9
9.
Setidaknya ada pendingin ruangan. Ya, setidaknya Panji memiliki elektronik itu yang menempel pada tembok atas ruang sekat kedua−yang hanya berisi kasur tanpa dipan dan lemari sederhana.
Sudah satu bulan rumah tangga Panji dan Anira berjalan. Awalnya, Anira menduga ayahnya akan membelikan rumah di cluster menengah, saat ia mengadu tinggal di sebuah kontrakan berderet lima pintu. Tiap siang kawasan ini akan sepi, karena penghuninya pergi mencari nafkah entah di mana. Suara ramai mulai terdengar saat sore hari, ketika anak-anak dan ibu-ibu kawasan ini, keluar untuk berkegiatan. Mereka sudah mengenal Anira sebagai istri Panji dan berusaha untuk menjadi dekat, meski gagal karena Anira lebih suka mengurung diri.
Anira menghela napas kesal. Sampai sekarang, belum juga ada panggilan kerja untuk dirinya. Sudah puluhan atau mungkin ratusan lamaran yang ia kirimkan di portal-portal lowongan kerja, tetapi nihil respons atau panggilan.
Setiap malam, Panji selalu menawarkan pekerjaan di depot, untuk membantu pria itu menaikkan pemasukan dari pesan layan antar yang Pak Budi minta. Hanya saja, harga diri Anira masih melarang perempuan itu untuk menerima tawaran suaminya.
"Bosen juga begini terus." Anira menghela napas, di tengah kesendiriannya. "Ngelamar kerja, belum ada juga yang manggil." Ia berguling di atas ranjang, hingga posisinya kini tidur tengkurap. "Kalau begini terus, bukannya cepetan bebas dari kesepakatan pernikahan, malah bisa makin numpuk utang. Mau belanja ..., kartu kredit gue dibawa Bang Panji semua." Anira berguling lagi hingga tubuhnya telentang. "Enaknya gimana, ya, biar bisa dapet penghasilan?"
Ponsel Anira berdenting. Ada pesan masuk dari Panji.
Panji: Jangan lupa ambil baju di laundry. Malam mau makan apa? Saya bawakan nanti.
Satu alis Anira terangkat. Panji memang selalu begitu. Ia tak menyuruh Anira memasak atau melayani kebutuhan pria itu. Tidak membuat rumah ini berantakan saja, Panji sudah berterimakasih. Panji hanya menugasinya untuk mengurus baju-baju mereka yang dicuci oleh binatu, juga membersihkan rumah. Panji juga memenuhi kebutuhan bulanannya. Setiap dua minggu sekali, mereka akan pergi berbelanja dengan Panji yang membayar semua tagihan.
"Abang catat saja total belanja Nira. Nanti Nira ganti kalau sudah kerja." Harga diri Anira yang setinggi langit itu, selalu bicara begitu setiap mereka selesai transaksi.
Panji tak pernah menjawab dan hanya fokus membawa kantung belanja dan mengajak Anira kembali pulang.
Anira tersadar dari lamunan singkatnya tentang sosok Panji setelah mereka menikah. Ia lantas kembali pada pesan dan membalas pertanyaan Panji barusan.
Anira: Sop iga sapi, tapi jangan pake wortel. Nira bukan kelinci, soalnya.
Anira mengirim pesan tersebut, lalu berdeham lama seraya berpikir sebelum mengetik pesan lagi untuk Panji.
Anira: Sama greentea latte, ya, Bang, sekalian martabak telur dan keju.
Panji: Memangnya kamu bisa menghabiskan semuanya?
Anira: Kan makannya sama Abang. Kalau gak habis ya buang.
Tak ada balasan lagi dari Panji. Anira kembali beranjak dari rebahannya dan menekuri komputer jinjing yang ia letakkan pada meja lipat. Hunian Panji terlalu sempit untuk dimasuki banyak perabotan besar. Anira merasa seperti anak kos yang harus bertahan dengan segala keterbatasan yang ada. Anira membuka laman lowongan kerja dan mulai memasukkan lamaran lagi satu per satu. Ia merasa miris dan nelangsa harus hidup begini. Namun, ia tetap harus bertahan dan maju demi menyelesaikan masalahnya dan terbebas dari pernikahan utang ini.
******
Pukul tujuh malam Panji datang. Pria itu membawa semua pesanan yang Anira sebutkan dalam pesannya. Saat menguak pintu kontrakan, mata Panji seketika membola dengan jantung yang berdegup kencang. Tangannya yang mendadak gemetar, segera menutup pintu agar tak ada siapa pun yang bisa melihat Anira sekarang.
Ya, sekarang. Saat Anira hanya mengenakan celana super pendek dengan bahan satin tipis dan baju tidur tali yang belahan dadanya rendah sekali. Perempuan itu tengah fokus pada layar komputer jinjing yang menayangkan drama Korea. Tangan Anira sibuk mengoleskan entah krim apa ke sekujur tubuh perempuan itu, hingga Panji terpaksa melihat pangkal paha Anira yang mulus dan ....
