12. Keinginan Kembar

Agni kehabisan kata-kata untuk merangkai alibi. Pada akhirnya hanya ini jawaban terbaiknya, “Papi sibuk.”

“Ndak kok! Sebentar lagi ‘kan liburan Natal!” sahut si centil Raina. “Iya, kan, Pi?” Anak itu sudah menerobos celah antara dua kursi dan duduk di pangkuan papinya.

Agni melongo. Ia merasa ditinggalkan. Dikhianati oleh dua makhluk yang ia kandung, susui, dan besarkan dengan sepenuh hati walau dalam kondisi kesehatan mental yang terguncang.

“Iya. Papi bakal ada buat kalian.” Mata Bara menyipit sengit ke arah Agni. “Ayo, kita turun. Biar Mami di mobil kalau ga mau makan.”

Agni berdecak, menyepak udara kosong. Kenapa sikap Bara begitu menjengkelkan? Memang biasanya Bara sering bersikap sarkas seperti itu, tapi kenapa dulu ia buta sekali terus mendekati Bara? Bila mengingat masa lalunya, ia benar-benar merasa seperti gadis polos yang bodoh.

Sial! Agni mengumpat keras seiring dentuman pintu mobil kabin belakang. Ia masih di mobil dan sepertinya anak-anak melupakannya. Mata Agni perlahan panas. Hatinya perih, lebih pedih dari saat ia mendapati kedekatan Bara dan Cyra.

Namun, saat air matanya menetes di pipi, pintu depan tiba-tiba terbuka. Agni menoleh. Terkesiap menatap Bara menggendong Kembar yang total beratnya kira-kira lima puluh kilo.

“Mami, ayo, to!” Raina melambaikan tangan mengajak turun.

“Loh, Mami nangis?” Raditya yang memang pemerhati ulung, segera menangkap mata Agni yang berkaca-kaca.

Agni memalingkan wajah. Menyeka pipinya cepat. Namun, saat ia berbalik, Bara ternyata sudah menurunkan anak-anak dan membungkuk menjulurkan kepalanya masuk ke dalam mobil yang membuat bibirnya bertemu dengan bibir Bara. Spontan, Agni mendorong pria itu sambil meremas kain baju di dadanya untuk meredam jantung yang seketika berdegup kencang saat tabrakan bibir itu terjadi. Ia melirik ke arah Kembar yang masih sibuk berebut smartphone papi mereka. Untungnya suasana remang dan anak-anak tak memperhatikan apa yang terjadi. Kalau tidak, tak tahu lagi akan ditaruh di mana mukanya.

Sementara itu bibir Bara tertarik ke samping membentuk senyuman miring. Ia mengusap bibir merahnya sambil terus menjulurkan tubuh ke dalam. “Jangan rusak hari bahagia anak-anak,” desisnya.

Mengetahui badan Bara melintang di depannya, Agni pun menarik raganya ke belakang walau tahu usahanya menghindar sia-sia karena punggungnya menumbuk sandaran jok. Namun,  tak ada sesuatu yang terjadi, kecuali detik berikutnya terdengar suara ‘klik’ kunci sabuk pengaman. “Ayo, turun.” Dan sesudah itu, Bara berbalik meninggalkannya sambil menggandeng anak-anak.

Terpaksa Agni turun dengan langkah malas. Ia menatap anak-anaknya sambil menggeleng-geleng tak percaya. Dalam waktu sehari saja, mereka bisa begitu lengket dengan Bara. Dan Bara juga terlihat lebih sering mengumbar tawa dan senyuman di depan anak-anak.

Sejurus kemudian, Agni dan anak-anaknya sudah duduk di salah satu meja berisi empat bangku. Baru beberapa kali selama tujuh tahun ini, Agni berada di tempat ini. Kalau biasanya ia datang bersama Kembar untuk merayakan ulang tahun teman sekolah TK, kali ini suasana sangat berbeda karena kehadiran Bara. Ini kali pertama, anak-anaknya merasakan makan malam di luar bersama orang tua yang lengkap. Hal yang tak pernah Agni bayangkan sebelumnya.

