara Bara. Cukuplah gosip dirinya dengan Cakra yang selama ini sering menjadi narasumber pelatihan bidan di puskesmas yang menerpa Agni. Jangan ada kabar miring lain yang membuat ia dicap janda muda gatel yang haus belaian.

Agni akhirnya terpaksa mendatangi Bara yang berdiri bersandar di pilar serambi depan gedung admintrasi. Ia berdeham sambil bersedekap hingga Bara berbalik.

“Ada apa?” tanya Agni.

“Ga nyongko kamu kerja di sini.”

Agni melengos menatap lurus jalanan depan puskesmas yang ramai. “Trus?”

“Nanti kita bakal sering ketemu.” Bara tersenyum miring.

“Mas, maksud Mas apa tiba-tiba datang ke Solo?” Agni sudah tidak bisa menahan diri lagi. “Trus … jadi rekanan—”

“Aku mau dekat sama anak-anak. Sambil nunggu proses anulasi,” sahut Bara, merogoh kantung celana dan mengeluarkan kotak rokok. Belum sempat mengeluarkan, Agni sudah merebutnya.

“Dilarang merokok di area ini.” Agni menggenggam rokok Bara sambil menggerakkan dagu ke arah tulisan MMT larangan merokok yang tertempel di salah satu sisi dinding.

Bara mengurut arah pandang Agni. “Ah ….” Ia mengangguk-angguk.

“Aku kan dah bilang sama Mas Bara berulang kali. Jangan ganggu hidup kami!”

“Aku ga bakal ganggu uripmu. Aku cuma mau jadi bagian hidup anak-anak,” jawab Bara enteng.

Agni meremas kuat kotak rokok Bara hingga tangannya bergetar. Tatapannya nyalang tertuju pada Bara yang juga memandangnya intens. Namun, Agni berusaha tenang. “Jangan harap Mas bisa ambil anak-anak dari aku!”

Namun, belum sempat Bara membalas, rintik hujan mulai turun. “Aku balik. Keburu hujan.” Sesudah itu Bara memutar tubuhnya dan berlari menuju mobil SUV hitam yang terparkir di halaman.

Sewaktu Agni kembali ke ruangannya, ternyata Viska masih ada di sana. CCTV-girl itu duduk di belakang salah satu meja yang kosong sambil sibuk mengunyah lanting. “Cie … siapa tuh?”

“Opo se?” Agni tak nyaman, duduk begitu saja di kursi kerjanya.

Viska, karyawan yang paling tahu kejadian di setiap sudut puskesmas seperti CCTV itu menatapnya dengan mata menyipit.

“Om-om ngganteng.” Viska terkikik, diikuti Ria. “Itu rekanan baru?”

Agni berdeham, tak memedulikan Viska.

“Lain banget sama Pak Henru ya, Mbak? Kalau yang sekarang macem CEO-CEO di short drama china itu.” Ria menimpali. “Tinggi, rambutnya klimis, alisnya lebat.”

Viska terkekeh. “Makanya, bestiku ini langsung PDKT.” Viska mulai memancing.

“Please, ini kan urusan kerjaan,” jawab Agni ingin menyudahi topik itu.

“Tapi, kayanya kalian dek—”

“Sori, aku ada kerjaan. Bentar ya?” Agni memang tak pernah sungkan memotong pembicaraan yang menjurus ke urusan pribadinya. Ia tak ingin orang lain mengomentari hidupnya.

Gara-gara kedatangan Bara yang tiba-tiba di kantornya, Agni semakin tak bisa berkonsentrasi saat bekerja. Walau menekuri layar laptop, tapi pikirannya melayang ke mana-mana.  Namun, lamunannya akhirnya buyar karena muncul panggilan telepon dari Tante Mirna di gawainya. “Kembar udah kamu jemput?”

“Belumlah. Ini aku masih di puskesmas. Gimana, Nte?” Perasaan Agni mulai tak nyaman.

“Lha iki, Kembar kok ndak ada. Katanya wes dijemput.”

Jantung Agni seketika memburu. Begitu Bara datang, Kembar menghilang. “Tante udah tanya siapa yang jemput.”

“Tadi Bunda Martha mikir Tante atau kamu yang jemput.” Tante Mirna terdengar terengah. “Ini Tante mau mastiin lihat di CCTV.”

Agni mulai kalut. “Oke. Aku sekarang juga ke sekolah.” Agni seketika menutup semua jendela di layar dan mematikan laptop. Sambil membereskan barang-barang, ia mencoba menghubungi Bara, untuk meyakinkan anak-anak bersamanya. Sayangnya beberapa kali mencoba, panggilannya selalu tak terjawab. “Ri, aku balik.”

