23

"Maaf, ya, Nira, gue baru bisa mulai cicil sekarang. Segini dulu, nanti gajian bulan depan, gue setor segini juga ke elu."

Anira hanya berdeham menerima kertas bukti transfer dari sahabatnya. "Kalau cuma buat bayar utang, gak usah ketemuan, sih. Lu bisa kirim bukti transfernya aja melalui pesan."

Wajah Anaya tampak sungkan dan sendu. "Lo benci banget sama gue, ya? Sampe ketemuan sebentar aja kayaknya berat banget."

"Benci sih enggak," bantah Anira santai, lalu menyedot jus alpukat yang terhidang di meja tempat mereka bertemu saat ini. "Gue harus kerja. Gue gak bisa main ninggalin depot." Lalu tidak bertemu Panji saat pria itu mampir untuk monitoring, lanjut Anira membantin. "Gue harus giat kerja biar bisa buktiin ke Ayah kalau gue bisa bertanggung jawab dan konsekuen sama apa pun yang gue pilih, salah atau benar."

"Tapi ... bukannya lo gak nyaman kerja di depot?" tanya Anaya lamat dengan kening yang sedikit mengerut. "Seingat gue, lo obsesi banget kerja di tempat bergengsi, yang ada ac-nya, lalu banyak orang cakepnya."

"Iya," jawab Anira dengan anggukan membenarkan. "Tapi saat gue terlilit utang kemarin, gue gak ada pilihan selain kerja di depot bokap. Gue butuh duit buat bayar cicilan sialan itu. Bokap gak mau bayarin, pun Panji yang nolongin gue dengan pernikahan ini." Anira mengela napas panjang dan tampak lelah. "Sekarang, urusan utang gue sama bank udah selesai, tinggal sama Ayah aja dan lo wajib bantu."

"Soal ... pernikahan lo?"

Anira menatap sahabatnya yang memandang perempuan itu dengan binar penuh tanya. "Itu urusan gue sama Panji," jawab Anira tegas. "Kami yang akan menentukan arah hubungan kami setelah ini."

"Kak ... Dion?"

Anira menghela napas lagi. Anaya memang begitu. Selalu ingin tahu tentang ini dan itu terkait hidup Anira. Masalahnya, bukannya Anira tak ingin berbagi. Ia hanya sedang bingung bagaimana mengatasi kerumitan yang tengah mengganggu hati dan pikirannya.

"Ponsel lu bunyi. Kak Dion itu."

Informasi dari Anaya, membuat Anira tersentak dari diamnya. Ia melirik pada benda canggih yang terletak di atas meja dan terus memandangi saja tanpa mengangkat panggilan itu. Anira baru ingat. Dion mengajaknya pulang bersama hari ini. Mungkin saja pria itu sudah sampai depot atau baru mau jalan dari tempatnya bertugas.

Hingga ponsel Anira berdering sebanyak tiga kali, perempuan itu masih saja bergeming.

"Diem gak akan bikin galau lu hilang. Lu harus tegas ke diri lo sendiri, mau gimana ke depannya? Lu harus punya titik terang." Anaya bersuara. "Baiknya lu angkat itu telepon. Kasihan Kak Dion kalau udah nunggu lo lama. Jadi dokter itu gak gampang, kerjanya capek lahir batin, Nira."

Anira menghela napas panjang dan mengangkat panggilan keempat dari Dion. "Maaf. Nira lagi di depot jus sebentar, ketemuan sama Naya. Nira ke balik ke depot Ayah sekarang. Kak Dion tunggu sebentar, ya." Lalu, sambungan itu Anira putus tanpa mendengar jawaban Dion.

"Gue merasa lo ada hati sama laki lo. Hanya saja, lo harus cari cara supaya bisa mempertahankan pernikahan lo dan mengulang semuanya dengan benar, bukan karena utang itu. Tapi kalau lu maunya semua berakhir, gue bisa bantu, kok. Gue ada lowongan kerja di hotel tempat gue kerja sekarang. Lo bisa join kalau mau. Dengan begitu, lo gak harus ketemu laki lo tiap hari, bukan?"

