13. Memberi Perhatian
Hampir saja Bara kehilangan kendali. Padahal ia hanya ingin sedikit mengganggu Agni. Kalau saja anak-anak kembarnya tak menyeruak masuk, ia pasti sudah menerkam Agni. Tujuh tahun berpisah, ia tak menyangka tubuh Agni semakin sintal dalam balutan handuk yang menutup separuh dada dan paha. Saat tangannya melingkar di badan Agni, tak disuruh bagian tubuhnya bereaksi.
“Papi Mami ngapain?” Kepala Raditya meneleng dengan mata menyipit.
Pertanyaan Raditya itu sedetik kemudian diikuti erangan Bara karena sikutan Agni.
“Ih, Papi nakal! Mami lagi ganti kok Papi ada di kamar. Kata Mami, pas Mami ganti Kakak ndak boleh masuk!” Raina menggeleng lalu berlari menghampiri Bara. “Ayo, sini! Nanti dimarahi Mami loh! Papi belum tahu sih kalau Mami marah.”
Bara melongo. Ia menatap Agni yang berdiri memunggunginya. Namun, ia kemudian tersenyum menatap anak kecil yang menariknya. “Putri tersayangnya Papi udah cantik, kok pinter banget sih?” Bara lalu menggendong Raina.
“Kata Mami, Adek pinter karena Mami pinter. Kalau cantiknya karena nurun Papi.” Raina menjelaskan dengan gaya seperti orang dewasa.
“Papi, ayo keluar! Kita main.” Raditya pun kini menarik Bara sampai akhirnya pintu kamar kembali tertutup.
Alih-alih bermain, Bara memilih untuk mandi untuk menetralkan gejolak yang tiba-tiba menerpanya. Ia segera memasuki kamar mandi dan mengguyur badannya. Dengkusan kesal menggaung di bilik kecil itu ketika ia menatap tak berdaya adik kecilnya yang terbangun karena melihat pemandangan yang lama tak ia lihat. Walau di Inggris, ia sering menjumpai para perempuan berjalan dengan baju yang kurang bahan—apalagi di musim panas—tetap saja tubuh berkulit kuning basah yang dibalut handuk itu lebih menyentil naluri purba.
“Baraaaa, kamu mikir apa? Agni itu … bukan lagi istrimu resmimu!” Bara menjambak rambutnya yang masih dipenuhi busa sampo.
Ingatan Bara seketika terlempar saat ia menikahi Agni. Perempuan dua puluh tahun yang selalu ia anggap adik itu tiba-tiba menjadi istrinya. Setelah lulus dan kembali ke Surabaya, ia sering berperan sebagai kakak karena Om Arkan sering meminta tolong untuk menjemput Agni yang sudah SMP bila berhalangan. Gadis itu sering sekali didekati teman laki-lakinya. Dan, secara refleks, Bara selalu menghampiri laki-laki yang berjalan bersama Agni sambil berkata, “Le, ga usah nggaya-nggaya. Sekolah sik. Ga usah ganggu adhiku.”
Gara-gara itu Agni sering kesal. Sepanjang perjalanan dengan motor, Agni sering menggigit bahunya atau mencubitnya. “Mas Bara jahat!” Selalu itu yang Agni katakan. Apa ia tidak mengerti maksud baik Bara menjaganya? Padahal Om Arkan selalu mengkhawatirkan putrinya.
Karena hubungan kakak adik itu, Bara canggung menghadapi Agni saat awal mereka menikah. Bara kebingungan memperlakukan Agni karena terbiasa berlaku sebagai kakak yang menjaga Agni dari pikiran kotor laki-laki di luar sana sehingga ia bersikap dingin terhadap Agni. Pria itu juga mengelak bila harus berdekatan dengan Agni karena takut menjamah Agni hanya karena kewajiban dan dorongan nafsu biologisnya. Saat itu Bara bermaksud menjaga Agni dari dirinya karena ia menganggap Agni masih belum dewasa. Perempuan itu masih sangat menyukai cerita-cerita aneh Putri Disney yang mendapatkan cinta sejati dari Prince Charming yang sejak awal dibenci Bara karena ia tak percaya ada cinta sejati di dunia!
Kalau bukan Agni yang memulai, mungkin saat Bara melepas Agni, gadis itu masih murni dan Kembar tak akan terlahir. Malam di purnama ketiga pernikahan mereka menjadi awal kalapnya Bara karena Agni berhasil membangunkan hasrat alaminya.
Lantas sekarang, gairah yang lama terpendam itu tiba-tiba muncul membangkitkan organ kebanggaannya saat kulitnya bersentuhan kesejukan kulit Agni dan hidungnya menghidu feromon manis yang lama tak menyapa penciuman.
