4

4.

"Saya ... tidak bisa menyetujui kesepakatan ini."

Mata Anira menatap Panji dengan tajam. "Coba Abang pelajari lagi. Ini sudah bagus untuk kita berdua. Nira aman, Abang senang." Anira tetap menggeser kertas bekas bungkus ayam yang ia tulisi dengan lima klausa kesepakatan. Pengajuan ini harus berhasil. Panji harus mau membantunya, entah dengan alasan apa pun.

Panji yang sejak tadi tak sekali pun menyentuh kertas itu, masih terdiam dengan wajah penuh pertimbangan. "Tidak ada yang menguntungkan dan membuat saya senang."

"Abang ribet banget, sih, jadi cowok." Wajah Anira mulai tampak kesal. Cola di gelasnya sudah habis dan hanya menyisakan es batu yang sedikit demi sedikit mencair. Ingin minta tambah minum lagi, Anira gengsi. Mau tak mau, ia harus bersyukur dengan lelehan es batu yang masih bisa menyegarkan tenggorokan dan pikirannya. "Mana dari poin ini yang tidak menguntungkan Abang?"

"Semuanya," jawab Panji hanya dengan melirik coretan di atas kertas bekas piring ayam krispi itu. "Coba kamu baca, dan pikir dari sudut pandang saya."

Anira menghela napas malas, lalu mulai menyebutkan klausa yang ia buat setelah menghabiskan pudding dan spagthetti tadi. "Satu. Nira dan Panji, akan hidup satu rumah sendiri, agar tidak ada pihak yang tahu tentang kesepakatan pernikahan ini. Nira akan menjadi istri yang melayani Panji, kecuali bagian 'hubungan suami istri'." Anira mengerjap pelan, dengan wajah yang tampak berpikir. "Mana gak enaknya? Abang makan nasi, Nira yang masakin. Abang pake baju, Nira yang cuciin. Nikmat mana lagi, sih, yang mau Abang dustai?"

"Kamu masak nasi pakai alat, cuci pun sama. Saya pria yang memiliki kebutuhan sendiri, dan harus dipenuhi oleh istri saya. Sedang di klausa itu, saya akan rugi karena tidak mendapatkannya."

Anira berdecak meremehkan. "Lebay. Otak Abang isinya mesum doang, sih. Lihat ke klausa kedua. Pernikahan hanya akan berjalan maksimal delapan belas bulan, atau sampai Anira berhasil melunasi seluruh utang kepada Panji." Wajah Anira saat ini berubah sedikit jemawa. "Setelah masa kesepakatan ini, Abang bisa cari bini yang siap beranak pinak buat Abang. Nira akan berusaha mencicil utang Nira ke Abang nantinya, selama masa kita menikah."

"Kalau hanya utang piutang, kamu cicil ke saya saja tanpa harus nikah, Nira."

"Nira gak mau," tolaknya dengan gelengan tegas. "Gak ada jaminan Abang akan terus nolongin Nira nanti. Sekarang, Abang bisa bilang gini, tapi nanti saat udah ada calon bini, bisa beda lagi. Mending, bininya Nira saja sampe urusan Nira selesai."

"Soal urusan saya, bagaimana? Saya butuh istri dan ingin memiliki keturunan seperti Pak Budi."

"Gini, deh. Nira bantu cari cewek yang nanti mau nikah sama Abang, lalu Nira juga urus penampilan Abang supaya lebih terlihat menjual. Kita lanjut ke klausa ketiga. Panji berhak dan bebas membawa Anira ke acara apa pun, asal dimodalin uang kosmetik dan bajunya. Pernikahan ini tidak akan ditutupi, kecuali kesepakatan antara suami istri." Telunjuk Anira menunjuk kalimat di baris ketiga kertas bekas ayam itu. "Ini, Abang menang telak. Nira yakin, banyak yang bakalan iri sama Abang, punya istri cantik kayak Nira, anak pengusaha pula."

Panji menghela napas panjang. Tampak lelah dengan pembicaraan yang terasa kosong dan tak bermanfaat. "Gak akan ada yang iri soal punya tanggungan utang istri."

"Ish!" Anira memukul meja pelan. "Jangan hina Nira, ya. Ingat, orang tua Nira udah berjasa buat hidup Abang. Lagian, Nira ganti semua jumlah uangnya nanti, tapi pelan-pelan. Nira harus cari kerja yang gajinya tinggi dan kejar Naya supaya balikin uang Nira lagi."

"Tapi saya ...."

"Pernikahan ini hanya sementara, dalam rangka Abang balas jasa dan menolong Nira. Nira akan tanggung jawab dengan membayar lagi semua tagihan itu ke Abang. Setelah utang Nira selesai, kita bisa pisah dan Abang bebas beranak pinak dengan siapa pun. Simple, kan?"

