10. Outing Class
Sepanjang perjalanan Agni terlelap. Entah kenapa ia bisa sangat nyenyak tidur di dalam bus. Guncangan badan kendaraan justru seperti buaian yang meninabobokannya. Belum lagi kehangatan yang menyelubungi tubuh membuatnya enggan bangun meski ada suara yang memanggil.
“Mama Papa Kembar. Kita sudah sampai.”
Perlahan Agni membuka mata. Ia berusaha meraup kesadaran dan seketika ia menyadari bahwa sandaran kepalanya yang empuk itu adalah … pundak Bara?
Serta merta Agni menegakkan tubuh, tak tahu kepala Bara juga bersandar di kepalanya. Bara mengerang ketika kepalanya terhentak dengan keras oleh gerakan Agni dan seketika laki-laki itu menyergahnya keras.
“Ni!”
Agni menatap Bara. Bingung. Apalagi ia sekarang diselubungi kemeja yang awalnya membungkus tubuh kekar papi si kembar. “Sori.”
“Sudah sampai, Ma.” Suara itu membuat Agni tersadar kalau guru Kembar masih berdiri di sebelah kursi mereka.
“Ah, Bunda. Ia … kami nyusul,” kata Agni begitu nyawanya terkumpul dengan pipi memerah.
Namun, ketika Agni hendak bangkit, ia melenguh sambil meringis. Rasa nyeri yang mereda perutnya sejak pagi, semakin menjadi-jadi.
“Kenapa?”
Agni menggeleng. Namun, Bara langsung bisa menebak dengan tepat. “Lagi mens?”
Pipi Agni memerah. Ia merutuki pertanyaan spontan Bara. Mana laki-laki itu bertanya dengan nada datar pula!
Karena belum mendapat jawaban, Bara menyentil dahi Agni. “Malu-malu macem perawan saja!”
“Mas Bara!” Spontan Agni memukul dada Bara. Ia bangkit sambil sedikit menunduk agar tak membentur atap bus di atas kursi. “Nih!” Agni melempar kemeja Bara di dada laki-laki itu. “Minggir, aku mau keluar!”
Bara akhirnya berdiri di tengah lorong bus. Semua kursi ternyata sudah kosong dan hanya tertinggal mereka berdua. Agni lantas keluar dari kursinya dan berlalu maju ke depan. Namun, tiba-tiba Bara menggapai tangannya membuat langkah wanita itu tertahan.
“Opo se?” seru Agni melengking dengan alis menukik tajam.
Bara mendekat dan melingkarkan kemeja lengan panjangnya di pinggang Agni. “Tembus. Kamu ganti pembalut dulu sana.”
Susah payah Agni menelan ludah. Tadi ia terlalu buru-buru sehingga melupakan barang sakral yang seharusnya ia bawa ke manapun. Bahkan ia tak punya lagi cadangan pembalut di tas kecilnya. Agni berbalik dan menatap Bara. Wajahnya sudah merah seperti kepiting rebus. “Mas, tolong cariin pembalut. Aku lupa bawa.” Agni meringis.
Bara mengerjap. “Kamu ga bawa?”
“Ga ….” Agni memberikan cengiran tanggung. Ingin rasanya ia lenyap ditelan bumi karena bersikap ceroboh seperti dulu.
Bara mendengkus, sambil menatap berkeliling. Tangan kirinya berkacak pinggang. “Mana hpmu?”
“Hp?” Agni bingung.
“Cepet. Biar aku tanya di grup orang tua murid siapa tahu ada yang bawa.”
“Jangan!” Agni spontan memegang tangan Bara. “Mas mau memproklamirkan aku datang bulan ke seluruh anggota grup yang ada bapak-bapaknya?”
“Lha terus kenapa? Wajar ‘kan perempuan datang bulan? Kamu bisa dapat Kembar karena reproduksimu normal!” Bara mencubit pipi Agni sambil mengeratkan oklusi rahangnya.
“Tapi ….” Agni benar-benar malu kalau sampai seluruh grup tahu dia haid dan tak membawa pembalut. Sudah terlalu sering ia mendapat teguran di grup karena anak-anaknya lupa mengerjakan PR dan ia tak ingin menambah daftar kecerobohannya yang bisa merusak citra mamanya Kembar.
“Yo wes, kamu ke toilet dulu. Aku urus tas anak-anak.”
***
Kalau sudah melihat mata Agni yang berkaca-kaca, Bara pasti tak akan tega menolak permintaan wanita itu. Sejak kecil, Agni selalu pandai merajuk dengan mata memerah dan bibir mencebik. Kalau sampai menangis, Bara pasti akan dihardik Yangkung habis-habisan karena tidak bisa menjaga Agni.
Awalnya Bara ingin meminta pembalut pada Ribka, tapi saat ia keluar istri Jeremy itu tak terlihat. Ia juga melihat banyak orang tua murid yang sibuk sendiri mengurus anak-anaknya yang mabuk dan ada yang sebagian sudah masuk ke dalam aula. Panggilan telepon ke Jeremy pun tak diangkat.
