11. There is no free lunch
Agni sengaja menyudahi skenario pembicara. Ia tak ingin terbawa perasaan. Sudah sejak tadi, hatinya bergetar melihat sikap Bara. Mulai dari menggendong anak-anak, menggendong tas, mencarikan pembalut yang biasa ia pakai-ukuran 35 cm dengan sayap- serta memijat pinggulnya. Ia tak mau hatinya menjadi lunak dan terlena dengan semua perhatian Bara. Sekali lagi ia masih percaya ungkapan "Tak ada makan siang gratis". Semua ada motif terselubung dan Agni harus benar-benar waspada.
Kinerja hormon saat sedang datang bulan, benar-benar membuat suasana hati Agni bergejolak. Ia memilih membisu daripada terjebak kegelisahannya. Namun, tetap saja ia tak bisa menahan gemuruh batin beku yang tiba-tiba mencair ketika melihat gelak riang Raditya dan Raina saat bermain gim bersama papi mereka. Bara dengan kokohnya menggendong kedua anaknya sekaligus, berlari mengisi bola dalam keranjang. Dan secara spontan, Agni pun memberi semangat pada Bara yang berjuang untuk memenangkan pertandingan.
"Mami! Kami menang!" Raditya memekik riang ketika mereka berhasil menjadi pemenang.
Agni berlutut memeluk kedua anaknya dan mengecup pipi mereka bergantian. Ia kemudian mendongak menatap Bara yang sedang mengusap peluhnya. Wajah sawo matang itu tampak mengkilat seperti tembaga yang habis dipoles. Ia bangkit, meminta anak-anaknya bermain dengan yang lain.
"Ini, Mas." Agni mengulurkan sapu tangan handuk. "Seka keringatnya."
Bara menatap handuk yang disodorkan kepadanya sejenak. "Tolong, seka punggungku. Tanganku ngilu gendong anak-anak sambil lari tadi."
Pipi Agni memerah. Selama tujuh tahun ini, ia tak pernah dekat dengan laki-laki. Paling-paling hanya Cakra saja dan itu pun sebatas sebagai teman biasa.
Bara berdecak. "Ekspresimu loh! Macam perawan saja!"
Wajah Agni semakin panas. "Nih seka sendiri!" Agni melempar handuknya dengan wajah kusut. Apa Bara harus menjelaskan kalau dia sudah tidak perawan? Lagipula ulah siapa yang membuatnya tidak lagi gadis lagi sampai-sampai harus mengandung janin kembar di usia yang masih sangat muda?
Bila mengingat malam pertama mereka, Agni benar-benar ingin menghilang ke dunia antah berantah. Selama tiga bulan pernikahan, Bara yang ia sukai sejak menginjak remaja, tak pernah menjamahnya. Alasannya karena menunggu Agni lebih dewasa. Tapi, hingga suatu malam, Agni tak sengaja meminum soju oleh-oleh Cyra dari Korea. Dalam dua kali teguk, nalar Agni melayang. Ia tak lagi ingat menghampiri Bara yang saat itu baru selesai mandi, dan menerkamnya. Begitulah versi cerita Bara.
Walau ada insiden berdarah selepas penyatuan raga mereka yang membuat Agni dilarikan di IGD, ia tak menyesal. Ia puas karena pada akhirnya bisa memberikan kemurniannya pada suami yang selalu dingin terhadapnya. Dan, setelah malam berikutnya, Bara melunak. Laki-laki itu mulai membutuhkan dirinya untuk memenuhi kebutuhan biologis yang juga bisa memuaskan naluri purba Agni sendiri.
Awalnya Agni berpikir akan mendapatkan hati Bara bila ia bisa memenuhi kebutuhan dasar laki-laki itu. Sayangnya, Cyra selalu ada di tengah mereka ....
"Agni!" Ribka menepuk pundak Agni.
Agni menoleh. Tersenyum tipis pada Ribka. "A ... ada apa, Mbak?"
"Ini aku belikan air mineral. Kamu pucet banget."
Agni menerimanya dengan sungkan dan meneguknya.
"Jujur aku nggak ngira kalau gadis cilik yang aku ajari pakai pembalut dulu itu jadi istri Mas Bara."
Agni terbatuk. Air putih menyembur dari mulut dan hidungnya.
"Pelan-pelan." Ribka mengulurkan tisu.
Buru-buru Agni mengambil tisu dan mengusap bibir sambil memperhatikan Ribka. "Mbak ... yang ngajarin aku pakai pembalut waktu wisudanya Mas Bara dulu?"
Ribka mengangguk. "Kamu manglingin banget. Dulu waktu nikahan kalian, aku nggak ikut karena dapat jatah jaga. Tapi, Mas Je pun nggak menduga Bara bakal nikahin 'adik'-nya." Istri Jeremy itu terkekeh. "Ya ... adik. Aku inget Mas Bara ngasih tahu ke aku kalau kamu adiknya."