Beberapa menit menunggu, Bara datang membawa nampan berisi ayam goreng paha bawah kesukaan anak-anak. Seperti kebiasaannya, Agni akan lebih dulu menyuapi Raina yang masih suka makan sambil diemut dan meninggalkan makanannya. Namun, kali ini Bara menarik piring kertas porsi makan Raina di hadapan Agni.

“Dek, Adek udah besar. Udah mau SD. Adek maem sendiri, ya? Kaya Kakak,” ujar Bara, menyodorkan piring kertas di depan Raina.

“Ayamnya panas.” Raina mencebik.

Bara melirik ke arah Agni sambil bergumam, “Nurun kok manjane! Persis emes’e.”

“Papi ngomong apa?” tanya Raditya dengan pipi menggelembung.

“Ga.” Bara lalu mengambil piring Raina dan menyuwir paha ayam yang masih mengepulkan uap panas menjadi potongan kecil. “Ya udah, sini Papi yang suapin. Biar mami kalian makan.”

“Ga pa-pa, Mas.”

“Jangan manggil kaya gitu di depan anak-anak!” desis Bara dengan bibir yang hampir tak bergerak tapi suara masih didengar Agnj.

“Eh, ga pa-pa. Pa … Papi makan aja dulu.” Pipi Agni terasa panas saat menyebut Bara dengan sebutan ‘Papi’.

“Ga usah ngeyel!” Bara lirik dengan kuluman senyum.

Agni mengernyit, heran. Sebenarnya apa maunya Bara? Ia benar-benar niat untuk mengambil hati anak-anak sehingga perhatian Kembar selalu tertuju padanya.

“Papi, nanti kita beli piyama kembaran yuk. Biar kaya drakor yang dilihat Mami,” celetuk Raina sambil menyeruput susu kotak rasa coklat.

Bara melirik tajam Agni. “Oh, Mami masih suka lihat drakor ta?”

“Iya, Pi. Sampai nangis-nangis gitu.” Raditya menggeleng-geleng. “Heran ….”

Bara berdecak. “Kebiasaanmu belum ilang ta, Mi? Anak-anak jangan kamu cekoki drakor. Banyak adegan yang ga bagus buat anak-anak.”

“Mas—”

Bara berdeham keras, mengingatkan Agni.

“Papi ga usah ceramah wes. Gage (Cepet) suapin Raina sana,” sahut Agni dengan wajah memberengut.

“Pi, boleh ya nanti kita beli piyama kembar?” Raina masih meneruskan topik yang sama.

“Adek kembar aja sama Mami. Males kalau pake warna pink.” Raditya bergidik geli.

“Emang kenapa sama pink? Dari pada Kakak suka hitam!”

Dan mulailah perdebatan mereka yang tak digubris oleh Agni. Biarlah Bara yang menengahi saja diskusi yang akan membuat Raina sering tantrum karena Raditya tak mau mengalah.

“Gampang. Nanti beli dua set. Hitam sama pink.” Semudah itu Bara memberi solusi yang langsung disetujui anak-anak.

Mood Agni seketika semakin terjun bebas karena dengan cepatnya Bara menyetujui permintaan Kembar. Selama ini Agni tak selalu meloloskan permintaan Kembar. Bagi Agni membeli sesuatu harus berdasarkan kebutuhan, bukan karena keinginan saja.

“Mas …” Agni berdecak karena salah menyebut Bara. “Pi, Papi jangan manjain mereka kenapa?”

“Loh, bukannya dulu Mami juga manja?” Pernyataan Bara membungkam Agni karena mengandung kebenaran. “Siapa yang dulu ngrengek-ngrengek minta beli es krim pas hujan-hujan sama Papa? Padahal Papa sakit?”

“Ih, Mami dulu manja ya, Pi?” Raditya membeliak, mengunyah kentang gorengnya.

“Banget! Kalau ga diturutin, nyokot!” Bara memperagakan dengan memperlihatkan deretan gigi yang tak terlalu rata.

“Kaya Adek dong!” timpal Raditya tergelak mendapati ekspresi aneh Bara.

Bara terkekeh. “Oh, ya? Berarti Adek bener anaknya Mami.”

“Adek mau jadi anak Papi! Papi ga pelit!” Raina tiba-tiba menyahut.