Ria urung menggigit potongan mangga muda. “Balik? Ada apa, Mbak? Kok kalut banget?” Alis Ria mengerut. Di balik jendela, air sudah tercurah deras dari langit. “Hujan loh, Mbak.”

Agni tak mengindahkan kata-kata Ria dan memelesat keluar begitu saja. Walau hujan lebat mengguyur bumi, Agni yang sudah membalut badannya dengan jas hujan, tetap nekat mengeluarkan motor dari parkiran dan menerobos padatnya jalan raya di tengah hari.

Semburan air yang menerpa wajah membuat Agni kesulitan mengendarai sepedanya. Beberapa kali ia harus melepas stang untuk menyeka wajah. Walau matanya pedas karena terus menerus ditusuk curahan hujan, ia tetap bertahan.

Begitu sampai ke sekolah, Agni segera menuju ke kantor guru. Di dalam sudah ada Tante Mirna yang berbincang dengan Bunda Martha serta Bunda Puri. Mengetahui keponakannya telah datang, Tante Mirna menghampiri Agni yang sedang melepas jas hujan berbentuk celana dan baju.

“Yo opo, Nte?” Agni tak sabar mendengar siapa yang membawa anaknya.

“Bara.”

Gerakan tangan Agni saat melepas celana plastik itu sempat terjeda. Rahangnya mengerat kuat menahan rutuk. Sudah ia duga Bara pelakunya. Tapi kenapa Bara tak bicara apapun tadi. Atau bisa saja dia memberi kabar akan menjemput Kembar. Kalau seperti ini, Bara benar-benar merusak kehidupannya.

Mendengar Bunda Puri mempersilakan masuk, Agni pun bergegas untuk sekedar berbasa-basi sejenak.

“Syukurlah kalau yang jemput papa mereka.” Bunda Puri terdengar lega.

Agni meringis. Dalam hati masih merutuki Bara karena memberikan kejutan yang benar-benar membuat jantungnya hampir lepas.

“Apa ndak ngasih kabar to, Mom?” Bunda Martha melempar pertanyaan yang membuat telinga Agni terasa panas.

Alih-alih Agni yang menjawab, Tante Mirna yang membuka suara. “Ya. Sebenarnya papi maminya Kembar kan sudah pisah, Bun.”

Seketika Agni mencolek paha tantenya. Walau pihak sekolah tahu status pernikahannya, tetap saja Agni tak suka privasinya disinggung.

“Tapi kehadiran papinya Kembar berdampak sekali loh. Dulu Raditya gampang tantrum. Tapi akhir-akhir ini lebih mudah dikasih tahu. Raina pun yang suka murung, jadi lebih ceria.” Bunda Martha mengomentari.

“Kemarin pada ndak ada yang nyangka loh kalau papi maminya Kembar pisah. Kalau saya pribadi lihat, papinya Kembar itu tipe family man.”

Agni hanya tersenyum tipis yang dipaksakan sambil meremas kuat pahanya. Ia sudah tak sabar untuk ingin mendamprat Bara karena mengambil anaknya diam-diam. Namun, ia harus bersabar menemani Tante Mirna yang betah sekali mengobrol dengan guru-guru Kembar.

Selepas obrolan selama setengah jam itu, akhirnya Agni dan Tante Mirna pamit. Namun, sebelum melajukan sepedanya, ia mencoba menghubungi dahulu Bara untuk meminta mengantar anak-anak pulang. Agni harus berbicara serius pada Bara dan memberi ketegasan agar laki-laki itu tidak mencampuri kehidupannya. Setelah lima kali mencoba menghubungi, hanya nada hubung yang terdengar. Ia akhirnya memutuskan pulang karena percuma juga ia kembali ke kantor.

Bukannya semakin terang, hujan justru semakin lebat terkucur dari langit seolah ingin membasuh kemarahan Agni. Untuk menghindari padatnya jalan raya, Agni sengaja melalui jalan-jalan kampung. Jalanan perkampungan yang tak rata pun sudah tergenang air dan tak bisa dibedakan dengan permukaan yang rata. Saat Agni melepas pegangan stang kirinya, tiba-tiba roda sepedanya bergulir melalui kubangan yang tertutup air sehingga ia tak bisa menyetarakan keseimbangan sepedanya. Detik berikutnya, ia terjungkal, jatuh tertimpa sepeda.

💕Dee_ane💕

Update malem2 mumpung inget. Selamat membaca yak. Jangan lupa jejak cinta kalian😘

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top