"Bukan soal itu," sanggah Anira seraya menggeleng dan beranjak dari duduknya. "Gue harus memastikan sesuatu sebelum memutuskan hal yang menurut gue bukan main-main."

*****

Mobil Dion sudah terparkir di depot saat Anira sampai di tempat kerjanya. Perempuan itu menyapa Dion dan meminta maaf karena telah membuat dokter jaga itu menunggu.

"Aku ada urusan sama Anaya. Kak Dion makan atau minum dulu saja, ya. Anira harus ke atas sebentar beberes meja sebelum pulang. Sama ...." Anira tampak berpikir. "Cek kerjaan apakah tugas hari ini udah kelar semua atau belum," dustanya lagi, padahal ia ingin mencari tahu apakah Panji ada di atas, karena motor matik pria itu juga terparkir di sini.

Dion mengangguk seraya mengacungkan jempol. "Santai saja. Kamu urus dulu kerjaan kamu kalau belum selesai. Aku pasti tunggu."

Anira tersenyum manis, lantas mengucapkan terima kasih. Ia berjalan santai menapaki tangga menuju lantai dua.

Sesampainya di meja kerja, jantung Anira berdegup lebih kencang mendapati Panji tengah tersenyum bersama Eva di meja kerjanya. Pria itu tampak menyodorkan amplop pada Eva seraya tersenyum lembut. Sementara Eva, tampak malu-malu menerima amplop dan tas kertas kecil entah berisi apa.

"Pakai saja uang itu kalau kamu mau membeli sesuatu. Itu hak kamu, bukan?" Suara Panji terdengar lembut dan santun. Entah mengapa, berhasil membuat hati Anira seperti diimpit rasa cemburu. Selama jadi istri, Panji tidak pernah begitu kepadanya.

"Iya, Bang. Terima kasih juga untuk emasnya. Banyak banget, lima gram."

"Udah hak kamu," jawab Panji seraya tetap tersenyum lembut.

Dari ambang tangga, tempat Anira berdiri mematung dengan wajah pucat, perempuan itu mencoba tetap bernapas normal dan agar tidak emosi di saat seperti ini. Nissa sudah berkata bahwa Eva adalah masa lalu Panji dan mungkin saja mereka kembali bersama lagi. Sementara Anira, hanya perempuan yang tiba-tiba datang meminta tolong Panji menggunakan sebuah hubungan pernikahan yang kini di ambang perpisahan.

"Permisi." Anira mencoba bersuara.

Dua orang yang duduk berhadapan di meja kerja Anira itu, serentak menoleh pada Anira. Panji terlihat tenang dengan mata yang konstan mengarah pada Anira. Binar matanya menyiratkan satu emosi yang mampu Anira tangkap, tapi tak mampu Anira artikan apa isi hati Panji padanya saat ini.

"Nira mau pakai meja kerja sebentar, mau cek laporan pemesanan hari ini dan ... beberes meja sebelum pulang."

"Silakan," jawab Panji seraya beranjak dari kursi kerja Anira. "Saya dan Eva akan pindah ke tempat lain. Maaf sudah menggunakan meja kamu tanpa izin sebelumnya."

Anira tersenyum tipis dan pias. "Itu meja Abang. Meja bersama. Meja kerja semua karyawan di sini. Abang gak perlu minta maaf." Anira maju perlahan mendekati meja kerjanya. Saat tubuhnya berada sangat dekat dengan Panji yang belum juga pergi dari meja itu, dada Anira terasa semakin sesak.

Sial! Ia rindu Panji. Ia rindu aroma parfum murahan Panji yang selalu ia hirup saat memeluk pria itu di setiap perjalan pulang mereka dulu. Ia rindu aroma tubuh Panji, terutama saat Panji pulang kerja dan tampak lelah. Deru napas Panji pun Anira rindu. Jika di kontrakan dulu, mereka akan makan malam bersama sepulang kerja. Biasanya, Panji sudah mandi dan napasnya akan beraroma mint. Anira suka saat rasa mint napas itu menerpa wajahnya, kala jarak mereka sangat dekat. Sayang, semua itu harus mau Anira relakan, karena pernikahan mereka mungkin saja akan Panji akhiri.