Agni tersipu. Memang Bara dulu mengenalkan Agni sebagai adiknya. Sebagai anak tunggal, Agni pun sudah terbiasa menganggap Bara sebagai kakak, sampai pada umur empat belas tahun sewaktu Bara mengenalkan teman perempuan bernama Cyra padanya, Agni merasa cemburu. Ia tak mau Mas Bara-nya dekat dengan perempuan lain selain dirinya. Tapi, waktu itu Agni bisa apa. Bara hanya menganggapnya sebagai adik manja yang merepotkan. Dan ia memilih diam, memendam perasaannya.
"Itu masa lalu, Mbak," sahut Agni.
"Ni, Mbak minta maaf sama kelakuan Renza selama ini ya? Dia terlalu sering sama Simbok yang ngasuh, jadinya kebanyakan nonton sinetron." Ribka terlihat tulus menyesal. "Mbak terlalu sibuk praktik dan papanya kalau ada proyek juga sering pulang malam. Walau kelihatannya orangtuanya bareng, tapi Renza kesepian. Nggak kebayang aku gimana kamu selama ini bertahan sama Kembar."
Agni tersenyum. Pandangannya menerawang ke arah dedaunan pinus yang menjulang di sisi taman resort. "Tuhan memberi kesulitan, karena udah nakar kekuatan kita, Mbak."
"Kamu ... bakal rujuk sama Mas Bara?"
Agni melengos. "Ayo, Mbak. Kita siap pulang."
Dalam perjalanan pulang menuju Solo, Agni terngiang percakapannya dengan Ribka. Rujuk? Bagaimana bisa rujuk kalau Bara hanya datang untuk Kembar? Sejak awal Bara hanya melakukan kewajiban balas budi pada Papa. Bukan karena pernikahan karena saling mencinta.
"Ini kunyit asam." Bara menyodorkan botol minuman jamu yang biasa dijual di minimarket.
Agni menatap botol itu lalu memandang Bara. "Dari mana?"
"Dari langit."
Agni berdecak. Saat ia sudah menyiapkan tenaga untuk membuka tutup botol, ternyata tutup sudah terbuka segelnya. Ia melirik Bara sengit sambil meneguk cairan oranye itu. Karena dulu ia sering dititipkan di rumah Bara bila Papa harus rawat inap berhari-hari, maka tak dimungkiri Bara sudah hafal kebiasaannya membeli kunyit asam kemasan di mini market dan disimpan dalam kulkas untuk persediaan sewaktu haid.
"Ni, liburan Natal besok, aku mau ngajak arek-arek ke Surabaya."
Tegukan Agni berhenti. Ia menurunkan botol yang menempel di bibirnya lalu menutup botol dengan tangan bergetar. "Ngapain?" tanya Agni was-was.
"Yangkung pengin ketemu arek-arek."
"Aku ikut," sahut Agni spontan. Ia tak mau menyerahkan Kembar begitu saja kepada Bara. Lagipula ia juga ingin bertemu Yangkung yang selalu memperlakukan dirinya seperti cucu sendiri.
"Kamu ga kerja ta?" tanya Bara.
"Aku selalu cuti akhir tahun," jawab Agni dengan suara bergetar.
"Syukurlah. Habis itu kita nemuin Romo buat ngurus anulasi."
Agni mencengkeram botol minumannya erat. Ia tak menyangka Bara secepat itu bergerak. Ternyata perhatian Bara hanya semu semata. Pria itu ingin secepatnya menganulir pernikahan mereka dan bisa jadi setelah itu, Bara akan mengambil anak-anak darinya. Ingin rasanya Agni menyemburkan amarahnya. Namun, mengingat mereka masih di dalam perjalanan, ia memilih diam.
Bus tiba di halaman sekolah pada pukul 16.30. Begitu mereka sudah mengambil barang-barang, Agni bergegas memesan taksi online. Namun, baru saja ia mau membuka aplikasi, punggung tangan dengan pembuluh darah menonjol itu menghalangi pandangannya.
"Aku antar pulang. Kita makan malam dulu," kata Bara.
"Ga usah." Cepat-cepat Agni menyahut.
"Mami, Kakak lapar." Raditya meringis memegang perutnya yang sedikit buncit.
"Papi mau ngajak kita ke fried chicken!" Raina menyambung dengan riangnya.
Agni mengerjap. Ia jarang memberi anak-anaknya makanan cepat saji seperti itu. Kembar akan makan ayam goreng tepung itu bila ada temannya berulang tahun.
"Kan Mami bilang ga boleh makan makanan macem gitu!"
"Papi bolehin kok!" ujar Raina sambil memeluk pinggang papinya. "Ya 'kan, Pi?"
