22
"Bang Panji, ini laporan pemesanan delivery untuk bulan ini. Kapan hari, istrinya Pak Haikal mampir ke sini untuk memesan seratus boks nasi ayam bakar, udah Nira tulis sekalian juga. Pesanan Bu Annisa untuk Jumat besok. Jum'at berkah, katanya. Kata Ayah, untuk pesanan dari Pak Haikal dan istri, masuk komisi Abang. Udah Nira catet juga."
Panji yang mencoba fokus dengan surat jalan dari anak buah Pak Daniswara dan menyamakan dengan jumlah kiriman sayur dan buah mereka, seketika berhenti dari aktivitasnya. Pria itu menoleh kepada Anira yang tengah menyodorkan bendelan kertas kepadanya.
Panji menatap Anira sesaat, sebelum menerima bendelan cetak laporan pemesanan yang Anira urus setiap hari. "Terima kasih. Ini nanti saya samakan dengan laporan uang masuk dari Nissa, sebelum saya rangkum untuk dilaporkan ke Pak Budi." Sekuat tenaga, Panji mencoba mengukir senyum, meski hasilnya hanya lengkungan pias pada bibir itu.
Anira mengangguk kikuk, lalu kembali ke meja kerjanya di lantai dua. Sampai sana, ia mengembuskan napas panjang sekali, seakan baru saja menyelam ke dalam lautan luas tanpa bantuan oksigen. Mengapa berhadapan dengan Panji terasa semendebarkan itu? Padahal, ia hanya menyerahkan hasil kerjanya sebelum jam pulang tiba.
Ponsel Anira berdering. Perempuan itu melirik ponselnya dan mendapati Dion menghubungi. Saat ini sudah hampir petang dan waktu untuk Anira pulang kerja. Lepas maghrib, jarang ada telepon untuk pesan antar. Kebanyakan, pelanggan akan datang ke depot untuk pesan bawa pulang atau makan di sana. Anira bersiap pulang, karena tahu Dion pasti sudah menunggunya di depan depot.
"Nira turun sebentar lagi. Kak Dion tunggu di mana?"
"Aku di bawah, lagi minum es jeruk. Macet banget, Nira, aku sampe haus dan butuh minum yang banyak."
"Oke. Maaf bikin nunggu, soalnya harus beresin meja dulu."
"Santai saja," balas Dion sebelum mereka memutus sambungan itu.
Anira menghela napas, seraya menyender pada kursi kerjanya. Ia berbohong pada Dion. Mejanya sudah rapi sejak sore tadi, sebelum bertemu Panji dan memberikan laporan bulanannya kepada pria itu. Anira hanya ... sedang butuh waktu untuk berpikir bagaimana memperbaiki hubungannya dengan Panji.
Mereka masih bekerja pada tempat yang sama, bertemu setiap hari, dan berinteraksi. Namun, sikap Panji berubah drastis. Pria itu tak lagi suka meminum air dari gelas Anira, juga makan sepiring berdua, apalagi memeluk dan mencium saat suasana hati Anira sedang buruk.
Panji menjawab setiap pertanyaan dan membalas ucapan Anira, tiap kali mereka berbincang tentang pekerjaan. Setelahnya, Panji akan pergi atau kembali sibuk dengan tugas pria itu sendiri.
Lalu Dion, semakin sering mendekatinya dengan intensitas komunikasi yang semakin sering. Mereka akan bertukar sapa pagi melalui pesan dan terkadang pulang bersama jika Dion selesai tugas pada sore hari, seperti sekarang. Anira yang bimbang harus bagaimana, hanya berjalan mengikuti alur saja. Dion datang mendekat dan Panji yang bergerak menjauh. Ia tak tahu harus berlari ke mana, hingga memutuskan untuk pasrah menjalani yang terjadi pada dirinya.
Saat Anira sudah sampai di meja yang Dion tempati, perempuan itu duduk di hadapan Dion dan tersenyum. "Haus apa haus ini? Minum air sampe tiga gelas?"
Dion tersenyum. "Baru hilang hausnya setelah satu es jeruk dan dua es teh. Jakarta gila kalau udah macet."
"Gak sekalian makan? Nira temenin kalau mau," tawar Anira dengan mata yang meliar ke sekitar dapur dan tempat panggang ayam.
"Gak usah. Aku makan di rumah saja. Kita pulang sekarang?"
"Sebentar, Nira mau ke meja Nissa dulu." Perempuan itu beranjak dari duduknya dan berjanji akan langsung menuju mobil Dion jika urusannya dengan si kasir selesai.
Dion menyetujui, lantas keluar depot dan menuju mobil pria itu. Sedang Anira, berjalan cepat menuju meja kasir, mumpung tak ada pelanggan yang sedang transaksi di sana.
"Nissa, Bang Panji ke mana? Perasaan tadi masih hitung timun, tomat sama jeruk, deh?"
"Udah jalanlah! Eva telepon pas lagi nungguin aku cetak laporan pemasukan bulan ini, terus dia pergi. Gak tau ke cabang lain, gak tau ketemuan sama Eva. Kalau cari Bang Panji, kenapa ke aku? Kenapa gak telepon dia aja?"
