3
3.
Hingga pukul dua dini hari, mata Panji tak juga bisa terpejam. Segala pikiran tentang alasan dan kemungkinan ia dilamar oleh gadis cantik beberapa waktu lalu, mendapati jalan buntu. Apa yang membuat Anira tiba-tiba mengajaknya menikah? Apa gadis itu patah hati dengan seorang pria, lalu berniat menjadikannya pelarian? Tidak. Anira yang ia tahu, jarang bergaul dengan pria. Kalaupun gadis itu patah hati, Panji tahu betul selera pria Anira. Yang jelas, bukan dirinya.
Apa mungkin majikannya mendorong Anira untuk segera mencari suami? Panji menggeleng lagi. Rasanya tidak mungkin. Majikannya bukanlah tipikal orang tua yang terlalu repot mengurusi urusan pribadi putrinya. Panji tahu betul waktu-waktu yang dilewati oleh ayah Nira. Pria itu selalu sibuk berkeliling depot untuk mengambil dan menghitung pendapatan harian, saat dirinya sibuk keliling cabang depot untuk memastikan operasional depot berjalan lancar. Dalam kepala ayah Nira hanya ada omset, uang, dan kesejahteraan karyawan. Juga, bagaimana membuat pelanggan kembali dan kembali lagi ke depot pecel ayam mereka dengan membawa banyak pesanan. Tak ada urusan cinta dan Anira dalam kepala pria lima puluh tahunan itu. Setidaknya, itu pemikiran paling logis yang bisa Panji dapati.
Hingga tiga hari berjalan, kepala Panji masih saja mencari satu kemungkinan yang paling mendekati kenyataan, mengapa si cantik Anira yang penuh perawatan tubuh dari rambut hingga kuku itu, tiba-tiba menawarkan diri menjadi istri. Ini gila. Panji jadi semakin yakin jika kemungkinan bumi ini sudah mendekati akhir zaman. Parahnya lagi, telinga Panji yang seharusnya baik-baik saja, entah mengapa terus terngiang kalimat yang Anira ucapkan malam lalu. Apa iya ia akan sulit mencari istri? Lalu, Anira menawarkan diri, tetapi dengan syarat. Syarat apa?
"Bang! Itu ada orangnya Pak Danis kirim ayam sama terong."
Panji kembali fokus dari lamunannya. Makan siangnya sudah habis dan ia harus kembali bekerja. Pemasok ayam dan sayur langganannya sudah datang dan ia harus memonitoring kiriman yang turun dari mobil pengantar barang itu. Setelah ini, Panji masih harus mengecek stok ayam siap goreng yang masih tersedia di freezer tiap depot dan memastikan pasokan tidak berlebih atau kurang.
Dua jam lamanya ia mengontrol segala hal di cabang itu. Sore nanti, ia harus pindah ke cabang lain untuk memastikan hal yang sama, bahwa operasional dan kebutuhan barang untuk dijual tidak ada yang kurang. Begitu terus setiap hari dan Panji tak pernah mengeluhkan pekerjaannya.
Usai memastikan semua berjalan seperti yang ia inginkan, Panji menuju ke parkiran motor dan siap berpindah tempat. Ia membuka ponselnya untuk melihat apakah ada pesan masuk dari majikannya, tetapi yang ia dapat justru pesan dari nomor tak dikenal. Kening Panji mengernyit samar saat membaca pesan yang ia terima.
0858264659: Bang Panji, nanti sore bisa ketemu? Aku beneran harus ngomong sama Abang.
0858264659: Oya, jangan bilang-bilang Ayah kalo aku diam-diam cari nomor Abang di ponselnya.
0858264659: Bisa ketemuan di KePiCi deket kantor aku, gak? Abang pasti tahu kantor aku, kan?
0858264659: Jam lima pas, ya, harus udah sampe sana. Jangan terlambat. Aku gak mau nunggu Abang.