“Sialan! Padahal Agni sudah bukan anak kecil lagi kenapa aku masih ga tega? Sadar, Bara! Dia udah gede! Sudah emak-emak!” Bara merutuk sambil akhirnya berlari menuju toko kelontong yang ada di luar kompleks resort. Jalan menanjak dengan pohon cemara di kanan kirinya membuat Bara cepat terengah. Walau suhu udara Tawangmangu sekarang cukup dingin dengan cuaca mendung, tetap saja keringat Bara bercucuran di wajah dan tubuh.
Ia teringat pernah mengalami hal serupa saat Agni berusia 12 tahun. Saat itu, Agni diajak Yangkung jalan-jalan ke Yogya untuk mengikuti upacara wisuda kelulusan S1 Bara. Namun, sewaktu ia sudah menempatkan diri duduk di bangku wisudawan, ada panggilan telepon masuk.
“Mas, ada darah di celanaku. Aku takut.” Agni yang baru beranjak remaja menangis sesenggukan kala itu.
Telinga Bara seketika berdenging. Pipinya terasa panas. Ia tak tahu apakah Agni sudah datang bulan atau belum karena kelakuannya masih seperti anak-anak. Bahkan ia masih suka minta ditemani Bara di kamar sewaktu Agni dititipkan di rumahnya. “Kamu … coba telepon Tante Mirta.”
“Takut ….”
Bara mengembuskan napas panjang. “Kamu ….” Lidah Bara kelu. Ia memang punya adik perempuan tiri. Tapi, ia jarang berhubungan dengan Bora sehingga tak tahu pertumbuhan dan perkembangan perempuan. “udah mens?”
“Mens?” Agni semakin meraung tertahan. Suara bergaung di bilik toilet.
“Ehm … bentar. Aku telepon Tante Mirta.”
Bara pun lalu menghubungi mama Agni. Setelah mendapat penjelasan dari Bara, ia mendapat petunjuk apa yang harus dilakukannya. Saat itu, terpaksa ia meminta Jeremy yang sudah berpacaran dengan Ribka untuk mengajari Agni memakai pembalut.
Pikiran Bara yang melayang seketika buyar ketika suara Jeremy menyapanya. “Dari mana?” tanya Jeremy ketika Bara melewatinya. “Sudah mau mulai.”
“Sik (Sebentar).” Jawaban singkat, padat, dan jelas itu sering menjadi andalannya.
Tanpa melihat ke belakang, ia menuju ke depan toilet wanita, dan segera menelepon Agni. “Ni, aku di depan.”
“Mas masuk aja,” jawab Agni.
“Masuk piye? Ini kan toilet wedok!” Nada Bara berang dengan napas masih terenggah.
“Wes sepi kok. Aku habis nyuci cd-ku.” Suara Agni menggema.
Bara celingak-celinguk ke dalam lalu ia juga memperhatikan keadaan di luar agar tak kedapatan masuk toilet wanita. Ia kemudian berjingkat bagaikan pencuri sambil berjanji akan menceramahi Agni setelah ia keluar dari toilet nanti.
“Ni …,” panggil Bara berbisik.
Derik pintu yang terbuka sedikit menguasai ruangan toilet. Tangan mungil Agni menjulur dengan jari-jari bergerak ke atas bawah. “Mana?” Agni ikut berbisik.
“Nih.” Setelah memberikan bungkusan berisi merek pembalut yang sering ia lihat tergeletak di meja rias dulu, Bara pun berlalu.
“Mas!” Panggilan Agni menjeda langkah Bara.”
“Opo meneh (Apa lagi)?” Bara mulai kesal.
“Tungguin. Sama-sama ntar masuknya.” Suara Agni berlomba dengan keriuhan bunyi plastik kresek.
Bara hanya berdeham saja, lantas keluar. Namun, saat ia hampir mendekati ambang pintu, beberapa orang wali murid yang lain masuk.
“Loh, Papa Kembar kok masuk ke sini?”
“Mas! Ojo ditinggal loh! Mas sih keluarnya lama, jadi telat kan—”
Bara menggeram dan terbatuk keras untuk meredam ucapan Agni yang ambigu. Sementara itu, sepertinya ibu-ibu di depannya sudah terkikik memandang Bara karena sepertinya sudah menyalah artikan dua kata yang terdengar aneh. ‘Keluarnya lama’!
Pipi Bara seketika merah dan panas. Ia menunduk dan mengangguk begitu saja, lalu melarikan diri dari kecanggungan ini. Ia memilih menunggu di bawah pohon akasia, dengan bibir komat-kamit mengutuki Agni.
Tak lama kemudian, akhirnya sosok bertubuh tak sampai 160 cm itu muncul. Wajah Bara sudah sangat kusut menyambut kedatangannya. “Kamu ini ceroboh—”
“Sstt!” Agni menempelkan telunjuknya di bibir Bara. “Sudah, ngomelnya nti ae. Selak telat.”
