25

Spoiler / Potongan bab 25


"Abang sakit?" Tangan Anira serta merta menempel pada dahi Panji dan mendapati suhu tubuh pria itu yang cukup tinggi. "Abang menggigil juga," tambahnya saat melepas tangan dan beranjak dari ranjang.

Tanpa ragu, Anira melangkah menuju dapur. Ia membuat teh panas dan satu baskom air kompres hangat. Setelah semua siap, Anira kembali ke dalam kamar, lantas meminta Panji meneguk teh panas buatannya. "Kita gak punya stok obat di sini." Anira mendesis bingung. "Nira hanya stok minuman herbal datang bulan doang," lanjutnya mengingat stok di lemari pendingin kontrakan Panji. "Abang sudah makan?"

Panji menggeleng lemah, lantas berbaring lagi. Pria itu tak bergerak atau berkata apa pun saat Anira meletakkan handuk kompres ke dahinya.

Guntur menggelegar, bersamaan dengan suara ketukan pintu. Anira yang masih fokus merawat Panji, beranjak ke depan dan menguak pintu hunian mereka. Wajah Anira seketika kaku dan datar, saat melihat Eva yang datang.

"Bang Panji sedang sakit dan ini sudah bukan jam kerja." Anira bicara ketus dengan wajah yang dingin, menyambut masa lalu pria yang ada di hatinya.

Eva bergerak canggung. "Sore tadi Bang Panji kirim pesan kalau dia sakit. Aku yakin dia pasti belum makan. Jadi, aku mampir untuk bawakan dia bubur ayam dan roti."

Tanpa sungkan, Anira mengambil kantung plastik yang Eva bawa. "Terima kasih. Saya terima pemberiannya, tetapi maaf tidak untuk perhatian kamu. Sekarang hujan sudah turun rintik-rintik. Baiknya kamu pulang, sebelum kehujanan dan sakit seperti suami aku. Kalau kamu sakit, suami aku gak akan datang ke rumah kamu untuk kasih bubur dan roti. Jadi, hati-hati di jalan." Wajah Anira tampak tegas, meski hatinya agak berdebar. Semoga Panji tidak tahu apa yang ia lakukan pada perempuan masa lalu pria itu dan marah kepadanya karena bersikap tidak sopan pada Eva.

Eva menghela napas panjang, lantas pamit pulang sebelum sempat bertemu Panji yang kini kembali dekat dengannya.

"Siapa?" tanya Panji lirih saat Anira melangkah menuju dapur.

"Bukan siapa-siapa. Abang tidur lagi aja."

"Eva, ya?"

Anira mendengkus kesal, lantas bergerak ke hadapan suaminya. "Kalau iya tadi itu Eva, kenapa? Abang masih suami Nira, 'kan? Jadi, jangan bawa masuk perempuan lain ke rumah ini selama Nira masih istri Abang."

Pandangan Panji tampak terkejut melihat istrinya yang berkacak pinggang, dengan gestur tak terima atas kedatangan Eva. Ia ingin membantah dan membahas soal dokter jaga yang selalu ada di hidup Nira, tetapi urung saat sadar tubuhnya sedang tak baik-baik saja.

"Daripada kita ribut malam hujan begini, Abang mending istirahat dan turuti apa yang Nira perintahkan. Hanya malam ini, sampai Abang sembuh dari masuk angin." Tanpa menunggu jawaban Panji, Anira kembali ke dapur dan menyiapkan semangkuk bubur yang Eva bawakan sesaat lalu.

Anira terus saja menyuapi Panji, meski pria itu menolak menghabiskan bubur. Enggan berdebat, Anira akhirnya membantu Panji dengan menikmati bubur semangkuk berdua.

Mereka menikmati bubur itu dalam hening, mengabaikan canggung, kikuk, juga berbagai macam gemuruh emosi dan pikiran yang menyelimuti masing-masing. Panji ingin bersuara, tetapi bingung harus memulai dari mana. Sedang Anira, selalu menatap Panji dengan binar rindu yang berusaha ia tutupi, setiap memberikan suapan demi suapan kepada suaminya.

Suara hujan yang jatuh di genting, membuat Panji melirik atas, lalu menatap Anira yang sedang mengangsurkan sisa teh panas untuk ia habiskan. "Hujan. Saya tidak mungkin antar kamu pulang."

Anira menatap Panji dengan binar yang dalam dan jantung yang berdegup kencang. "Buka baju Abang. Nira gak akan pulang sampai pastikan kondisi Abang baik-baik saja. Buka baju Abang sekarang dan biarkan Nira temani Abang tidur di sini malam ini."

Gelegar petir terdengar, bersamaan dengan suara hujan yang semakin deras. Kepala Panji entah mengapa tiba-tiba merasa semakin pening dan tak kuasa menolak saat Anira perlahan membuka kancing kaus kerah yang ia kenakan hari ini. Perempuan itu membuka bajunya hingga ia hanya bertelanjang dada.

Sial, hasrat lelakinya menggelora di waktu yang kurang tepat. Apalagi, wajah Anira sangat dekat, hingga Panji bisa mencium aroma sampo yang menguar dari rambut istrinya dan embusan napas Nira yang membuat jantung pria itu berdetak tak karuan.

"Abang berbaring," perintah Nira berbisik di telinga Panji sambil mendorong dada liat pria itu pelan tapi pasti.


******


Holla, kisah Panji Nira versi wp cukup sampai sini, ya. Terima kasih kepada semua yang sudah ramein lapak ini, juga yang adopsi panji si kang pecel ayam. Untuk kalian yang belum sempat PO, pembelian via aku bisa sampai besok, ya. Hanya sampai tanggal 31. Setelah itu, aku tutup penjualan dan kalian bisa ke shopee atau olshop terdekat.


LopLop

Hapsari

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top