Tidak, tidak. Panji tidak boleh lemah iman dan tergoda. Anira tidak mencintainya dan ia tak boleh menjadi laki-laki bejat yang memaksakan kehendak.
"Aku pulang." Sapaan Panji membuat Anira menoleh seketika kepadanya. Jakun Panji bergerak naik turun, saat matanya dipaksa melihat belahan dada Anira yang tampak ... indah.
"Kok, Nira gak sadar, kalau Abang sudah pulang." Anira beranjak dari duduk lesehannya di ruang sekat kedua, yang juga kamarnya selama tinggal bersama Panji. Ia lantas mendekati Panji yang berdiri tegang dengan wajah kaku. "Ini makanannya? Biar Nira siapin." Tanpa peduli dengan ekspresi Panji saat mata pria itu melirik ke dadanya, Anira tetap mengambil kantung dari genggaman tangan Panji, lalu berjalan menuju dapur.
Langkah Panji pelan dan kaku bagai robot setengah korslet. Ia berdiri di belakang Anira, dengan pikiran yang menghayalkan bisa memeluk perempuan itu dari belakang, memberikan sedikit kecupan basah di pipi dah leher jenjang itu, lalu .... tidak, tidak! Panji menggeleng keras sendiri. Ia harus mandi air dingin saat ini juga!
Tanpa bicara apa apun, Panji lekas melewati Anira yang aroma tubuhnya menggoda dengan wangi entah bunga apa. Pria itu menutup pintu kamar mandi dan lekas mengguyur tubuhnya agar tetap tersadar dari segala pikiran setelah melihat penampilan Anira saat ini. Lalu, ketika keluar kamar mandi hanya dengan berbalut handuk, netra Panji beradu tatap dengan milik Anira yang menatapnya dengan binar kaget.
"Abang kok gitu, sih? Telanjang di depan Nira." Anira mengerjap dengan wajah tak terima. "Bisa kali, sebelum mandi bawa baju ganti dulu."
"Saya—lupa," kilah Panji yang berjalan canggung mendekati lemari mereka. Tangannya yang gugup membuka pintu lemari dan mengambil baju ganti. "Saya mau ganti baju."
"Silakan," jawab Anira cuek dan tak sedikit pun beranjak dari tempatnya duduk. "Nira gak akan tergoda sama Abang." Perempuan itu diam-diam berpaling muka, memfokuskan mata pada layar ponsel, atau apapun asal jangan melihat Panji yang aroma tubuhnya segar dan wangi.
Jantung Anira sedikit banyak bereaksi. Ia gugup dan takut dengan kondisi saat ini, tetapi bingung harus melakukan apa. Ia pikir, Panji membawa baju ganti saat hendak mandi tadi. Tenyata ...
"Makanannya sudah siap?" Suara Panji membuat Anira merasa lega.
"Sudah. Ayo sini." Perempuan itu akhirnya berani melepas layar ponsel dan mengambil piring berisi nasi yang sudah ia siapkan sejak tadi. "Abang ambil semua wortelnya, ya. Nira sapinya."
Panji tak menjawab. Ia hanya memindai Anira yang dengan anggun mengambil wortel dan kentang dari mangkuk dan menuangkan ke dalam piring yang akan menjadi jatah makan Panji. "Kamu kenapa gak suka sayur?"
"Kalau ada sapi, kenapa harus makan sayur? Biar sapi saja yang makan sayur. Nira makan sapinya saja." Anira mengangsurkan piring makan malam Panji. "Nira kasih iganya satu potong saja buat Abang. Yang tiga potong sisanya, jatah Nira."
Sekali lagi, Panji tak menjawab. Ia hanya menerima piring itu dan mulai menikmati suapan pertama. Mereka makan dalam hening, dengan mata Panji yang sesekali mengamati Anira. Anak majikannya ini, memang memiliki tubuh yang indah. Wajah Anira tidak terlalu cantik, tetapi terawat. Andai Anira menganggap serius pernikahan mereka, Panji mungkin saja bahagia mendapati istri yang memanjakan matanya dengan pakaian mini seperti itu.
"Anira," panggil Panji di tengah makan mereka. "Apa ... kamu pernah menganggap serius pernikahan kita?"
Anira yang tengah asik menggerogoti tulang, mengernyit. "Seriuslah. Abang serius nolong Nira, kan? Ya Nira anggap serius pernikahan kita."
"Maksud saya, tanpa embel utang itu. Kamu ... apa pernah berpikir tentang membuat pernikahan ini sungguhan?"
Kening Anira semakin berkerut. Mata perempuan itu memindai wajah Panji dengan tatapan tajam. "Sebentar. Bibir Abang ada nasi." Tangan Anira tanpa permisi membelai lembut ujung bibir Panji. "Makan tuh jangan sambil ngomong. Berantakan deh," gerutu Anira seraya mengusap jari telunjuknya di kaus Panji, menyusuri dada liat pria itu. "Sorry, ya. Meper ke baju Abang." Ia tersenyum lantas meneguk teh hangat yang Anira buat untuk dirinya sendiri.