Anira menatap Panji dengan tegas dan lugas. Perempuan itu mencondongkan tubuhnya mendekat pada Panji, lantas berkata, "Kita gak akan saling merugikan dalam pernikahan ini. Abang gak akan kehilangan uang dan Anira tertolong dari kejaran penagih utang."

Panji mengerjap pelan, mengamati wajah putih anira yang mulus dan bersih. Anak Pak Budi ini memang ia tahu betul suka merawat kulit tubuhnya. Pak Budi sendiri yang pernah cerita, jika setiap bulan, ia diminta mengirimkan uang untuk Anira perawatan.

"Bang, gimana?" Suara Anira terdengar menuntut, hingga Panji tersadar dari rasa kagumnya pada kulit halus itu.

"Uhm ... ayamnya sudah habis. Kita pulang saja sekarang. Kamu mau saya antar?"

Anira mendengkus kesal. "Kesepakatan kita bagaimana? Abang jangan lupa sama balas jasa ke keluarga Nira."

Panji hanya menatap Anira dengan wajah tanpa ekspresi. Pria itu bergerak meninggalkan meja dan pergi ke luar restoran ayam cepat saji ini.

"Jangan kebut-kebut. Nira gak biasa naik motor."

Meski kaget karena tiba-tiba anak Pak Budi sudah duduk di belakang dirinya, Panji hanya bisa mencoba sabar. Ia tak bicara apa pun dan langsung mengemudikan kendaraannya menuju rumah sang majikan, demi mengantar perempuan yang mengajaknya menikah.

Panji sedikit gemetar di jalan, saat tangan Anira tanpa izin melingkari tubuhnya. Punggung pria itu bahkan bisa merasakan bagaimana dada Anira menempel pada dirinya. Ini gila. Ia tak pernah begini dengan perempuan. Sekalinya kejadian, mengapa perempuan seperti Anira?

*****

Dua hari lalu,

Anira: Abang jangan skeptis dulu dengan tawaran Nira. Kalau ada yang mau dinegosiasikan, Nira masih bisa terbuka.

Kemarin,

Anira: Gak akan rugi punya istri secantik Nira. Gak akan rugi juga tolong Nira, karena uang Abang pasti Nira kembalikan nantinya. Jangan lama-lama mikirnya. Nira dikejar waktu.

Hari ini,

Anira: Kita bisa bicara tentang klausa kesepakatan pernikahan, kalau Abang masih merasa keberatan. Nira terbuka untuk diskusi dan negosiasi.

Kesepakatan pernikahan ... kesepakatan pernikahan ... kesepakatan pernihakan. Selama satu minggu pikiran Panji hanya pada hal itu. Anira kerap mengiriminya pesan meminta bertemu empat mata dan membahas kesepakatan yang Panji rasa mengandung unsur paksaan untuk pria itu.

Masalahnya, Panji ingin menikah karena cinta, dengan perempuan yang mencintai dan menerimanya setulus hati. Anira bukan perempuan yang mencintainya apalagi menerima dirinya yang seperti ini. Panji bingung dan tak tahu harus bagaimana untuk menghindar dari Anira.

"Kamu kenapa, Ji? Seperti tidak tenang. Ada masalah?" Pak Budi membuyarkan lamunan Panji sesaat. "Saya sudah lihat semua cetak laporan bulananmu. Ada yang ingin saya lakukan setelah ini. Menaikkan jumlah pesanan untuk layanan antar. Kalau bisa, kerja sama dengan perusahaan atau tempat yang butuh nasi boks ayam. Kamu bisa membantu untuk itu?"

Panji mengerjap cepat, mencerna ucapan majikannya. "Uhm ... layanan antar?"

Pak Budi mengangguk. "Kita harus menaikkan jumlah pesanan. Kalau jumlah pembeli hanya kisaran segini-segini saja, kita akan sulit untuk semakin berkembang. Saya perhatikan, sekarang banyak yang lebih suka dengan pesan antar. Jadi, bisa kamu bantu pikirkan bagaimana caranya agar kita bisa menaikkan penjualan melalui pesan antar?"

"Saya coba pikirkan dan diskusikan dengan teman-teman di setiap cabang nanti." Panji mengambil ponselnya, hendak menulis pesan di grup whatsapp depot semua cabang. Namun, gerak jemarinya terhenti saat melihat satu pesan baru dari Anira.

Mata Panji bergerak memindai kediaman ini. Ada Anira yang sedang duduk sendiri di sofa ruang tivi kediaman Pak Budi, dengan mata perempuan itu yang sedang tertuju padanya. Jakun Panji seketika bergerak naik turun. Tatapan Anira tajam dan terasa menusuk dengan tepat ke jantungnya.