Bingung dengan pesan yang diterima, Panji menekan nomor tersebut dan menghubungi. "Halo, ini dengan siapa, ya?" sapa Panji saat sambungannya terangkat.
"Anira. Gak usah pura-pura gak kenal, deh. Jangan lupa pesan Nira tadi. Jam lima sore. Jangan bawa siapa pun. Ini hanya pertemuan kita berdua. Titik," jawab Nira dengan nada berbisik.
Hanya itu yang Panji dengar dari penelepon di seberang sana, sebelum sambungannya diputus sepihak oleh Nira.
Panji menggeleng cepat dengan jantung yang seketika berdebar kencang. Mengapa tiba-tiba hidupnya jadi begini? Setahunya, Anira tak pernah sekali pun tampak tertarik untuk dekat dengannya. Jangankan dekat, melirik saja, gadis itu nyaris tak pernah. Namun, entah mengapa tiba-tiba mengajak hidup bersama?
Enggan terlalu lama hanyut dalam pikirannya, Panji memilih kembali fokus hingga waktu sudah menunjukkan hampir pukul lima. Ia yang tak ingin membuat Anira menunggu lama, bergegas menuju restoran cepat saji yang gadis itu katakan dan memasuki area makan dengan mata yang meliar mencari anak majikannya.
Ya, Anira di sana. Tampak fokus dengan gawainya, hingga belum ada satu pun makanan yang tersaji di meja yang ia tempati.
Dengan perlahan dan mencoba santai, Panji berjalan menghampiri Anira.
"Maaf, tadi saya harus bertemu dengan supplier kerupuk dan gorengan." Panji duduk dengan gugup di hadapan Anira.
Gadis yang menggunakan sack dress berwarna navy dengan rambut kuncir kuda itu, memindai penampilan Panji dari atas ke bawah. "Abang pake kaos kuning logo depot pecel ayam Ayah. Kalau ketemuan sama perempuan itu, gak gini penampilannya. Gimana mau dapet bini? Ngaca, dong."
"Kamu ... malu?" Jantung Panji mulai berdegup kencang. Benarkah bertemu perempuan tak boleh memakai seragam karyawan depot pecel ayam?
Anira menggeleng. "Udah telat banget kalau mau malu. Sekarang Nira to the point aja. Abang kerja sama Ayah udah berapa lama?"
Kening Panji berkerut samar. "Hampir lima belas tahun. Sejak depot mulai berdiri."
"Berarti Abang sudah tahu sifat Ayah yang tegas itu, bukan? Tampangnya aja baik, ramah, supel, suka senyum dan sok wibawa. Gak ada yang tahu, kan, kalau Ayah itu perhitungan banget sama uang?" Anira melirik Panji dengan mata yang memicing penuh arti. "Lagi pula, menurut Nira, sudah sewajarnya Abang sedikit berbalas budi sama keluarga Ayah, yaitu Nira."
Kerutan di kening Panji semakin terlihat. "Semua pengusaha bersikap seperti Pak Budi. Saya memahami dan mewajari itu." Ia terdiam sesaat, sebelum melanjutkan, "Dan soal balas budi, saya bingung, dengan apa saya harus melakukan apa yang kamu maksud?"
"Abang nikahi Nira, bantu Nira hadapi masalah pelik hidup Nira." Wajah Nira yang semula tampak pongah, mendadak gugup dengan gerak yang tak nyaman. "Nira ... punya masalah yang gak bisa Nira ungkapkan kepada Ayah. Nira butuh Abang untuk bantu Nira menutupi aib ini. Kalau Ayah tahu, Nira bisa digantung. Solusi paling tepat saat ini, menikah sama Abang."
Jantung Panji entah mengapa seketika berdegup kencang dan bulu kuduknya berdiri tegap. "Kamu ... hamil?"
