Chapter 02: Love and War

Bakugou Katsuki, nama salah satu dari murid yang di asuhnya pada tahun ini. Dia adalah anak remaja yang mempunyai potensi tinggi dan bakat terpendam yang orang orang lain belum tentu miliki. Apabila mengesampingkan kepribadiannya yang sangat sesuai dengan quirk ledakannya. Bakugou adalah anak yang memiliki tingkat rasionalitas tinggi, dalam pertarungan ataupun dalam situasi genting dia mampu membuat keputusan terbaik. Walau kadang keputusannya tersebut akan membebani dirinya sendiri.

Bakugou Katsuki. Seseorang yang memiliki harga diri tinggi dan selalu pantang menyerah. Kedua sifatnya tersebut membuatnya menjadi sombong, terutama karena bakatnya dan potensinya. Bakugou pernah merasa dirinya berada di atas angin.

Namun setelah masuk dan beradaptasi di Ultimate Academy (UA) Bakugou mendapatkan banyak perkembangan dalam karakternya. Walaupun ia masih membuat para guru pusing kepala karena tingkah bar-barnya.

UA selalu di isi dengan murid-murid berbakat. Bakugou memang mempunyai potensi tinggi----dia adalah salah satu asset negara yang penting. Itulah mengapa Aizawa tidak hanya memperhatikan satu murid saja.

Seperti Midoriya Izuku misalnya. Dia adalah salah satu muridnya yang mulanya ia kira kosong potensi untuk menjadi pahlawan lantaran anak tersebut tak mampu mengendalikan quirknya. Namun pada akhirnya, seiring berjalannya program latihan. Midoriya berhasil mengendalikan quirknya.

Kedua anak didiknya----Midoriya dan Bakugou di kabarkan adalah teman masa kecil. Hubungan mereka berdua terlalu kompleks untuk orang awam. Aizawa sudah banyak melihat murid-muridnya yang saling bersaing demi mendapatkan posisi teratas, terutama anak-anak yang berpribadian mirip dengan Bakugou. Remaja berdarah panas yang haus akan kemenangan.

Tapi entah kenapa. Setelah di perhatikan kembali. Bakugou lebih sensitif akan hal-hal yang menyangkut Midoriya----anak yang bakatnya tidak sebanding dengan dirinya sendiri. Wajar apabila Bakugou merasa tersaingi oleh anak-anak jenius seperti Todoroki atau Yaomomo yang mendapatkan surat undangan masuk UA. Namun Bakugou mempunyai obsesi unik untuk mengalahkan Midoriya.

"Apakah sebenarnya kau takut pada Midoriya?" itulah yang ditanyakan Aizawa pada malam dimana ia harus melerai perkelahian hebat dua anak paling bermasalah di kelasnya.

Waktu itu Midoriya di antar pulang ke kamarnya oleh All Might. Sementara Bakugou bersama dengan Aizawa. Bakugou yang keras kepala ingin mengusir guru wali kelasnya----namun saat itu Aizawa bersikukuh untuk menemaninya semalaman. Sebagai seorang guru teladan, dia tidak bisa meninggalkan muridnya dalam keadaan tidak stabil.

Dan pertanyaan sensitif tersebut berhasil meluapkan segala emosi Bakugou yang terpendam. "Siapa yang kau bilang takut pada cecunguk macam Deku?" Setelah mendapatkan pertanyaan yang sangat amat menyinggung itu. Bakugou melotot pada gurunya, dengan susah payah ia turun dari ranjangnya. Tubuh remaja pirang itu penuh luka yang cukup parah sampai membuatnya mengalami demam.

"Rupanya tebakanku salah huh." Aizawa memutuskan untuk tidak membahasnya lebih lanjut. "Di sini ada obat antibiotik dan ibuprofen. Jangan lupa diminum," pesannya sambil memutar arah menuju pintu keluar. "Kalau sampai besok demammu belum sembuh. Temuilah Recovery Girl," sambungnya.

"....hey..." Bakugou bersuara pelan. Aizawa tidak jadi membuka pintunya. Pria separuh baya itu kembali menoleh ke muridnya yang ada di atas ranjang dengan keadaan ssberbalut perban. "Kau selalu menyuruhku untuk berhenti bertengkar dengannya dan bekerja sama dengannya," entah apa yang membuat Bakugou tiba-tiba membahasnya.

"Itu karena kalian berdua sama-sama tidak warasnya," jawab Aizawa dengan tatapan bosan. Mendengar jawaban tersebut, Bakugou mengerutkan keningnya sambil bergumam "Kau...juga tidak memahaminya..."