Agni menatap Raina tak percaya. Batinnya tercubit dengan perkataan spontan anak gadisnya. “Terserah! Ikut saja semua Papi!” Agni bangkit, meninggalkan nasi dan ayam yang masih separuh. Nafsu makannya menguap begitu saja dan ia memilih untuk mencuci tangannya.

Gemericik air yang membasuh tangan tetap saja tak bisa menghapus kesedihan Agni. Hatinya terasa hampa. Ia merasa ditinggalkan anak-anak yang ia lahirkan. Dehaman Bara lantas membuyarkan lamunannya. Entah berapa lama ia membiarkan tangannya dikucuri air mengalir dengan pikiran kosong. Agni lalu melirik bayangan sosok Bara melalui cermin.

“Ngono ta caramu ndidik anak?”

Darah Agni yang sudah meletup semakin meluap. Apalagi hormon yang sedang mempermainkannya membuat ia benar-benar ingin menyemburkan amarahnya. Namun, Agni tak menjawab. Percuma. Ia memilih menyudahi cuci tangannya dan kembali ke tempat duduk.

“Mami … marah?” tanya Raditya takut-takut begitu Agni duduk.

Susah payah Agni menarik bibir, menutup kepenatan hati. “Kalian benar-benar pengin sama Papi?”

Raina memeluknya erat. “Sama Mami … juga sama Papi.”

Agni memejamkan mata menahan ngilu di dada. Tak mungkin mereka bisa bersama. Bagi Bara, Agni hanya pengganggu yang selalu merepotkan. Tak pernah ada cinta. Buah hati mereka tercipta karena kenekatan Agni yang memprovokasi Bara melanjutkan permainan mereka tanpa pengaman sebelum berangkat ke London.

“Malam ini aja, ya?” Agni memutuskan.

“Kenapa?” tanya kedua anaknya hampir bersamaan.

“Kata Papi kita mau liburan ke Surabaya,” tambah Raina.

“Besok pagi berangkat.” Raditya menimpali.

Agni tak berkomentar. Ia menunggu sampai di rumah untuk menegaskan bahwa Kembar adalah anak-anak mereka.

***

Kedatangan Bara jelas membuat Tante Mirna terkejut. Namun, wanita kembaran Mama yang dipanggil adik oleh Mama, memilih diam karena Kembar sudah menarik Bara masuk. Kedua anak itu minta dimandikan ayah mereka.

“Ni, ono opo iki?” Tante Mirna masuk ke kamar dan menghampiri Agni yang sedang membersihkan muka.

Agni menghentikan sapuan kapasnya di pipi. Pandangan mereka bersirobok melalui cermin meja rias. “Mas Bara tahu Kembar anaknya dari tes DNA.” Agni pun menceritakan kecurigaan Bara sewaktu bertemu Raditya pada pertemuan pertama mereka.

“Loh, kok pakai tes DNA segala? Pikire Kembar anake sopo? Wong dia yang pernah ngumpul sama kamu kok pakai tes-tesan segala! Ra cetho!”

Komentar Tante Mirna persis seperti apa yang ia pikirkan dulu. Namun, begitulah Bara yang selalu percaya dengan apa yang ia lihat, sehingga harus mencari bukti otentik untuk meyakinkannya. Padahal apa yang dilihat di dunia ini, tak selalu bisa dibuktikan secara langsung ….

“Trus setelah tahu Kembar anaknya?”

“Dia … mau nuntut hak asuh,” jawab Agni lirih, tak bertenaga.

“Iso-isone loh (Bisa-bisanya loh)?” Suara Tante Mirna sudah naik satu oktaf. Mata berkeriputnya melebar. “Ra iso!” Tante Mirna berkacak pinggang menggeleng. “Ni, Tante paling tahu perjuanganmu pas habis cerai dan ketahuan hamil! Kamu masih harus selesaiin kuliah sambil kerja dengan perut buncit karena ga ada kiriman dari Bara. Trus … pas lahiran, kamu rela ninggal Kembar biar bisa kuliah dan seminggu sekali balik ke Solo. Masa mudamu benar-benar terenggut gara-gara Bara!” Tante Mirna berusaha mengatur napasnya yang kembang kempis dipenuhi amarah. “Gitu kok papamu masrahin kamu ke lakik yang ndak tanggung jawab!”

“Uwes to, Nte!” Agni berusaha menenangkan tantenya. Bila sudah mengomel, Tante Mirna akan susah direm.

