17
"Saya dapat laporan kalau kamu sering keluar depot pada jam kerja. Terutama menjelang siang, saat jam-jam banyak pesanan."
Anira melirik malas pada Panji yang kini sedang membuka lemari pakaian mereka. Pria itu tanpa sungkan dan malu, bertelanjang dada dan hanya menggunakan celana pendek rumahan saja. Awalnya, pemandangan seperti ini membuat Anira risi dan malu sendiri. Namun, seiring kebersamaan mereka di pagi dan malam hari, Anira jadi terbiasa dengan tubuh Panji yang ideal dan proporsional itu. Ah, Anira bahkan tahu berapa jumlah tahi lalat di punggung Panji dan seberapa liat otot-otot tangan pria itu. Menggoda, tetapi gengsi dan harga diri tetap harus dijaga sampai mati.
"Siapa yang ngadu ke Abang?" tanya Anira yang matanya kembali pada komputer jinjing perempuan itu. Sepulang kerja malam ini, ia sedang asyik menonton drama Korea yang sedang naik daun. Anira tak ingin ketinggalan serial-serial romantis yang menyuguhkan pemandangan indah. "Pasti Nissa." Perempuan itu mencoba menerka siapa pelaku yang membuat Panji tahu kebiasaannya akhir-akhir ini.
"Berarti benar, kalau kamu sering keluar depot di jam kerja? Ke mana? Kenapa tidak izin saya?"
Kening Anira mengernyit samar dengan satu alis terangkat dan seringai remeh."Izin? Abang siapa?" Lalu, ia beranjak dari tidur tengkurapnya dan duduk bersila menatap Panji yang juga duduk di lantai, tepat samping ranjang yang selalu ditiduri Anira. Mata perempuan itu memandang Panji dengan binar menuntut, meremehkan, marah, mengejek, dan entah emosi apa lagi yang menggulung hati dan pikiran si anak Pak Budi itu. "Bos Nira juga bukan."
Bibir Panji terkatup rapat dengan wajah yang mulai tampak mengeras. "Saya memang bukan siapa-siapa, tetapi bagi saya, apa pun yang berhubungan dengan depot adalah tanggung jawab, termasuk kinerja kamu, sekalipun kamu anak pemilik depot itu."
Anira memutar bola matanya dengan gestur meremehkan. "Owh ... segitu berdedikasinya. Bilang saja, Abang takut kalau Nira dipecat Ayah, lalu gak bisa bayar utang ke Abang, kan? Nira tahu kok isi pikiran Abang."
"Kamu gak tahu apa-apa," sela Panji yang masih mencoba mengontrol diri.
"Whatever! Yang jelas, mulai sekarang, Nira gak mau Abang sok-sok atur dan mengurus urusan Nira. Kita memiliki hidup masing-masing, dan baiknya jangan saling mencampuri."
Anira ingin sekali sekalian memaki, jika Panji juga mulai tak tahu diri. Perempuan itu kerap kali mendapati suaminya bicara hangat dan tampak dekat dengan Eva. Jika Panji bisa egois, kenapa Anira tidak? Pikirnya.
"Jangan kira, dengan Abang selalu memenuhi kebutuhan Nira, lantas Nira harus selalu tunduk dan patuh segala keinginan Abang yang seringkali tak menguntungkan Nira."
"Terserah. Saya hanya memperingatkan kamu, bahwa Pak Budi tak pernah pandang bulu untuk urusan bisnis. Dia bisa saja benar-benar pecat kamu jika melihat bagaimana kinerja kamu yang sama sekali gak becus."
Mendapati bagaimana Panji menghinanya, dada Anira bergemuruh dengan amarah dan sakit hati. Ia tak terima dikatakan tak becus saat bekerja. Tak mungkin ayahnya akan memperlakukan dirinya seperti Pak Eko yang semena-mena memecatnya dulu hanya karena ia bolos dua minggu, bukan? Tak ada ayah yang tega berlaku seperti itu kepada anaknya. Anira yakin itu.
Anak Pak Budi itu mencondongkan tubuhnya mendekat kepada Panji dengan gestur menantang. "Urus aja kerjaan dan urusan Abang sendiri. Gak usah peduli sama apa yang saat ini Nira jalani." Jantung Anira berdegup kencang. Entah apa yang membuatnya seketika gugup, ketika berhadapan dengan Panji sedekat ini.
Aroma mint dari napas Panji menguar, membuat dada Anira seperti ada yang mengentak-entak di dalam sana. Ia tak peduli, berusaha tak peduli dengan campuran aroma mint pasta gigi dan sabun yang sebenarnya menenangkan itu. Panji sudah menghina dan meremehkannya. Jadi, Anira harus memasang wajah garang dan tak bisa direndahkan.
"Oke." Panji mengangguk dengan wajah yang masih tampak dingin dan keras. "Mulai sekarang, saya gak akan mau urus kamu lagi."
Jantung Anira semakin terasa tak keruan. Ancaman Panji ini entah mengapa membuatnya gentar dan sedikit gemetar. "Asal ... Abang jangan abai dengan kesepakatan kita. Silakan jalan masing-masing dan urus urusan kita sendiri." Anira berbisik lirih dengan hati yang bergetar. Entah, ia tak tahu apa yang membuatnya seketika gugup begini. Ancaman Panji yang baru saja ia dengar, atau kedekatan mereka dengan jarak wajah yang tak sampai dua centi?
Panji mendengkus, lalu beranjak dari hadapan Anira. Pria itu meninggalkan Anira yang seketika merasa kosong dan hampa.
Dari tempatnya, Anira masih berusaha menormalkan deru napas yang terasa menyesakkan dan dada yang sakit entah karena apa. Ia harus mencari sesuatu agar perasaannya tak lagi bergejolak seperti sekarang, setiap dekat dengan Panji.