"Mana mungkin aku bisa memahami jalan pikiran bocah-bocah nakal seperti kalian berdua." Aizawa kembali memutar arahnya dan duduk di pinggir kasur Bakugou. "Tapi dari yang kulihat. Mungkin sebenarnya kau sedang mencari sesuatu dari Midoriya," sambungnya lalu mengelus puncak kepala Bakugou yang tertunduk.

"Bukan masalah kalau kau punya hubungan serumit itu dengan Midoriya. Tapi setidaknya kau harus bisa menghadapinya dan lebih jujur terhadap perasaanmu sendiri." Setiap kali tangan Aizawa bergerak untuk mengelus surai kuningnya dan terus berbicara. Bakugou meneteskan air matanya.

"Kau tidak perlu menangung beban sendirian. Keras kepada diri sendiri juga ada batasnya." Aizawa menyadarinya. Cepat atau lambat Bakugou akan merasa berdosa karena dirinya terkait erat dengan insiden yang memaksa All Might untuk segera pensiun. Namun baru kali itu dilihatnya Bakugou yang begitu rapuh. "Sesekali kau juga harus bersikap baik kepada dirimu sendiri," sambungnya sambil memeluk Bakugou yang tangisannya semakin menjadi.

OXO

Semenjak malam itu. Bakugou terlihat biasa saja, dia bisa berbaur dengan teman-temannya yang lain. Hubungannya dengan Midoriya pun juga lebih membaik daripada sebelumnya.

Tapi pada hari ini. Bakugou yang merasa tidak enak badan tiba-tiba bertingkah aneh. Padahal kiranya ia sudah lebih memahami muridnya tersebut tapi nyatanya belum---Aizawa butuh lebih lama lagi untuk bisa memahami Bakugou.

"Dia tipe anak yang tidak bisa di biarkan begitu saja kan?" Tiba-tiba ada seseorang menepuk pundaknya. Aizawa menoleh ke arah orang tersebut dan menemukan sosok pria separuh baya berambut pirang berantakan, berperawakan kurus kering----All Might tersenyum kalem padanya.

Aizawa tersenyum kecil. "Begitulah. Kemana pun dia pergi dia selalu melakukan hal-hal yang paling membuatnya mencolok," jawabnya. "Sehari tidak mendengarnya teriak-teriak sambil membanting atau menendang sesuatu. Rasanya aneh." Mereka berdua masih tidak jauh dari ruang kesehatan berada. Jadi saat Aizawa berbicara sambil menoleh ke suatu arah, All Might langsung paham alasan kenapa teman sekerjanya itu berdiri di tengah koridor sendirian padahal masih jam pelajaran.

"Aku tahu kau sangat peduli dengan murid-muridmu. Tapi baru kali ini kau bercerita tentang murid selain Midoriya-shonen padaku." Senyuman All Might melebar. "Kau mencemaskan Bakugou-shonen kan? Tenang saja. Sakitnya tidak parah kan?" Sekali lagi ia menepuk pundak temannya.

Aizawa masih memasang senyuman kecilnya. "Dia bilang cuma sakit kepala biasa sih," jawabnya ringan. Ocehan All Might barusan tidak begitu banyak membantu. Namun setidaknya dia ingat siapa gerangan yang di khawatirkannya-----Bakugou lebih cerdas dan rasional daripada yang orang-orang kira. Kalau memang anak itu sakit parah, dia pasti akan segera melaporkan kondisinya.

Walau begitu, pada akhirnya Aizawa mampir ke kantin. Tepat setelah jam pelajarannya usai ia memutuskan untuk membelikan Sandwich untuk Bakugou yang tak kunjung kembali ke kelasnya. Kebetulan, tidak lama setelah ia keluar dari kantin. Bel istirahat makan siang berbunyi dan dia bertemu Kirishima.

Bakugou pasti lebih nyaman apabila teman dekatnya sendiri yang pergi menjenguknya, dengan pemikiran tersebut. Aizawa menitipkan makanan dan minuman yang tadi di belinya pada Kirishima.

OXO

Setelah jam istirahat selesai. Bakugou kembali ke kelasnya. Belum ada satu pun guru yang menempati kelas. Semua mata memandangnya, mengikuti gerak-geriknya yang jalan mendekat ke bangkunya dan duduk disana. Dari semua tatapan tersebut. Tatapan Midoriya yang duduk di belakangnya membuatnya paling risih namun masih bisa diabaikannya.