“Terus rencanamu piye?”

Belum sempat Agni menjawab, Bara sudah masuk membopong dua anaknya yang dibalut handuk. Kedatangan laki-laki itu disuguhi lirikan sengit Tante Mirna. Wanita paruh baya itu mendekat dan menurunkan Raina. Wajahnya berubah penuh senyum ketika berbicara dengan cucunya. “Kembar pakai baju sama Mami dulu ya? Oma kan juga kangen sama Papi, jadi pengin ngobrol bentar.”

Bara mengernyit, menatap Tante Mirna dan berganti ke arah Agni. Seketika Agni menghampiri Tante Mirna dan menahan lengannya. “Nte ….” Agni menggeleng.

“Ni, kamu ….”

“Please!” potong Agni tegas. Ia tak ingin mengungkit masa lalu yang menyakitkan.

Tante Mirna melempar pandangan tak percaya. Dengkusan kesalnya memenuhi seluruh kamar sebelum ia pergi. Sementara itu Bara masih menatap punggung Tante Mirna dengan alis saling bertaut.

“Ono opo?” tanya Bara heran.

“Ga ada apa-apa.” Agni menarik kedua anaknya dan mengambil minyak telon.

“Adek mau didandani Papi, Mi.” Raina merebut botol minyak di tangan Agni dan memberikan pada Bara.

“Kakak juga.”

Mata bulat Agni semakin membeliak. Ia merasa tak diperlukan anak-anak lagi. Wanita itu pun segera berbalik untuk membasuh badannya yang lengket berharap kejengkelannya bisa ikut larut.

Selepas mandi, Agni baru menyadari ia tak membawa baju ganti karena buru-buru meninggalkan kamar. Setelah mengeringkan rambut dan badan, dengan terpaksa ia membalut tubuhnya dengan handuk yang tak terlalu lebar lalu keluar dari kamar mandi. Saat ia masuk ke kamar, Bara sedang berbaring di ranjang. Wajah yang sudah bersih dari bulu halus itu itu terlihat lelah.

Kaki Agni mengayun menghampiri ranjang kayu jati. Pandangannya masih tertuju pada Bara yang sedang memejamkan mata. Ia mengembuskan napas panjang. Niat hati mau membangunkan tapi ia tak tega. Agni menduga, Bara pasti berangkat dini hari dari Surabaya.

Tak ingin mengganggu Bara, ia lalu berjalan menuju lemari pakaian dan mengambil celana dalam untuk diletakkan pembalut terlebih dahulu. Selepas ia mengenakan celananya, ia tersentak ketika seseorang memeluknya dari belakang. Agni memekik, tapi dengan segera dibungkam tangan besar Bara.

“Kamu mau goda aku, Ni?” Bara mendesis mengendus leher Agni yang bebas karena rambut basah wanita itu masih dibungkus handuk.

Agni gelagapan. Ia berusaha melepas tangan Bara dari mulut dan yang melingkar di bawah dadanya yang untungnya masih terbungkus handuk. “Mas, lepas!” bisik Agni seolah tak ingin suaranya terdengar orang lain.

Bara mendengkus. Tangannya semakin menarik tubuh Agni merapat pada dada bidang pria itu. Kecupan lembut itu lama-lama berubah menjadi gigitan kecil yang membuat napas Agni memburu. “Kita masih suami istri. Aku masih halal memelukmu seperti ini.”

Agni kelabakan. Melawan Bara bisa diibaratkan Daud melawan Goliat. Tubuh Bara yang tinggi dengan dada kekar susah sekali dilawan tubuh mungil Agni yang hanya seberat 45 kg. Walau tenaga Agni sudah dikerahkan untuk membebaskan diri hingga wajahnya memerah, tetap saja ia terkungkung tubuh Bara. “Please ….” Suara Agni bergetar.

💕Dee_ane💕

Keluarga Agni, Bara, dan Kembar datang lagi. Yang kemarin ga ada notifnya ya? Moga kali ini masuk pemberitahuan update.

Ups, Bara ngapain tuh? Nyosor aja😅
Jangan lupa like n comment yak😘

Di KK partnya lebih banyak. Yang mau baca dulu silakan merapat ke sana.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top