*****
"Tumben ngajakin ketemuan?" Dion tersenyum seraya duduk di kafe yang biasa menjadi tempat mereka bertemu. "Aku gak bisa lama, gak apa, ya? Masih jam jaga soalnya. Setelah selesai makan, harus kembali ke IGD."
Anira mengangguk dengan wajah cemberut. "Iya, gak apa. Nira hanya lagi bosan saja di depot sendirian. Dari pada mati berdiri gara-gara diem terus, mending ketemu Kak Dion."
Iya, lebih baik begini, batin Anira. Panji sudah kelewat batas perlakuannya kepada Anira. Dua minggu lebih pria itu mendiamkan Anira. Ini durasi yang terlampau lama untuk penyiksaan dalam bentuk perang dingin. Panji tetap berangkat kerja bersama, juga membeli sarapan di warung kaki lima langganan mereka sebelum ke depot. Saat sampai depot, suami Anira hanya akan mengontrol cabang yang Anira tempati sebentar, lalu pergi keliling setelahnya.
Yang lebih menyebalkan lagi, Eva si pengusaha kerupuk kelas receh itu sering membawakan kue basah untuk suami Anira. Alasannya, eksperimen membuat jenis camilan baru dan butuh masukan Panji hingga siap untuk dijual. Saat Anira tahu tentang kebiasaan Eva yang baru ini, hatinya seketika gerah akibat diliputi amarah. Memangnya Panji itu Chef Juna yang mumpuni dalam menilai masakan? Namanya pelakor, punya seribu satu cara untuk menarik mangsa. Anira kesal, karena Panji selalu menerima setiap pemberian Eva dengan tangan terbuka.
"Pesan apa, Nira? Kita gak bisa buang waktu." Teguran Dion menyentak lamunan Anira. Pria itu mengusap lembut punggung tangan Anira yang sejak tadi memandangi buku menu tanpa membaca. "Cordon bleu?"
Anira menggeleng. "Fussili aja, aglio olio," putus Anira tak semangat. Sebenarnya ia kurang suka dengan pasta rasa ini, tapi entah mengapa tiba-tiba ada hasrat untuk menikmati dengan satu cangkir teh hangat.
Dion mengangguk, lantas memanggil pelayan untuk memesan menu makan mereka.
Biasanya, yang kemarin-kemarin itu, Anira akan sibuk membuka topik yang ringan dan menyenangkan untuk dibahas bersama Dion. Mereka akan menghabiskan waktu makan siang dengan menyenangkan dan bahagia. Namun, mood Anira sedang anjlok bahkan saat Dion sudah merelakan sedikit jam istirahat pria itu.
Saat pesanan sudah tersaji, Anira langsung makan tanpa banyak bicara. Meski tak seperti biasanya, Dion berusaha memahami bahwa mungkin saja Anira ingin makan siang ini lekas selesai dan tak menganggu aktivitasnya. Mereka makan dengan cepat hingga semua menu tandas tak bersisa.
"Kalau Kak Dion lagi gak jaga, kabarin Nira, ya. Kita jalan-jalan," pinta Nira saat mereka sudah selesai makan dan hendak keluar kafe itu. "Nira beneran lagi bosan dan suntuk."
Dion menguak pintu kaca itu dan mereka keluar bersama. Satu tangan Dion terulur mengusap lembut kepala Anira seraya tersenyum lembut. "Pasti. Kita bisa piknik kalau kamu sedang jenuh."
"Banget! Jenuh banget!" keluh Anira dengan senyum yang ia ukir malas-malasan. Hidupnya entah mengapa terasa sangat hambar, membosankan, menyebalkan, dengan satu rasa asing yang menyelundupi hatinya. Sialnya, rasa asing itu yang membuat Anira seperti ingin uring-uringan setiap hari.
Adegan mesra ala drama Korea atau novel roman picisan itu harus berhenti saat ada teriakan keras memanggil nama Anira. Dalam keterkejutan, mata Anira mencari titik asal suara dan seketika terbelalak saat mendapati Panji menatapnya nyalang dan tajam dari mobil pengantar nasi boks berlogo Senyum Pantura.
"Bang Panji." Tubuh Anira seketika gemetar ketakutan, seakan tertangkap basah berkhianat. Padahal, bukankah mereka memang sepakat menjalani kehidupan masing-masing? Kenapa Anira menjadi panik begitu?
"Kamu kenapa, Nira? Kok, mendadak pucat?" Dion melambaikan tangannya di depan wajah Nira. "Supir kamu kayak marah gitu? Dia memang galak begitu, ya?"
Panji melangkah mendekati mereka dengan langkah tegas dan terasa penuh emosi. "Masuk mobil, sekarang!" Wajah pria itu bahkan mengeras dan mampu membuat bulu kuduk Anira berdiri serentak. Gestur tubuh Panji yang tegap dan besar, berdiri di depan Anira dengan gaya mengintimidasi. Mata pria itu menyorot tajam penuh amarah dan sakit hati.
"Tolong yang lembut sama Nira, ya, Mas," tegur Dion tak kalah tegas. "Dia tidak bisa diperlakukan begitu."
Anira hanya menoleh sepintas pada Dion, lantas tersenyum pasi. "Nira duluan, ya, Kak. Sampai ketemu lagi."
Sesaat, Anira menatap wajah Panji yang masih merah padam dengan mata yang nyalang menyoroti dirinya. Ada rasa asing entah apa yang seketika Anira rasa, hingga dadanya terasa sesak dan matanya memanas. Lalu, istri Panji itu melangkah lunglai menuju satu taksi yang tengah menunggu penumpang. Ia membuka mobil sedan biru itu dan menangis di dalamnya, entah karena apa.
*****
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top