Ini bukan pertama kalinya murid UA melihatnya berjalan sambil memasang wajah jutek. Lantas kenapa mereka semua menontonnya seolah-olah dia adalah hewan yang baru saja kabur dari kebun binatang? Ingin rasanya berteriak dan memaki teman-teman sekelasnya. Sayangnya dia tidak punya tenaga dan niat yang cukup untuk melakukannya----kepalanya penuh akan urusan pribadinya.

Selagi anak-anak berdiam diri memandangi Bakugou. Aizawa masuk ke dalam kelas tanpa berkomentar apapun, yang dia tahu anak-anak sudah duduk rapi di bangku mereka masing-masing dan sama sekali tak menyadari Bakugou yang di jadikan bahan tontonan.

Bakugou menatap meja guru dengan bosan. Setelah Aizawa mulai mengoceh mengenai kerja magang dan latihan tempo hari bersama dengan The Big Three--- saat itu Bakugou masih menjalani hukumannya. Perhatian satu kelas sudah tidak lagi kepada siswa pirang tersebut.

"Oh...kemarin Kirishima menceritakannya padaku," batin Bakugou seraya menghela nafas. "Aku masih harus menjalani latihan ulang dengan si setengah-setengah sialan itu. Menyebalkan sekali," keluhnya dalam hati lalu menghela nafas lebih panjang.

Akhir-akhir ini ada yang aneh dengan dirinya. Bakugou seolah mulai mempertanyakan jati dirinya. Apakah yang dilakukannya sudah benar? Bagaimana kalau misalnya ia malah membawa malapetaka dan melibatkan orang lain? Dia binggung. Apakah perasaannya terhadap wali kelasnya tumbuh sebagai sebuah selingan? Menjadikan sosok Aizawa sebagai obat pelipur lara agar dirinya tidak selalu teringat akan bebannya sendiri.

Semuanya berawal dari dirinya yang di sandera oleh serikat villain. Banyak hero yang mencoba menyelamatkannya dan berujung dengan All Might yang pensiun karena kejadian tersebut. Setelah itu ia menyadari bahwa teman masa kecil yang selalu di bencinya merupakan ahli waris dari pahlawan legendaris yang selama ini ia kagumi.

Rentetan masalah tersebut. Jujur saja membuatnya terbebani. Walau Bakugou berusaha merelakan kejadian-kejadian lampau tersebut. Dia hanyalah seorang remaja biasa---Bakugou bukan lelaki berhati besi. Dia lebih rapuh daripada yang di bayangkan kebanyakan orang.

Berkali-kali Aizawa mengucapkan sesuatu yang mengambarkan Bakugou dengan akurat. Siapa yang tidak terharu mendengarnya? Bakugou adalah anak bermasalah yang sering kali membuat orang lain salah paham mengenai dirinya. Namun akhirnya ada satu orang yang begitu memahaminya.

Semua orang memintanya untuk berhenti berkelahi, memintanya untuk bersikap lebih halus terhadap orang lain. Kalau Bakugou mau, dia bisa berpura-pura menjadi anak baik dan menghabiskan sisa hidupnya memakai topeng. Namun harga diri pemuda tersebut tidak membiarkannya.

Sebagai guru Aizawa juga menginginkan apa yang diinginkan kebanyakan orang. Di dalam hati kecilnya, Bakugou bisa memahami. Apa yang diinginkan orang kebanyakan adalah suatu rasionalitas. Pekerjaan sebagai pahlawan juga membutuhkan kerja sama tim.

Namun berbeda dari yang lainnya. Aizawa memahami Bakugou yang sedang mencari sesuatu yang anak itu sendiri belum sadari keberadaannya.

"Tapi perasaanku pada pria itu adalah nyata....kurasa." Selama penjelasan berlangsung. Bakugou tidak begitu memperhatikan ocehan wali kelasnya. Remaja itu terlalu sibuk dengan dunianya sendiri. Dan tanpa di sadarinya, teman-temannya yang lain sudah berdiri dan membereskan barang-barang mereka. Bakugou sama sekali tidak mendengar bel pulang sekolah.

"Kacchan apa kau masih tidak enak badan?" Suara Midoriya membuyarkan lamunannya. Di tatapnya sinis si pemilik suara tersebut lalu beranjak dari kursinya.

"Aku baik-baik saja!" jawab Bakugou judes namun masih membiarkan Midoriya berjalan di sebelahnya. Mereka berdua keluar dari kelas dan menyusuri koridor sambil berjalan beriringan. Hening, sudah tidak ada siapapun selain mereka berdua.