"Kalau ... saya ajak kamu untuk membuat pernikahan ini sungguhan. Kamu mau?"
Anira seketika tersedak. Ia batuk kencang dan refleks memukul dadanya berulang kali. "Abang ngomong apa, sih? Perasaan sop iganya gak basi, deh." Anira mencoba bernapas normal, di tengah bantuan tangan Panji yang memukul lembut punggung perempuan itu. "Abang tahu, kan, kalau Nira gak cinta Abang? Jadi ... fokus aja sama urusan utang Nira. Lagian, Nira juga mau kerja. Mau berkarir."
"Kamu bisa kerja di depot," tukas Panji yang sudah tak lagi berselera makan. "Saya bisa bantu agar pemasukan kamu sedikit lebih tinggi dari karyawan lain."
Anira memicing kepada Panji dengan binar mengejek. "Kerja sama ayam dan lele? No way! Mau taruh di mana harga diri Nira yang sarjana ini, Bang?"
Panji menghela napas panjang. Selalu tentang harga diri dan kasta yang menurut Anira tak pantas berada di tempat pria itu mencari nafkah. Entah sudah berapa kali Panji mencoba mengajak Anira, tetapi jawabannya selalu begitu. "Menurut saya, bekerja bukan tentang harga diri dan dari mana kamu pendidikan kamu berasal. Selama ada kemauan dan kemampuan, kita bisa melakukan sesuatu yang mengagumkan."
Satu alis Anira naik. "Apa yang mengagumkan dari depot pecel ayam?"
"Apa yang mengagumkan dari restoran ayam cepat saji? Kami sama-sama menjual ayam, tetapi mengapa di mata kamu sepertinya kedudukan kami berbeda?"
Anira mengerjap dengan wajah penuh pertimbangan. Ia tak mampu mencari jawaban atas pertanyaan Panji kali ini. Apa mungkin Panji tersinggung karena Anra kerap menolak tawaran kerja pria itu?
"Ya ... restoran ayam cepat saji itu, brandingnya bagus. Mereka punya sosial media dan layanan pelanggan. Depot Ayah tidak." Hanya itu satu-satunya jawaban yang Anira dapat dari otaknya yang baru mendapat asupan tiga potong iga sapi.
"Kalau begitu, kenapa bukan kamu yang membuat depot kami memiliki apa yang restoran cepat saji miliki? Kata Pak Budi, kamu lulusan marketing. Setahu saya, kalau sekolah bidang itu, kamu harusnya memiliki kemampuan yang baik menjaring lebih banyak pelanggan."
"Harga diri Nira mau dikemanain?" Anira mencondongkan wajahnya, mendekat pada Panji. "Masa iya Nira kerja di depot pecel ayam. Masalahnya itu!"
Merasa ditantang, Panji ikut memajukan wajahnya hingga jarak wajah mereka tak sampai dua inchi. "Harga diri kamu akan lebih tinggi jika terbukti berhasil membuat depot semakin ramai. Harga diri kamu akan hilang di depan mata saya, jika kamu tak lekas memiliki uang untuk membayar utang. Kecuali ...." Napas Panji mulai memburu. Jantungnya yang berdegup kencang, membuat akal sehat pria lelah ini mulai berantakan. "Kamu mau menjadi istri saya sesungguhnya dan mengandung keturunan saya. Saya akan lepas semua utang kamu nantinya."
"Gila!" Anira memukul dada Panji dengan kencang. "Jangan mimpi deh beranak pinak sama Nira. Ngaca dulu Abangnya!" Perempuan itu lantas beranjak dari duduk, sambil membawa perlengkapan makan mereka yang tersaji di atas karpet. "Abang tahu Nira cinta siapa. Jadi, jangan pernah berpikir melenceng dari kesepakatan awal kita," teriak Anira yang kini berjalan dengan gestur kesal menuju tempat cuci piring.
Panji mendengkus lemah dan pasrah. Hidup dengan perempuan cantik yang secara sah istri tetapi tak bisa dimiliki, nyatanya lebih buruk dari kerja rodi.
******
Hai hai ... After Payment Due sudah open pre order. Kerennya, kali ini masa POnya panjaaaangg banget! Sampe tanggal 27 Mei, Genks!
Untuk pemesanan, bisa ke nomor ponselku yang tertera di banner, atau ke olshop langganan kalian. Ada free celemek lucu untuk yang ikutan PO ini. Mayan, kan, buat goreng lele bareng Panji wkwkkwk ...
Terus, yang di WP gimana? Seperti yang kubilang di awal bab, naskah ini tetap kuposting 2 hari sekali sampai bab 20-25, karena saat di parade pun hanya sampe bab 25 saja.
Ebook ada? Inshaallah ada, tapi seperti biasanya, ebook baru tersedia saat versi cetak sudah selesai terdistribusi ke pemesan. Soooo mumpung harga bukunya murah banget, cuss pesan sekarang!
Muuaaaccch
LopLop
Hapsari
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top