Mata Anira melirik pada tas kertas kecil yang Eva ambil dan perempuan itu masukkan ke dalam tasnya. Tadi ... kalau Anira tak salah dengar, isinya emas? Eva mendapat emas dan uang dari Panji? Tidak ada hubungan bisnis yang memiliki momen berdua dengan senyum malu-malu dan harta benda yang biasanya menjadi lambang pengikat hubungan.

"Permisi, Bang." Anira melewati tubuh Panji dan duduk di kursi kerjanya.

Panji beranjak pergi bersama Eva, meninggalkan Anira yang tertegun sendiri dan mati-matian menahan tangis yang sebentar lagi pecah dan membasahi wajah.

****

"Kamu akhir-akhir ini aneh, Nira." Dion berkata saat mereka dalam perjalanan pulang ke rumah Anira. "Aku melihat sepertinya kamu sedang banyak pikiran dan ada ... masalah. Benar?"

Anira tersenyum tipis menanggapi ucapan Dion. Saat turun dari lantai dua dan menaiki mobil Dion, wajah Anira memang pucat dengan raut sendu penuh tekanan.

"Kerjaan kamu ada masalah, ya?" tebak Dion lagi.

Iya, masalah kerjaan, batin Anira. Masalahnya adalah Anira menyadari bahwa Panji sepertinya benar sedang berhubungan lagi dengan Eva dan ia harus menerima kenyataan jika satu tempat kerja dengan suaminya. Iya, suami. Mereka masih suami istri bukan, meski tak lagi tinggal satu atap? Meski ... tak Anira akui juga pada Dion yang kini semakin dekat dengannya.

Ah, Dion. Pria yang sejak hari pertama pernikahannya dengan Panji, menjadi sosok yang masih diidamkan dan harapkan menjadi pasangan hidupnya. Tuhan berbaik hati sekali memberikan jalan mulus hingga mereka kini dekat layaknya sepasang kekasih meski tak ada status itu di antara mereka. Sayangnya, entah mengapa semakin ke sini rasa dan antusias yang Nira miliki terhadap Dion justru memudar.

Anira menoleh kepada Dion dengan wajah penuh pertimbangan. "Kak Dion ... punya harapan apa terhadap kedekatan kita?" Pertanyaan Anira sontak membuat Dion menoleh kepadanya, padahal pria itu masih dalam kondisi mengemudi. "Andai Nira minta kita segera memperjelas status kedekatan kita, Kak Dion bersedia?"

Tubuh Anira seketika berguncang kecil saat Dion menghentikan mobil tiba-tiba. Bunyi nyaring klakson kendaraan lain terdengar, bersamaan dengan makian keras yang Anira yakin tertuju untuk mereka.

Wajah Dion seketika tampak pucat dan tercengang. Tubuhnya membeku dengah tangan yang masih menggenggam roda kemudi. "Kamu ngomong apa, Nira?"

Wajah dan respons Dion petang itu, membuat Anira menyimpulkan satu jawaban dan satu keputusan yang akan ia ambil setelah ini.

*****

Pre order sudah tutup dari kemarin. Terima kasih yang sudah pesan. Untuk yang bukunya sudah sampai, selamat membaca. Yang bukunya belum sampai, harap tenang karena ayamnya sedang dibakar wkkwkwkwk. Untuk yang belum sempat pesen, aku masih melayani susulan PO sampai tanggal 31, ya. Harga masih sama seperti yang tertera di banner, tapi hanya sampai tanggal 31 saja. Setelah itu, aku gak buka penjualan lagi dan kalian bisa ke olshop, marketer, penerbit, atau shopee. Usahakan beli yang asli, ya.

Genk Ebook, sabar ya. Inshaallah versi digital naskah ini sedang diproses. Follow IG aku untuk update info seputar buku-bukuku dan stay di lapak ini karena info ebook pasti kutaruh di sini.


LopLop

Hapsari

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top