"Seharian kau bertingkah aneh. Apa masih ada sesuatu yang menganggumu?" Lalu Midoriya kembali bertanya. Dan pertanyaan tersebut kali ini pun juga mendapatkan tatapan sinis yang sama-sama menakutkannya. "Kalau kau tidak mau membicarakannya padaku. Tidak masalah." Pemuda bersurai hijau gelap itu memaksakan senyumnya. Padahal dia cuma mencemaskan teman masa kecilnya.

"Tsk!" Entah mengapa, reaksi Midoriya membuatnya kesal. Bakugou tiba-tiba berhenti, membiarkan Midoriya berada di depan beberapa langkah. "Kacc---" Sebelum Midoriya selesai memanggilnya. Bakugou menyela "Ada orang yang kusukai," ujarnya yang langsung membuat lawan bicaranya membeku di tempat.

"Ke-kenapa tiba-tiba?" Midoriya membuat wajah kebingungan. Ini pertama kalinya Bakugou mengungkapkan sesuatu yang luar biasa seperti ini. Dia sama sekali tidak menyangka Bakugou akan bersedia berbagi rahasia seperti itu dengannya.

"Dan orang itu adalah Aizawa sensei," sambung Bakugou seraya tersenyum hambar pada Midoriya yang bengong karena ulahnya ucapannya tersebut. "Kau puas? Ini sebagai ganti kau memberitahuku tentang rahasia hubungan quirk mu dan All Might." Walau itu yang dikatakannya. Sebenarnya, dia sendiri tidak memahami alasan kenapa ia harus mengatakan hal ini pada teman masa kecilnya.

Dari semua orang. Tanpa sadar Bakugou malah memilih Midoriya sebagai tempatnya curhat? Bukan. Lebih tepatnya, hanya kebetulan saja Midoriya lah yang ada bersama dengannya saat ini.

"A-aizawa sensei? Kacchan menyukai sensei!" Midoriya menahan volume suaranya. Bisa jadi ada orang ketiga yang mendengarkan pembicaraan mereka berdua. "Ba-bagaimana bisa? Dan sejak kapan?" tanyanya masih tak percaya.

"Entahlah. Tapi aku tahu kalau aku memang menyukainya," jawab Bakugou yang di luar dugaan menjawab dengan tenang.

"Kacchan....." Midoriya menghampirinya dan tiba-tiba memeluk Bakugou yang seketika itu berusaha mendorongnya. "Apakah kau merasa kali ini mustahil bagimu untuk memenangkan pertarungan ini?" tanyanya tanpa mengubris tangan Bakugou yang mencengkram erat kedua pundaknya.

Pemuda pirang di dalam dekapannya tersebut menatapnya sengit. "Jangan mulai mengintrogasiku Deku!" seru Bakugou lalu mendorong Midoriya sekuat tenaganya. "Apa kau tidak punya otak? Bayangkan saja kalau kau menyukai All Might sebagaimana aku menyukai lelaki itu!! Apa kau masih bisa bertanya pertanyaan idiot seperti itu!!?"

"Ta--tapi Kacchan....." Midoriya kembali mendekatkan dirinya dan menahan kedua lengan Bakugou yang tertunduk menahan tangis. "Kau selalu mengincar posisi nomor satu. Kau selalu berusaha untuk menjadi pemenang. Lalu ada apa denganmu sekarang?" tanyanya sambil sedikit membungkuk untuk menyetarakan pandangannya dengan Bakugou.

"Kumohon Kacchan. Jangan menyakiti dirimu sendiri." Pegangan Midoriya sedikit melonggar. "Kau sedih karena merasa tidak mampu memenuhi hasratmu yang masih belum ingin menyerah kan?" tanyanya lagi sambil mengguncang pelan tubuh Bakugou.

Bakugou hanya berdiri tertunduk di tempatnya. Apapun yang dikatakan Midoriya padanya, tidak ada satupun yang mempan padanya. Walau egonya ingin mempertimbangkan semua ocehan tidak berguna tersebut. Namun akal sehatnya tidak bisa menerimanya begitu saja----dia datang ke UA bukan untuk menjalin hubungan konyol antara murid dan gurunya. Dia datang untuk belajar bagaimana menjadi pahlawan nomor satu yang tak terkalahkan.

"........ini berbeda dengan pertarungan melawan villain ataupun menyelamatkan para penduduk sialan itu. Jangan mengoceh hal-hal yang tidak masuk di akal di hadapanku Deku!"

To be Continue 

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top