14. Menjenguk Yangkung
Malam Natal kali ini terasa lain. Ini kali pertama Agni merayakan malam Natal bersama Bara dan Yangkung. Ditambah dengan kehadiran Kembar yang memeriahkan suasana, malam Natal kali ini memang begitu spesial.
Bara sengaja memutuskan misa malam Natal di jam sembilan malam supaya suasana magis malam Natal bisa terasa sesuai kebiasaan keluarga itu. Padahal Agni berharap mereka bisa mengikuti misa pada sore hari karena pasti Kembar akan mengantuk bila mengikuti jadwal di jam itu.
“Papi … ngantuk.” Raina sudah lebih dulu tak kuat menahan kantuknya.
“Sini, Mami pangku.” Agni kembali duduk dan menepuk pahanya, sambil merutuki keputusan Bara.
Raina menggeleng sembari menguap. “Gendong Papi.” Kedua tangan Agni terangkat.
Bara dengan sigap mengangkat Raina. Sementara itu Agni hanya bisa mengembuskan napas panjang sambil duduk mengamati Raina yang menyandarkan kepalanya sambil mengendus leher sang Papi. Sejujurnya, melihat pemandangan seperti ini hati Agni menghangat. Sosok Bara yang dingin bisa ditaklukkan oleh Kembar, apalagi Raina.
Sepanjang misa, Bara tak melepaskan Raina. Ia memangkunya dan sesekali menyuruh Agni mengusap dahi Raina yang berkeringat. Sementara itu, Raditya sudah berlari ke sana-sini, seolah energinya tak pernah habis.
“Mas, gantian aja. Tangan Mas bisa kram.” Agni pernah merasakan tangannya sakit saat Kembar masih bayi. Ia berkali-kali harus fisioterapi untuk memulihkan tangannya yang nyeri. Melihat Bara yang kuat menggendong Raina, ia takjub pada kekuatan otot Bara. Tak dimungkiri, laki-laki matang itu memang punya stamina prima yang dulu membuat Agni selalu kewalahan di ranjang. Maka tak heran energi itu diturunkan pada Raditya yang tak pernah lelah.
Namun, dugaan Agni salah. Saat mereka sudah pulang dan Bara selesai memindahkan anak-anak yang sudah terlelap di kamar tidur tamu yang sudah disiapkan untuk Kembar, Bara masuk ke kamar yang dulu menjadi saksi keintimannya dengan Agni sambil memutar lengannya. Alis lebat pria itu mengernyit sambil meringis.
“Baru ngerasain pegelnya kan?” ledek Agni yang sudah berganti baju dengan piyama.
“Ga. Sopo omong.”
Agni berdecak. Dari ekspresinya saja terlihat kesakitan. “Mas tidur sini. Aku tidur sama anak-anak.”
“Ni …” Bara meraih lengannya sehingga langkah Agni terjeda. Kedua alis Agni terangkat, menunggu lanjutan ucapan Bara. “Ga po-po.”
Agni pun melengos dan berbalik menuju ke kamar tidur di sebelah kamar utama mereka. Namun, saat ia akan mengisi daya gawainya, ia teringat chargernya masih tertinggal. Wanita itu terpaksa kembali lagi dan ketika membuka pintu ia mendapati Bara bertelanjang dada, memijat pundaknya sendiri.
Bara terlonjak melihat Agni tiba-tiba muncul dari balik pintu yang terbuka. Pipinya memerah dan ia berdiri menampakkan wajah sok kuatnya. “A … ada apa?”
Agni terkekeh dalam hati. Baru sehari, tangan Bara sudah pegal-pegal. Bagaimana dia mau mengasuh Kembar yang berbeda karakter?
“Mau ambil charger.” Agni meraih pengisi daya yang tergeletak di meja rias.
Ketika akan melangkah ke luar, Agni kembali berbalik. “Mau aku bantuin pijat?” tanya Agni sambil meliuk-liukkan kabel charger di depan perut, meredam gugup yang tiba-tiba datang.
Mata Bara membulat dengan tarikan bibir lebar. “Kalau kamu ga keberatan ….”
Agni berdecak. Bilang mau saja pakai bahasa yang muter-muter. Namun, melihat wajah lelah Bara, ia tak tega. “Mas ganti dulu aja, biar langsung tidur.”
Bara bergegas menuju lemari dan menurunkan celana panjangnya.
“Mas! Ngapain buka-buka?” Agni yang sedang mengambil minyak kayu putih terkejut melihat Bara yang membalut bagian bawah tubuhnya dengan celana dalam boxer warna hitam ketat. Ia lantas berbalik dengan wajah memerah.
“Kamu juga pernah lihat aja.”
“Tapi … ya Tuhan!” Agni memukul dahinya karena kepalanya tiba-tiba membongkar ingatan isi di balik celana boxer itu. Seketika ia merutuki Bara yang berkata sevulgar itu.