Anira: Pak Budi itu ... sudah belasan tahun mendukung Abang hingga memiliki karir baik sebagai asisten dia. Jangan pernah lupa dengan balas jasa kepada seseorang. Nira tahu, Abang memulai hidup dengan baik, setelah kerja sama Pak Budi.

Panji menghela napas panjang. Ia mengintip pada Anira yang wajahnya tertutupi masker warna hitam. Ia hanya bisa melihat bagaimana sorot mata tajam Anira yang terus membidik dirinya. Rasanya menyeramkan.

Satu pesan dari Anira datang lagi. Panji dengan terus berusaha tenang, kembali membaca pesan itu.

Anira: Kalau Abang menghargai dan menghormati jasa Pak Budi, katakan sama dia sekarang, kalau Abang ingin menikahi Anira dan menjaga Nira sepenuh hati. Soal kesepakatan pernikahan, bisa kita lanjutkan nanti-nanti.

"Gimana menurut kamu, Ji?"

Suara Pak Budi mengembalikan fokus Panji malam ini, pada pria itu lagi. Bola mata Panji sepintas melirik pada Anira yang masih menatap tajam dirinya.

"Anira ... sudah tidak bekerja lagi." Alih-alih menjawab pertanyaan majikannya, Panji justru memberanikan diri mengangkat topik baru. "Saya tahu dia sedang tidak bekerja, karena kami ... dekat."

Kening Pak Budi sontak berkerut. Bingung dengan apa yang karyawannya katakan saat ini. Beberapa hari terakhir ini, putrinya memang di rumah terus. Namun, Anira tak sekali pun berkata tentang berhenti kerja. Mengapa ia justru baru tahu dari Panji?

Jantung Panji berdetak cepat, tetapi ia yakin dengan keputusannya saat ini. "Kalau boleh, saya ingin melamar Anira menjadi istri saya. Saya ingin ... menjadi bagian dari hidup Anira dan ... mengajaknya berjuang membesarkan depot ini."

"Kamu bicara apa, Panji? Kamu sehat?" Suara Pak Budi seketika naik beberapa oktaf. "Kamu yakin Anira mau terima permintaan kamu?"

Panji menatap Anira dari tempatnya. "Apa boleh saya bertanya langsung kepada Anira, terkait permintaan saya?"

Dengan setengah bingung dan terkejut, Pak Budi memanggil putrinya.

Anira yang hanya mengenakan kaus besar dan celana pendek sepaha, berjalan santai dan bergabung di ruang tamu bersama ayahnya dan Panji. Perempuan ini tak sedikit pun sungkan dengan tampilannya yang sangat ala kadar. Meski begitu, diam-diam Panji memuji kemolekan tubuh Anira.

"Panji mau bicara sama kamu, katanya. Di depan Ayah."

Anira menatap Panji dengan wajah yang dibuat lugu. "Ada apa, Bang?"

"Ayo menikah. Saya ingin menjadi bagian dari hidup kamu. Saya ... tidak bisa menahan terlalu lama dekat dengan kamu tetapi tak ada kepastian dalam hubungan ini." Ini gila, batin Panji. Ia tak pernah bersandiwara menjijikkan seperti ini, tetapi pada akhirnya ia lakukan entah demi apa.

Anira menunduk malu-malu, sebelum mengambil tempat dan duduk. "Ah, akhirnya Abang bicara juga. Anira sudah lama menunggu."

"Kalian ... sejak kapan dekat? Kenapa Ayah tidak tahu?"

"Sekarang Ayah tahu. Anira dan Bang Panji dekat secara personal. Anira menerima ajakan menikah Bang Panji dan Nira mohon restu dan izin Ayah." Bicara Anira lancar dan tegas. Seakan ia harus memastikan jika tak boleh ada penolakan dari Pak Budi.

"Memangnya kalian saling cinta?" Wajah Pak Budi tampak penuh tanya. Pria itu bergerak dengan gestur bingung dan tak habis pikir dengan yang tiba-tiba terjadi.

Hening menjeda sesaat. "Um ... tentu cinta," jawab Anira. "Kalau Nira tidak ada rasa, Nira gak akan mau dekat dengan Bang Panji. Ayah tahu itu."

"Saya ... serius dengan Anira."

Anira menatap ayahnya dengan sorot mata serius. "Coba Ayah pertimbangkan. Nira menikah dengan pria yang sudah Ayah percaya, atau dengan pria yang belum Ayah kenal sama sekali?"

Pak Budi hening, tak bisa menjawab, hanya terus memindai wajah putrinya dan Panji bergantian selama beberapa waktu.

Senyum Anira merekah sempurna. Ia tampak bahagia dan tak tak bisa menutupi binar lega mendapati Panji melamarnya malam ini.

"Melihat bagaimana putri saya," ucap Pak Budi seraya terus memindai wajah Anira. "Saya terima lamaran kamu, Ji. Saya izinkan kalian menikah."

*****


Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top