“Sial!” Bara kembali mengguyur badannya, memaksa nalurinya kembali tertidur.
***
Saat Bara masuk ke kamar, Agni sudah bergelung di ranjang di bawah selimut. Wajahnya pucat seperti biasa saat ia datang bulan. Bara mengutuki apa yang sempat ia lakukan tadi. Maksud hati hanya ingin mengganggu Agni, tapi justru ia yang terpancing.
Bara duduk perlahan di sebelah Agni. Ia menatap wajah yang ronanya menghilang. Spontan ia mengulurkan tangannya ke pinggul Agni.
Mata Agni terbuka cepat. “Mas ngapain?” Saat ia akan bangun, Bara menahannya.
“Pijat. Kamu suka dipijat gini waktu mens, kan?”
Agni mengernyit. Ternyata Bara masih ingat ia selalu meminta dipijat punggung bawahnya saat kedatangan tamu bulanan. Selama enam bulan menikah, ada masa di mana Bara akan kerepotan memijat pinggulnya hingga ia tertidur.
“Sebulan sebelum kita menikah, Mama ketemu aku. Beliau banyak berpesan dan titip kamu. Mulai kamu suka dipijat pinggulnya dan minum kunyit asam pas haid, kamu yang takut gelap, kamu yangbga iso nahan sakit, sampai kamu belum terampil masak.” Bara menunduk, dengan mata yang panas. Ia menyesal karena tak bisa menjalankan titah sosok perempuan yang ia anggap sebagai ibu,sebagai suami yang baik. Tapi, saat ini ia berjanji akan menjaga Agni seperti dulu saat ia menganggap Agni adalah adiknya.
“Ga usah, Mas.” Agni menarik tangan Bara.
Bara menahan gerakan tangan Agni. “Selama kita masih sah secara gereja, aku masih bisa mijitin kamu. Ga lebih. Nanti … kalau kita resmi anulasi dan kamu menikah lagi, suamimu yang ganti bakal mijitin kamu.” Hati Bara tercubit dengan perkataannya sendiri. Menurut anak-anak, Om Cakra mereka pernah ngasih cincin ke Agni, tapi ditolak. Mungkin karena belum anulasi sehingga Agni menolak lamaran Cakra.
“Ga perlu, Mas. Aku ga selemah itu.” Agni berusaha menepis lagi.
“Ojo ngenyel! Siapa dulu yang suka ngrengek minta pijat?”
“Lha iya, dulu Mas kan masih suamiku!” sahut Agni lantang.
“Ni, walau kita pisah. Aku tetap jadi masmu. Seperti dulu sebelum kita nikah. Aku bakal nepatin janji buatq jagain kamu walau kamu nanti memutuskan menikah lagi.” Seketika hati Bara tertampar dengan ucapannya sendiri. Sejak mereka semakin intim, Bara paling benci kata ‘masku’! Di kampus, Agni menyembunyikan pernikahan mereka karena tak ingin diolok-olok menikah di usia muda dan selalu mengenalkan Bara sebagai kakaknya.
Seperti ini kok Yangkung minta rujuk? Bara merutuk dalam hati. Ia merasa jadi makhluk aneh penyuka anak kecil!
Agni mendengkus dengan bibir mencebik. Wanita itu tak lagi mendebat dan memilih merebahkan diri memunggunginya. Posisi seperti ini justru membuat Bara lebih nyaman memberikan pijatan.
“Mas ….” Suara Agni memecah sunyi yang menemani mereka. Bara hanya berdeham memberi respon. “Soal anak-anak ….”
“Kamu ga usah mikir. Aku yang bakal urus anak-anak.”
Agni seketika bangun dan duduk di ranjang berhadapan dengan Bara. “Kembar itu anakku, Mas! Aku yang ngelahirin, nenenin, gantiin popok malam-malam, sampai besarin mereka segede ini, dan Mas tega bilang mau urus mereka? Itu artinya mau ambil mereka dari aku?”
“Aku ngerti kamu udah ngelakuin itu semua. Tapi kamu juga perlu inget, aku bapak mereka! Mereka ga bakal lahir tanpa andilku ngasih benih!” jawab Bara datar. Sepertinya Agni bersikeras melepas anak-anak. Ia tak rela, anak-anaknya memanggil laki-laki lain ‘Daddy’, ‘Papa’, ‘Ayah’, atau ‘Bapak’ setelah Agni menikah lagi. Hanya Bara papi mereka yang tak akan bisa diganti yang lain, seperti Bara tak pernah mengganti sebutan Om Ernan menjadi ‘ayah’, karena di hati Bara ia hanya punya satu papi. Marcelino Wijayakusuma.