Bara lantas berbaring tengkurap tanpa disuruh. Melihat Bara sudah menempatkan diri, Agni pun duduk di pinggir ranjang. Ia membaluri punggung yang pernah ia cakar saat Bara membobol tabir kemurniannya.
Bara mengerang pelan saat tangan Agni mulai mengurut bahunya. “Enak, Ni. Iya … situ. Aargghh ….”
Agni memukul punggung Bara. Suaranya membuat ia bergidik geli.
“Kok dipukul sih?” Bara menoleh menatap Agni kesal. Satu tangannya ke belakang mengusap panas yang ditimbulkan dari pukulan telapak tangan Agni.
“Suarane loh, Mas. Yangkung ntar mikir aneh-aneh.”
Alis Bara menukik ke pangkal hidung mancungnya. Kini ia memutar tubuh dengan kedua siku yang menumpu tubuh. “Aneh-aneh piye?”
“Lha itu tadi ….” Dagu Agni bergerak ke depan.
Bara tersenyum miring tipis. Ia menyentil dahi Agni. “Kamu yang mikir kotor! Macem kamu aja suka desah!”
“Opo seh?” Agni memukul dada Bara, kesal. Kenapa Bara bicara aneh yang membuat pipi Agni memerah?
“Ah, kamu lupa?” Bara menegakkan tubuh, dan memegang dagu Agni sehingga wajah mereka saling berhadapan dalam jarak tiga jari. “Mas … enak … iya situ. Yang lembut, Mas.” Suara berat yang serak itu sengaja dilengkingkan, menirukan suara Agni.
Agni menepis tangan Bara. Wajahnya seperti terbakar ketika diingatkan kalimat absurd yang tak sadar terlontar dari bibir kala hasratnya menutup nalar. Ia pun bangkit, menyesali niat baiknya yang berujung menjadi hal memalukan.
Namun, saat ia akan berdiri, Bara menarik tangannya sehingga tubuh Agni jatuh menimpa dada Bara.
“Kamu sengaja goda aku, Ni?” bisik Bara seduktif.
Agni merinding. Embusan napas Bara yang semanis cinnamon itu menggetarkan batinnya. Namun, ia enggan larut dalam pesona Bara. Sekarang ia mempunyai Kembar yang harus ia lindungi. “Ngimpi!” Agni mendorong Bara, dan berlari menuju kamar sebelah.
***
Kehangatan yang menyelubungi Agni terasa begitu nyaman. Agni semakin memeluk guling yang ada dalam rengkuhannya. Ingin rasanya ia kembali terlelap. Tapi, ia harus bangun karena tak mendengar lagi kokok ayam di pagi hari.
Perlahan ia membuka mata dan seketika ia mengerjap. Ada yang aneh dengan bantal yang ia gunakan. Apalagi saat ia mulai meraup kesadarannya, ia mendapati sedang bersandar di dada bidang Bara yang mengenakan kaus biru donker.
Buru-buru Agni menegakkan tubuh dan melihat Bara menggeliat di sebelahnya. Ia heran kenapa Bara ada di situ. Seingat Agni, semalam ia langsung kembali ke kamar anak-anak dan tidur begitu saja. Jelas ia tak salah kamar, karena ia masih di kamar berwallpaper cokelat dengan motif bunga. Tak ada pula foto pernikahan yang biasanya menggantung di atas ranjang.
“Mas ngapain di sini?” Agni mendorong tubuh jangkung Bara.
Namun, usahanya sia-sia. Raga Bara sama sekali tak bergeser. “Tidur.”
“Lha iya tidur. Tapi kenapa di sini?” Suara Agni naik satu oktaf.
“Lha emang ga oleh ta tidur sama anak-anak?” Bara ikut bangun dan duduk di ranjang. “Lagipula siapa yang malah peluk-peluk?”
Agni berdecak. Kebiasaannya memeluk guling beralih memeluk Bara. “Anak-anak?” tanya Agni memandang berkeliling, memutus topik Bara.
“Udah bangun paling.”
Agni mendengkus sambil melirik Bara kesal. “Besok lagi tolong pahami batasnya. Dulu memang kita pernah menikah, tapi sekarang kita sebatas menjadi orang tua Kembar. Ga lebih.”
Namun, perdebatan mereka terpaksa terhenti sebelum dimulai saat Kembar menyeruak memasuki kamar.
“Papi, Mami, selamat Natal!” Raina dan Raditya memekik bersamaan. Mereka melompat ke ranjang dan memeluk Agni serta Bara bergantian.
“Kok ga bangunin Mami?” tanya Agni memeluk Raina.
“Uyut larang. Katanya Mami capek.” Raditya menimpali.
“Mami, besok kita boleh tinggal di sini ya? Rumahnya bagus. Ada tamannya di belakang,” imbuh Raina.