Anira menggeleng. "Aku gak cari dia, cuma tanya aja, kok udah gak kelihatan orangnya."
"Rujuk aja sih kalau kangen," goda Nisa yang memicing dengan binar menggoda. "Bang Panji itu, kalau aku lihat-lihat, udah pantes jadi pengganti Pak Budi. Auranya udah kayak bos beneran, padahal cuma asisten bos. Terus, akhir-akhir ini kaya semakin giat kerja. Mungkin mau menapaki babak baru bareng Eva ... atau kamu?"
"Gak usah mikir yang macem-macem ya, Nissa. Pikirin aja itu duit jangan sampe kurang. Pak Budi gak pandang bulu kalau soal bisnis. Aku aja, yang anak kandung satu-satunya dia, tetep potong gaji gara-gara kasusku kemarin, apalagi kamu." Anira menunjuk wajah Nissa dengan telunjuknya. "Soal Bang Panji, gak usah mikir yang aneh-aneh. Ini urusan aku sama dia dan kamu gak berhak menilai atau menebak perasaan dia. Dari dulu, Bang Panji emang udah giat kerja."
"Iya, iya, kok jadi sensi gitu? Kalaupun Bang Panji balik sama Eva, kamu udah ada dokter ganteng itu. Mobilnya kinclong pula. Tinggal kamu putusin aja, mau pilih siapa yang bakal bantu kamu urus usaha ini kelak."
Anira mengibas tangannya dengan cepat. "Sudah ah, aku pulang. Pusing ngomong sama kamu." Anira melangkah meninggalkan meja kasir, lantas berjalan menuju mobil Dion dengan berbagai hal yang berkecamuk di pikiran perempuan itu.
****
"Kamu tumben banget gak banyak omong?" Dion bertanya saat mereka dalam perjalanan pulang ke rumah Anira.
Anira yang sejak tadi hanya melamun sambil memindai hujan dari jendela pintu, seketika menoleh kepada Dion yang fokus pada kemudi dan lalu lintas. "Eh, enggak, ah. Nira cuma lagi ingat-ingat aja, laporan yang tadi Nira buat sudah benar apa belum," kilah perempuan itu, padahal bohong. "Ada beberapa hal terkait kerjaan yang harus Nira pikirkan."
Sejak setengah jam lalu, saat mereka memulai perjalanan pulang petang ini, pikiran Anira hanya berisi tentang Panji dan sikap pria itu sejak mereka pisah rumah. Anira tak pernah peduli dengan kualitas kerjanya di depot. Ia hanya ingin status hubungannya dengan Panji juga perasaannya bisa selesai dan lega. Banyak hal tentang pekerjaan yang harus Anira pikirkan. Porsi terbesarnya adalah tentang hati perempuan itu setiap berpapasan dengan Panji dan berbincang tentang operasional depot setiap hari.
Dion tak lagi membuka topik obrolan. Pria itu terus mengemudi saja hingga mobil SUVnya sampai di rumah Anira.
"Kamu sepertinya tidak baik-baik saja. Aku antar sampai dalam rumah," putus Dion seraya membuka sabuk pengaman.
"Eh, gak usah," tolak Anira cepat. "Cuma tinggal turun doang, terus masuk kamar."
Dion menggeleng, lantas turun mobil. Pria itu membuka pintu kursi penumpang yang Anira duduki, lantas menggandeng perempuan itu masuk rumah. Saat hendak memasuki pintu utama, langkah mereka terhenti. Pak Budi dan Panji sedang keluar rumah dan wajah mereka terkejut melihat Dion yang menggandeng Anira masuk ke rumah perempuan itu.
Jantung Anira seketika berdegup kencang, lantas dengan pelan menarik tangan yang digenggam Dion. "Terima kasih banyak, ya, Kak," ucapnya seraya mengangguk. "Nira masuk dulu."
"Kamu istirahat saja. Jangan banyak pikiran. Aku takut kamu sakit," pesan Dion kepada Anira sebelum menatap ayah Anira dan menyapa pria itu.
Anira hanya tersenyum dan mengangguk. Hatinya meringis perih saat melihat bagaimana sikap Panji yang hanya diam mematung, memandangi Dion bincang dengan Pak Budi sebentar, hingga pria itu pamit pulang.
Mobil Dion sudah melaju meninggalkan rumah Pak Budi, tetapi tiga orang itu masih terdiam pada posisi masing-masing, enggan bergerak hingga hanya canggung dan kikuk yang melingkupi mereka.
"Kamu gak masuk rumah?" tanya Pak Budi pada putrinya yang masih menatap Panji entah sejak kapan. "Atau mau ajak Panji masuk dan makan malam bersama? Tapi dia masih harus kontrol satu cabang lagi, sebelum kembali ke sini untuk laporan ke Ayah."
Anira tersentak dari lamunannya, lantas menggeleng seraya menatap ayahnya. "Eng-enggak." Dengan gerak rikuh, ia beranjak dari tempatnya dan melangkah masuk rumah. "Nira masuk dulu." Ia harus menormalkan degup jantungnya yang menggebu, setelah melihat bagaimana wajah Panji sesaat tadi.
****
Yang sudah PO, siap-siap kedatangan mereka. wkwkwkwkwk
LopLop
Hapsari
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top