Dengan bersungut-sungut, Bara bergegas menuju ke tempat acara dilaksanakan. Saat mereka membuka pintu aula untuk mengikuti acara parenting class, semua mata tertuju pada mereka. Ia lantas memilih duduk di sebelah Jeremy yang sudah melambaikan tangan ke arahnya.
“Keluarnya lama ya?” Jeremy terkikik saat Bara duduk di sebelahnya.
Bara mengernyit. “Kok?”
“Bojoku punya grup ‘Macan Ternak’, bilang kalau papinya Kembar keluarnya lama.”
“Heh?” Bara melongo.
“Hayo, tadi habis ngapain?” goda Ribka lagi.
“Sik ta lah! Iku kan aku tadi emang keluar cari pembalut.”
“Mamanya Cindy nangkepnya lain.” Jeremy terkekeh. “Lagian kenapa tidak tanya mamanya Renza? Jeremy keheranan. “Atau telepon aku.”
“Uwes. Ga diangkat. Bojomu ga ngerti di mana.” Bara merogoh saku, mengambil sapu tangan dan mengusap keringat.
“Perasaan dari dulu dramanya Agni selalu masalah datang bulan. Aku baru ngeh loh diceritain Mas Je kalau Agni itu gadis remaja yang dapat haid pertama pas kalian wisuda.” Ribka terkekeh.
“Bara ini memang suka makan daun muda,” goda Jeremy dengan tawa meledak. Bara menyikut sahabatnya yang berkepribadian bertolak belakang dengannya. Karena sikap blak-blakan khas orang Flores itu, Bara justru bisa bersahabat baik dengannya.
Bara kemudian melirik Agni yang hanya diam sambil menghirup minyak kayu putih. Laki-laki itu hanya bisa mengembuskan napas panjang. Pasrah. Tak bisa marah. Ia lantas mengulurkan tangan kirinya ke pinggul belakang Agni untuk memberikan pijatan seperti dulu saat ia melihat mama Agni memberikan pijatan pada putrinya saat haid.
Gerakan Bara itu, sontak membuat Agni terlonjak. Ia pun menepis tangan Bara yang sudah mencengkeram kulitnya seperti kaki cicak yang lengket. “Mas!”
“Ssst!” Telunjuk Bara terangkat di depan bibir yang berdesis.”Wes kate mulai (Sudah mau mulai)”
Agni akhirnya bungkam. Bara melirik wanita yang pertumbuhannya sepertinya terhenti sejak SMP, yang duduk di sebelah kirinya, sembari tersenyum tipis. Ia lalu kembali fokus pada acara inti para orang tua tentang parenting.
Pada awal sesi, sang narasumber langsung memberikan pertanyaan yang menohok batinnya.
“Papa-papa yang ada di sini, apa Anda semua pernah mengucapkan terima kasih pada istri di samping Anda, karena telah melahirkan buah hati yang sehat?”
Materi yang diberikan dalam sesikelas parenting itu berhasil membuat Bara merenung. Setelah mengetahui kehadiran Raditya dan Raina, ia tak bisa membayangkan, perempuan semungil Agni harus mengandung dua bayi kembar. Ia seketika bergidik saat otaknya menvisualisasikan gua sempit Agni yang pernah ia masuki itu harus mengeluarkan tubuh bayi sebanyak dua kali.
“Kalau belum, silakan Papa Mama berhadapan dan Papa … pandang ibu yang melahirkan darah daging Anda, lalu ucapkan terima kasih atas pengorbanan Mama dari mengandung, melahirkan, menyusui, dan membesarkan sang buah hati.”
Semua mengikuti arahan nara sumber, tak terkecuali Bara. Ia dan Agni kini saling berhadapan dan bersirobok pandang. Walau terkadang bola mata Agni bergulir ke arah lain, Bara masih menatap mata Agni dengan intens.
“Setelah mengucapkan terima kasih, Papa bisa mengekspresikan rasa sayang Papa untuk Mama.”
Entah kenapa, acara hari ini begitu sentimentil. Beberapa orang sudah mulai berbicara dengan istri mereka yang sesenggukan menahan haru. Namun, tidak bagi Agni. Wajah Agni begitu datar dan dingin. Padahal Bara mulai larut terbawa perasaan karena ucapan-ucapan melankolis yang dilontarkan sang pembicara.
Di saat pasangan orang tua lain sudah berpelukan, Bara masih terdiam. Lidahnya kaku. Tenggorokannya kering untuk merangkai kata. Bukan hanya terima kasih yang ingin ia ucapkan, tapi juga kata maaf. Sayangnya, semua kata itu tersangkut di tenggorokan, sebelum terlontar dan Agni sudah memutar tubuh menghadap depan.
“Ga usah melok-melok (ikut-ikutan). Kita … bukan pasangan orangtua normal,” ucap Agni hampir berbisik.
💕Dee_ane💕
Lama banget aku ga update🫣 Semoga kalian terhibur ya.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top