Bara mengangguk, memberi senyum lebar yang jarang sekali Agni lihat. "Iya. Sekali-kali." Laki-laki itu lalu menggendong Raina yang semakin manja memeluk erat papinya. "Ayo, Kak. Kalau Mami ga mau, yo wes kita bertiga aja."
Mata bulat Agni membeliak lebar. Apa-apaan ini? Susah payah Agni memberi gizi seimbang pada anak-anaknya yang lahir prematur dengan berat badan rendah, tapi dalam sekejap semua dirusak Bara. Agni lantas menahan lengan Bara.
"Mas, kita bisa makan malam, tapi jangan di sana!" Agni segera mengambil solusi. Ia tak ingin Bara menculik anak-anaknya dan membuyarkan aturan yang ia tegakkan sejak Kembar lahir.
"Sesekali kenapa, Mi?" Raditya merajuk.
"Wes to, sekali-kali. Kalau kamu ga mau, pulang aja naik taksi sendiri." Dengan santainya Bara dan kedua anaknya meninggalkan Agni sendiri. Untungnya tas yang lain sudah dibawa Bara.
Mau tak mau Agni segera mencangklong tas di pundak, dan berlari mengejar langkah panjang kaki Bara. Ia membuntuti laki-laki itu sampai ke mobil yang dibeli dengan gaji pertama Bara bekerja di perusahaan Papa Cyra. Saat Agni akan duduk di belakang, Bara menariknya.
"Aku bukan sopir. Duduk depan!" titahnya.
Agni menggeram, menuruti perintah Bara. Kalau dulu, ia akan dengan senang hati duduk di sebelah Bara sambil bercakap riang. Namun, sekarang ia enggan sekali berdekatan dengan mantan suaminya. Pada akhirnya, mau tak mau Agni menempatkan diri di sebelah Bara. Bibir wanita itu sudah maju ke depan dan tangannya bersedekap memeluk tubuh yang dirongrong kejengkelan.
Baru saja ia asyik merutuki Bara dalam hati, tiba-tiba tubuh Bara condong ke arahnya. Jarak mereka terkikis hingga wajah mereka hanya terjeda satu jengkal. Tubuh Agni seketika menegang ketika menghidu aroma manis napas Bara yang lama tak ia hirup. Matanya mengerjap berulang dengan dada yang semakin lama semakin berdetak kencang.
"Mas, opo-opoan iki? Ada anak-anak di belakang." Bola mata Agni bergulir ke kiri. Napasnya tercekat seketika.
Bara mengernyit. Dengkusannya terdengar kasar dengan senyum tipis miring yang menyebalkan. "Pikiranmu!" Tangan Bara menarik sabuk pengaman dan menguncinya hingga bunyi 'klik' menyadarkan nalar Agni.
Wajah Agni seketika merah seperti tomat ceri matang. Ia melengos sambil semakin mengutuki pikiran anehnya. Gusti! Pengin ngilang aku! Mikir opo se? Perlahan ia melirik ke pantulan wajah Bara di kaca dengan pipi yang masih terasa panas. Senyum yang belum lekang dari bibir Bara, membuatnya semakin ingin lari dari tempat itu.
Untungnya suasana canggung tadi terdistraksi oleh keriuhan Si Kembar. Sepanjang perjalanan menuju tempat yang ditunjukkan anak-anak, Raina dan Raditya berceloteh riang menceritakan pengalaman mereka. Anehnya, Bara yang sedang menyetir, menanggapi dengan sabar bahkan ikut terbahak bersama mereka. Satu hal yang jarang ia lihat selama Agni berinteraksi dengan laki-laki kaku itu.
"Papi nanti bobok di rumah kan?" tanya Raina sewaktu mobil hendak diparkir di halaman restoran cepat saji itu.
"Tanya saja Mami. Boleh ga Papi bobok di rumah." Bara melirik Agni tajam.
Agni menoleh, dengan wajah tak percaya. Bisa-bisanya Bara menyudutkannya?
"Mi, Papi nanti bobok di rumah kan?" tanya Raditya penuh harap.
"Ayo, Mi. Adek pengin kita bobok berempat," imbuh Raina.
"Iya. Papi, Mami, Kakak, sama Adek." Raditya menjulurkan badannya di sela dua jok mobil bagian depan, memberi tatapan penuh harap.
Agni gelagapan. Bagaimana bisa ia membiarkan Bara menginap di rumahnya sementara orang di kampung tahu statusnya adalah janda? Tapi, ia bingung menjelaskan kondisinya kepada kedua anaknya karena mereka masih terlalu kecil untuk memahami permasalahan orang dewasa. Lagi pula mereka juga baru bahagia bertemu ayah mereka. Haruskah Agni memberitahu kenyataan pahit bahwa orang tua mereka tak seperti orang tua yang lain?
💕Dee_ane💕
Selamat hari Selasa. Di KK udah upload lebih awal. Silakan merapat ke sana buat yang mau baca lebih dulu
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top