Agni terkekeh dengan bersedekap. Tawanya terdengar sinis. “Apa Mas pikir hanya dengan menjadi pendonasi sperma bisa ngaku-ngaku sebagai ayah kembar? Nope! Laki-laki menjadi ayah itu, ga sekedar ngasih benih. Seorang ayah akan selalu mendampingi, membimbing, dan ngasih teladan ke anak-anak. Ia juga peduli pada keluarga dengan memastikan keluarganya nyaman. Tapi, selama ini …” Agni tersenyum miring. Jarinya mengetuk dada Bara. “Mas ga ada sumbangsih buat itu! Jadi, sekarang keluar dari kamar ini! Mas bukan siapa-siapa untuk kami.” Agni turun dari ranjang dan segera menarik tangan Bara. Namun, tangan kecil itu sebenarnya tak berhasil menggeser tubuhnya.
“Ni!” Amarah Bara meletup. Ia mengeratkan rahangnya menahan gejolak yang akan menyembur. Laki-laki itu hampir lupa kalau Agni memang ahli mengetes kesabarannya sejak gadis itu kecil. “Kamu tidur aja. Besok kami berangkat ke Surabaya.” Bara menepis tangan Agni dan turun dari ranjang.
“Kami?” Mata Agni membeliak.
“Iya. Aku dan anak-anak. Kamu ga usah ikut kalau kamu cuma mau bikin masalah di depan Yangkung! Beliau tahunya kamu yang menceraikan aku” Bara memutar tubuh, membelakangi Agni. Ia juga merasa tak berhak tidur di kamar yang sama dengan Agni karena secara hukum mereka sudah orang lain.
“Apa?” Agni berseru kencang. “Bisa-bisanya Yangkung mikir gitu … ga … kenapa Mas ga bilang Mas yang ceraiin aku?”
Namun, Bara memilih membisu dan melangkah keluar begitu saja diiringi seruan dan lemparan bantal ke arah punggungnya. “Mas Bara gendeng!”
***
Setelah menempuh empat jam perjalanan, mobim yang mereka kendarai akhirnya memasuki kota Surabaya. Cuaca siang hari yang terik di Kota Pahlawan ini, semakin membuat hati Bara semakin gerah di tubuh yang lelah karena tidur tak nyanyak. Semalam, Agni mengusirnya dari kamar dan Tante Mirna pun tak mempersilakan Bara tidur di kamar lain sehingga terpaksa ia tidur di sofa depan tv. Sampai detik ini pun, Agni masih benar-benar menjaga jarak. Sepanjang perjalanan wanita itu duduk di belakang dan tak peduli pada dirinya.
Akhirnya mobil sudah terparkir di halaman rumah berlantai dua. Ia menoleh ke belakang mendapati Agni dan kedua anak mereka terlelap. Agni di tengah dengan Raina yang berbaring berbantal paha di kanan dan Raditya duduk bersandar di lengan kiri Agni. Setelah membangunkan mereka, Bara segera mengambil koper yang ada di bagasi dan mengulurkannya pada asisten rumah tangga mereka.
“Agni! Piye kabare, Nduk?” Yangkung menyambut Agni dengan semringah. “Iki buyutku?”
“Nggih, Kung.” Agni memeluk Yangkung dengan erat. “Dek, Kak, salim sama Yangyut.”
Yangkung membungkuk, memeluk Kembar. “Gusti, aku kelangan anak malah diparingi urip iso ndelok buyutku (Tuhan, aku kehilangan anak malah dikasih hidup bisa lihat buyutku).”
“Makanya Yangkung harus sehat.” Agni membantu Yangkung Mitro yang sudah bungkuk berdiri. “Eh, Kung, Agni bawa oleh-oleh abon kesukaan Yangkung.”
Mereka pun akhirnya masuk dengan Agni yang masih setia menuntun Yangkung yang berjalan dengan kruk. Saat kakinya menginjak ruang tamu, hatinya berdesir melihat foto pernikahannya masih terpajang di dinding ruang tamu. Tak banyak perubahan selama tujuh tahun ia pergi rumah ini seolah Agni baru meninggalkan tempat itu tadi pagi.
Mengetahui keheranan Agni, Yangkung lalu berkata, “Yangkung masih percaya kalian bisa bersama lagi. Jadi, foto pernikahan kalian masih Yangkung pajang.”
Bara berdeham keras, menyudahi perbicaraan absurd itu. Bisa bersama lagi? Sepertinya semua hanya mimpi. Khayalan Yangkung yang tak akan bisa terpenuhi.
💕Dee_ane💕
Udah Minggu lagi saatnya update Bara, Agni, dan Kembar. Jngan lupa like n komennya yak. Oh, ya di KK udah banyak partnya. Yang mau baca dulu silakan merapat.
Sehat selalu buat kalian😘😘
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top