Hati Agni tercubit. Bara benar-benar memberi iming-iming kenikmatan duniawi yang tak bisa ia berikan dengan gaji ASN-nya.
“Boleh banget. Ini rumah Adek dan Kakak juga.” Bara mengambil alih Raina dan memangkunya sebelum Agni sempat melarang.
“Oh, ya, Pi?” Mata bulat Raina melebar. Ia mencium pipi Bara.
“Berarti kita pindah ke Surabaya?” tanya Raditya.
“Kak, tolong ajak Adek keluar dulu. Mami mau ngobrol bentar sama Papi.” Agni sudah tak tahan lagi.
Raditya menelengkan kepala. “Ngobrol apa, Mi?”
“Kak ….” Agni menggeram dan mau tak mau Raditya menurut mengajak kembarannya keluar. Begitu memastikan bunyi ‘klik’ pintu yang tertutup, Agni lalu mengalihkan pandangan ke Bara yang sudah turun dari ranjang dan membuka tirai jendela. Sinar matahari yang menyorot sosok tinggi besar Bara semakin menguarkan pesona pria matang itu. Tak dimungkiri, semakin berumur Bara terlihat semakin mempesona. Dada bidang yang dibalut kaus biru tua itu selalu menjadi magnet bagi kepala Agni untuk bersandar.
“Mau ngomong opo?”
Agni terkesiap. Merutuk, karena sempat-sempatnya ia terpesona pada laki-laki yang meninggalkannya.
“Besok kita ngurus anulasi. Setelah itu jangan pernah ganggu hidup kami.” Agni menatap nyalang ke Bara.
Alis lebat Bara mengernyit. “Jangan ganggu? Kamu bilang aku pengganggu?” Suara Bara datar dengan ekspresi dingin.
“Iya. Selama ini hidup kami tenang. Tapi, kedatangan Mas bikin hidup kami kacau!”
“Anak-anak seneng kok!” tukas Bara.
“Aku yang ga seneng Mas!”
Dada Bara kembang kempis. Ia menatap intens Agni dan membuang muka. “Sebaiknya kamu cepat mandi. Kita mau ke gereja pagi.”
Napas Agni memburu menatap punggung Bara yang menjauh dan akhirnya menghilang ditelan daun pintu tertutup. Ia berjanji akan segera membawa Kembar pulang agar tak lagi berhubungan dengan laki-laki yang mengecewakannya.
***
Keesokan harinya, sesuai rencana semula, Bara mengajak Agni dan Kembar ke gereja paroki terdekat untuk mengurus anulasi. Mereka memulai serangkai proses dengan konsultasi dengan pastor terlebih dahulu. Namun, sebelumnya Romo Mangun ingin berbicara dengan mereka masing-masing. Dimulai dari Bara kemudian Agni.
“Kamu yakin mau anulasi?” tanya pastor yang berusia lebih separuh abad itu.
“Iya, Mo. Kami sudah bercerai dan berpisah selama tujuh tahun,” jawab Agni mantap.
“Kamu dulu nggak kasih tahu Mas Bara kalau kamu hamil?” Pria berambut putih itu masih mengorek keterangan dari Agni.
“Saya mau kasih tahu. Tapi, waktu saya telepon, yang menerima perempuan.”
Romo Mangun mengangguk-angguk dengan bibir mengerucut. “Tapi, kamu tetap dikasih uang bulanan sampai sekarang bukan?”
“Mboten, Mo! Sejak bercerai dan meninggalkan rumah Yangkung, saya sengaja kembalikan kartu ATM karena saya ga berhak. Waktu itu, saya ga tahu kalau saya hamil.”
“Ah, begitu rupanya ….” Pandangan Romo Mangun tertuju pada buku catatannya. “Trus menurut penuturan Mas Bara, kamu selingkuh?”
Agni mendengkus. “Itu alasan dia aja buat ceraikan saya. Dari awal memang Mas Bara nikah karena permintaan papa saya. Dia ga cinta sama saya.”
Setelah serangkaian interogasi yang dilakukan pada Bara dan Agni secara terpisah, akhirnya Romo Mangun memanggil mereka untuk duduk bersama.
“Sepertinya ada banyak kesalah pahaman yang harus diluruskan. Saya akan memberi waktu enam bulan ini. Kalau memang kalian sepakat berpisah, saya akan menghubungi Tribunal.”
Bara dan Agni saling pandang. Kesalahpahaman apa lagi yang harus diluruskan? Bila terus diulur, Agni khawatir Kembar akan semakin terikat dengan papi mereka sehingga memilih untuk meninggalkannya.
💕Dee_ane💕
Ada yang nungguin?
Di KK udah sampai part 28 loh.
Yang sabar di sini, jangan lupa vote n komennya😘
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top