"Hamil? Hamil anak siapa? Enak aja Abang nuduh gitu!" Anira bersungut, lalu menghela napas panjang. "Nira ... ada utang ke bank. Banyak. Lima puluh juta lebih. Hari ini tadi hari terakhir Nira kerja karena kena pecat. Padahal, Nira hanya bolos dua minggu, tapi udah ditendang seenaknya begitu. Nira gak terima, tapi gak bisa apa-apa." Wajah Anira tampak putas asa, tetapi perempuan itu enggan memperlihatkan sisi lemahnya. "Abang tahu sendiri, Ayah kasih Nira berapa tiap bulan. Gak akan cukup buat bayar cicilan tiap jatuh tempo. Kalau Abang nikahi Nira, Abang bisa bantu masalah hidup Nira."
Hening sesaat, sebelum Panji akhirnya berucap, "Menikah itu ... harus cinta, bukan karena utang atau uang."
"Hish, persetan sama cinta." Anira mengibas tangannya. "Cinta gak bisa bikin Nira pesan ayam dan cola, padahal Nira udah lapar dari tadi. Abang juga gak peka. Pesenin, dong! Nira masih jaga harga diri Abang sebagai laki-laki yang menemui perempuan, dengan tidak memesan makanan lebih dulu."
Panji menghela napas panjang, lalu beranjak menuju meja pesan. Otaknya terasa kosong. Ia bingung harus berpikir seperti apa, mendapati anak majikannya mengajaknya menikah karena butuh pertolongan. Tidak, Anira tidak bisa dinikahi dengan alasan itu. Terlalu ... kejam.
"Saya ... belum bisa menjawab permintaan kamu." Panji akhirnya bersuara sambil mengangsurkan satu paket nasi ayam berikut cola, puding, burger, dan spaghetti. Ia tak tahu selera Nira, jadi memesan banyak menu tampaknya lebih bagus. "Saya ... belum pernah diajak menikah seperti ini. Menikah itu, kita akan punya anak nanti."
Anira menggeleng, sambil meneguk cola tanpa permisi. "Gak akan ada anak. Kita gak akan berhubungan suami istri. Pernikahan ini hanya sementara, sampe Nira bisa melunasi utang Nira ke Abang dan ke bank. Abang tolong Nira dengan dengan cara kita menikah dan menutupi masalah Nira dari Ayah dan banyak orang." Anira mengambil nasi dan mulai menggigit ayam tepung krispi. "Abang kalau memang ingin balas budi atas kebaikan Ayah selama lima belas tahun Abang kerja, sekaranglah saatnya. Bantu Nira."
"Saya tidak mungkin tidak punya anak. Saya cari istri yang mau mengandung dan melahirkan keturunan saya," sela Panji yang selera makannya mendadak hilang. Tadinya, ia pikir ini mungkin menjadi kencan dengan jadwal sesi wawancara masalah Nira dan perkenalan mendalam. Nyatanya, tanpa sungkan putri majikannya ini menyatakan hanya ingin memanfaatkan dirinya.
Kunyahan Anira terhenti sesaat. Ia menatap Panji dengan binar penuh pertimbangan. "Abang jangan tolak Anira dulu. Abang harus tinjau penawaran kesepakatan pernikahan yang akan Anira ajukan. Kita akan saling untung dengan pernikahan ini. Nira jamin, Abang gak akan rugi."
Panji semakin tak berselera makan. Mungkin karena menunya ayam lagi - ayam lagi, atau kerena ia langsung patah hati setelah sempat melambung tinggi? "Saya ...."
"Stop!" Satu tangan Anira melayang di udara. "Abang makan dulu sekarang, lalu kita akan bicara lebih banyak. Nira lapar dan belum bisa berpikir kencang."
Panji hanya mampu mengambil gelas teh yang ia punya, lalu meneguknya demi bisa meredam apa pun yang ia rasa. Ini gila. Ini tak pernah terbayangkan di hidupnya. Kesepakatan menikah? Kesepakatan macam apa itu?
***
Maapkeun, lama. Aku lupa update mosok wkwkwkk...
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top